KAI
Setelah Ramadhan
Alhamdulillah, bulan puasa telah berlalu, kita pun telah melewati fase rahmah, maghfirah dan 'itqun minnaar
Pertanyaan
Assalamualaikum wr. wb.
Alhamdulillah, bulan puasa telah berlalu, kita pun telah melewati fase rahmah, maghfirah dan ‘itqun minnaar. Saya mengucapkan: “Selamat Hari Raya Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin.” Kemudian, saya ingin mengetahui, setelah Ramadhan berlalu, apalagi yang selayaknya dikerjakan seorang muslim dan muslimah menurut pandangan Syariat Islam?
Atas jawabannya, saya ucapkan banyak terima kasih.
Abdurrahman
Aceh Utara
Jawaban
Saudara Abdurrahman, yth.
Waalaikumus salam wr. wb.
Pertama-tama, pengasuh mengucapkan: “Selamat Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin, Minal Aidzin Walfaidzina,” kepada pencinta KAI, pembaca Serambi Indonesia dan kaum Muislimin/Muslimat di manapun sedang berada.
Kemudian, menurut para pemerhati, berkaitan dengan Ramadhan, manusia terbagi menjadi 2 kelompok. Kelompok yang pertama, orang yang pada bulan Ramadhan tampak sungguh-sungguh dalam ketaatan, sehingga orang tersebut selalu dalam keadaan sujud, shalat, membaca Alquran atau menangis, sehingga bisa-bisa sama dengan orang terdahulu (salaf).
Anda akan tertegun melihat kesungguhan dan giatnya dalam beribadah. Namun itu semua hanya berlalu begitu saja bersama habisnya bulan Ramadhan. Setelah itu ia kembali lagi bermalas-malasan, kembali mendatangi maksiat seolah-olah ia baru saja dipenjara dengan berbagai macam ketaatan, kembalilah ia terjerumus dalam syahwat dan kelalaian. Kasihan sekali orang-orang seperti ini.
Sesungguhnya kemaksiatan itu adalah sebab dari kehancuran karena dosa adalah ibarat luka, sedang orang yang terlalu banyak lukanya maka ia mendekati kebinasaan. Banyak sekali kemaksitan yang dapat menghalangi hamba untuk mengucapkan: “La ilaha illallah” ketika sakaratul maut.
Setelah sebulan penuh ia hidup dengan iman, Alquran serta amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah, tiba-tiba saja ia ulangi perbuatan-perbuatan maksiatnya di masa lalu. Mereka itulah hamba-hamba musiman, mereka tidak mengenal Allah kecuali hanya pada satu musim saja (yakni Ramadhan), atau hanya ketika ditimpa kesusahan, jika musim atau kesusahan itu telah berlalu maka ketaatannya pun ikut berlalu.
Kelompok yang kedua, orang yang bersedih ketika berpisah dengan bulan Ramadhan mereka rasakan nikmatnya kasih dan penjagaan Allah, mereka lalui dengan penuh kesabaran. Mereka sadari hakekat keadaan dirinya, betapa lemah, betapa hinanya mereka di hadapan Yang Maha Kuasa. Mereka berpuasa dengan sebenar-benarnya, mereka shalat dengan sungguh-sungguh. Perpisahan dengan bulan Ramadhan membuat mereka sedih, bahkan tak jarang di antara mereka yang meneteskan air mata.
Kedua kelompok ini tidaklah sama, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Allah SWT berfirman: “Katakanlah; Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaan masing-masing,” (QS. Al-Isra’: 84). Para ahli tafsir mengatakan, makna ayat ini adalah bahwa setiap orang berbuat sesuai dengan keadaan akhlak yang sudah biasa ia jalani.
Barangsiapa berpuasa siang hari di bulan Ramadhan dan shalat di malam harinya, melakukan kewajiban-kewajibannya, menahan pandangannya, menjaga anggota badan serta menjaga shalat Jumat dan jamaah dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan ketaatannya sesuai yang ia mampu, maka bolehlah ia berharap mendapat ridha Allah, kemenangan di sorga dan selamat dari api neraka. Orang yang tidak menjadikan ridha Allah sebagai tujuannya maka Allah tidak akan melihatnya.
Jangan seperti orang yang merusak tenunan yang kuat hingga bercerai-berai. Hati-hatilah, jangan seperti seorang wanita yang memintal benang (menenun) dari kain tersebut ia bikin sebuah gamis atau baju. Ketika semuanya telah usai dan kelihatan indah, maka tiba-tiba saja ia potong kain tersebut dan ia cerai-beraikan, helai demi helai benang dengan tanpa sebab.
Tentang amal yang paling dicintai oleh Allah, Rasulullah saw pernah ditanya: “Amalan apa yang paling disukai Allah?” Beliau menjawab: “Yakni, yang terus menerus walaupun sedikit.” Aisyah ra juga pernah ditanya: “Bagaimana Rasulullah mengerjakan sesuatu amalan, apakah ia pernah mengkhususkan sesuatu sampai beberapa hari tertentu?” Beliau menjawab: “Tidak, namun Beliau mengerjakan secara terus menerus, dan siapapun di antara kalian hendaknya, jika mampu, ia mengerjakan sebagaimana yang dikerjakan Rasulullah saw.”
Demikian juga meskipun qiyam di bulan Ramadhan (tarawih) telah usai, maka seorang mukmin janganlah berhenti dari menjalakan shalat malam. Hendaklah bersemangat untuk tetap terus dalam beribadah sesuai dengan kemampuan kita. Beberapa cara untuk tetap berada di atas dinnullah dan ketaatan kepadaNya antara lain: Berdoa supaya senantiasa tetap di atas agama Allah, sebagaimana Rasulullah saw banyak membaca doa: “Wahai zat yang membolak-balikkan hati tetapkanlah hatiku di atas agamaMu,” (HR. At-Tirmidzi 4/390); Sabar, firman Allah (QS. Al-Ankabut: 58-59); Menelusuri jejak orang-orang shaleh (QS. Hud: 120); Dzikrullah dan membaca Alquran; Mempelajari ilmu syariat dan mengamalkannya (QS. An-Nahl: 102).
Terakhir, ketahuilah bahwa termasuk ciptaan Allah adalah sorga, yang jika kita ingin mendatanginya tampak penuh dengan kesusahan, dan ciptaan Allah yang lain adalah neraka, yang jika anda mendatanginya terasa sangat menyenangkan. Sorga itu di-hijab dengan hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sedangkan neraka di-hijab dengan syahwat dan hal-hal yang menyenangkan. Maka apakah termasuk orang-orang yang berakal jika seseorang menjual sorga dan seisinya dengan kesenangan yang sesaat.
Seandainya meninggalkan syahwat (kesenangan yang menjerumuskan) itu perkara yang susah dan sulit. Jawabannya adalah: “Sesungguhnya rasa berat itu hanyalah bagi orang-orang yang meninggalkan syahwat bukan karena Allah. Adapun jika anda meninggalkannya secara sungguh-sungguh dan ikhlas, maka tidak akan terasa berat atau susah meninggalkan-nya kecuali pada awal permulaan saja, dan ini untuk menguji apakah benar-benar ingin meninggalkannnya atau hanya main-main saja.”
Jika dalam masa-masa ini mau bersabar maka anda akan mendapati keutamaan dan kenikmatan dari Allah yang begitu membahagiakan, karena orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Sebagai contoh, Kaum Muhajirin yang berhijrah meninggalkan harta mereka, tanah kelahiran mereka, kerabat dan teman, semata-mata karena Allah maka akhirnya Allah mengganti dengan rezeki yang luas di dunia dan di surga.
Demikian, Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.