KAI

Hukum Mempelajari Fiqh Ekonomi

Dewasa ini, di Aceh banyak pembicaraan mengenai bank syariah, ekonomi syariah, asuransi syariah dan sejenisnya. Ada ustaz

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Hukum Mempelajari Fiqh Ekonomi
Muslim Ibrahim
Diasuh Oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.

Pertanyaan
Ustaz Pengasuh yang mulia,
Assalamualaikum wr. wb.
Dewasa ini, di Aceh banyak pembicaraan mengenai bank syariah, ekonomi syariah, asuransi syariah dan sejenisnya. Ada ustaz yang menyatakan bahwa masalah perekonomian syariat, sesungguhnya, bukanlah barang baru dalam Islam. Muamalah telah berkembang sejak zaman Rasulullah saw dan dapat ditemukan di dalam kitab-kitab fiqh.

Apakah benar demikian dan apa hukum mempelajarinya? Mohon ustaz jelaskan lengkap dengan komponennya. Atas kesediaannya, kami ucapkan banyak terima kasih.

Usman Atraji

Pemerhati Ekonomi

Jawaban
Sdr Usman Atraji,
Waalaikumus salam wr. wb.

Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik akidah, syariah dan akhlak. Salah satu ajaran dalam syariat adalah muamalah, termasuk masalah iqtishadiyah (ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah sangat banyak, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Al-Kharaj oleh Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi.

Namun dalam waktu yang panjang, materi muamalah cenderung diabaikan, akibatnya, terkadang kajian Islam menjadi parsial (sepotong-sepotong). Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh), sesuai firman Allah swt: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah). Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208).

Akibat lainnya, ialah umat Islam tertinggal dalam bidang ekonomi dan banyak yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah hidup, seperti riba, maysir, gharar, risywah dsb. Ajaran muamalah adalah termasuk dalam bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam, sebagaimana disitir Dr Abdul Sattar Fathullah Sa’id, seorang pakar ekonomi Islam terkenal dewasa ini: Di antara unsur dharuriyaat dalam masyarakat manusia adalah muamalah, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegiatan ekonomi.

Karena itu, di antara tujuan syari’ah ilahiyah datang adalah untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukum-hukumnya. Karenya ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah) demikian Abdussattar.

Prof Dr Husein Shahhathah (Guru Besar Ekonomi Islam pada Universitas Al-Azhar, Kairo) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib (fardhu) `ain bagi setiap muslim.

Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syariah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shalih dan ikhlas karena Allah semata.

Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah. Lalu beliau mengutip ungkapan Umar bin Khaththab, sesuai Tarmizi: “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam.”

Berdasarkan ucapan Umar ini, maka dapat Syahatah menjabarkan lebih lanjut ungkapan ini: Tidak boleh beraktifitas bisnis, berdagang, perbankan, aktivitas asuransi, pasar modal, koperasi, pegadaian, reksadana, jual-beli, kecuali oleh orang-orang yang faham fiqh muamalah (cf. Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah, 2002)

Dalam konteks ini Allah berfirman: “Dan kepada penduduk Madyan, Kami utus saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan Janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik. Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan (kiamat). Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. Hud: 84-85)

Dua ayat tersebut mengisahkan perdebatan Nabi Syu’aib dengan umatnya yang mengingkari agama yang dibawanya. Nabi Syu’aib mengajarkan i’tiqad dan iqtishad (aqidah dan ekonomi). Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh mengelola hartanya sekehendak hati, tanpa aturan syariah. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam telah sepakat menyatakan bunga bank hukumnya haram. (Cf. tulisan Prof Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof Ali Ash-Shabuni, Prof Muhammad Akram Khan dsb).

Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum paham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah paham tentang syariah. Pengasuh akhiri jawaban ini dengan pengertian dan cakupan mu’amalat syar’iyyah.

Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai “Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda (kegiatan ekonomi), yang antara lain meliputi: Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ‘Ukud (akad-akad), Buyu’ (tentang jual beli), Ar-Rahn (tentang pegadaian), Hiwaalah (pengalihan hutang), Ash-Shulhu (perdamaian bisnis), Adh-Dhaman (jaminan, asuransi), Syirkah (tentang perkongsian), Wakaalah (perwakilan-kuasa), Wadii’ah (penitipan), Ariyah (peminjaman), Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah), Syuf’ah (hak langgeh), Mudharabah (syirkah modal dan tenaga), Musaqaat (syirkah dalam pengairan), Muzara’ah (kerjasama pertanian), Kafalah (penjaminan), Taflis (jatuh bangkrut), Al-Hajru (pengampuan), Ji’alah (sayembara, pemberian fee), Qardh (pinjaman), dan lain-lain. Demikian, Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved