Malem Diwa
Malem Diwa bukanlah pendekar, bukan juga suami dari seorang Putroe Bungsu. Ia hanya pemuda biasa. Seorang abang dari lima orang adiknya
“Tapi idemu konyol, Banta!”
“Setidaknya tidak lebih konyol dari apa yang kau lakukan selama ini di kamar ini.”
“Baiklah, seberapa besar keyakinanmu?” Kali ini Malem bertanya serius.
“Sebesar rasa peduliku terhadapmu, kawan,” jawab Banta mantap.
“Mengenai risiko nanti?”
“Bahkan terus bertahan di kamar ini saja kau bisa berisiko, kan?!”
“Iya, tapi… ,” Malem terdiam.
“Sudahlah, gak pake tapi-tapi. Ini kesempatan terakhirmu. Aku pun sudah cukup lelah merayumu selama ini. Jika memang setuju, besok Subuh kau datang ke rumahku. Bawa baju-bajumu juga. Boat temanku menjemput kita Jam setengah tujuh pagi,” ucap Banta meyakinkan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. “Aku pulang dulu.” Banta menepuk pundak kawannya itu, lalu berlalu pergi.
***
Saat seisi rumah telah terbuai mimpi, Malem masih ribut dengan bisikan-bisikan hatinya. Mungkin inilah saatnya Malaikat dan Jin di sisi kanan dan kiri Malem bertarung mempertahankan argumen masing-masing. Tapi bisikan Jin ternyata lebih berasa dan masuk meresap pikiran Malem. Seakan sia-sialah ilmu yang selama ini dituntutnya dan malulah hatinya pada sekalian remaja masjid yang sekian lama ini digemblengnya untuk menjadi pribadi-pribadi mulia. Malem pasrah. Apa mau dikata, kemiskinan memang dekat dengan kekufuran. Maka menjelang Subuh hari itu Malem mendekati pintu kamar Emaknya.
“Baiklah, jika memang itu keputusanmu, nak. Semoga kau berhasil di sana.”
“Iya, mak. Tidak perlu khawatir. Sesering mungkin saya akan berusaha pulang menjenguk emak,” ucap Malem menenangkan maknya yang bermuka sedih.
“Tapi...” Mak Saudah menghentikan kalimatnya.
“Bukankah kebun kosong milik Chik Suman juga diizinkan untuk sekadar kau pakai tanam cabe?” Mak Saudah menyambung kalimatnya dengan nada lemas.
“Tidak mak, tanah di pulau itu lebih subur daripada tanah-tanah di sini. Doakan saja saya berhasil dan pulang dengan selamat supaya adik-adik bisa tetap bersekolah.” Malem berujar dengan mata berbinar. Sebenarnya ia tak tega. Sungguh tidak ada niat di hatinya untuk membohongi orang yang disayanginya. Tapi kali ini terpaksa dia lakukan. Hatinya berkecamuk perasaan aneh. Sepanjang perjalanannya menuju rumah Banta menangis. Seakan pohon-pohon yang dijumpainya di sepanjang jalan setapak ikut melaknatnya. Di penghujung malam buta itu ia pergi dengan tujuan mulia, tapi dengan cara ternoda: Malem akan bertani ganja. Ini untuk menyambung hidup keluarga dan menyekolahkan adik-adiknya.
Ibnoe Hadjare, alumnus Muharram Journalism College, Banda Aceh.