Liputan Haji 2012

Sulitnya Menemukan Wanita di Tanah Suci

SELAMA hampir sebulan di Tanah Suci, Mekkah dan Madinah, sulit sekali menemukan wanita di sektor pelayanan

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Sulitnya Menemukan Wanita di Tanah Suci
Dahlan Dahi
* Catatan Wartawan Serambi, Dahlan Dahi, dari Mekkah (4)

SELAMA hampir sebulan di Tanah Suci, Mekkah dan Madinah, sulit sekali menemukan wanita di sektor pelayanan. Kami menginap di tiga hotel berbeda dan saya belum pernah menemukan seorang pelayan perempuan pun di front desk, house keeping, maupun di restoran. Semua serbapria.

Hari Jumat (9/11), saya menemukan sesuatu yang langka. Hendak menanyakan koneksi internet WiFi di Tower 6 Hotel Hilton Mekkah, eh terdengar suara wanita di sana berbicara dalam bahasa Inggris. Rupanya ada juga wanita, tapi bekerja di back office, di tempat yang tidak terlihat oleh tamu laki-laki.

Ada juga wanita di Masjidil Haram maupun Nabawi. Mereka yang mengenakan pakaian serbahitam dan menutup semua muka dengan kain tipis tembus pandang, bekerja di pintu masuk perempuan. Wanita hanya mengurusi wanita, begitulah kira-kira.

Toko-toko di Mekkah dan Madinah semua menggunakan jasa pelayan pria. Tidak satu pun pegawai wanita. Ada wanita, kebanyakan memakai burka, tapi ini di sektor informal, pedagang kaki lima. Mereka umumnya berkulit hitam. Segera bisa diterka mereka dari Afrika, sebagian dari Nigeria.

Wanita Arab Saudi umumnya hanya berada di rumah, mengurus anak-anak. Aturan ketat mengenai daftar pekerjaan yang boleh dan tidak boleh dilakoni perempuan diterapkan dengan ketat.

Seorang pembantu Indonesia bercerita sudah lebih tiga tahun bekerja di rumah majikannya di Mekkah, seorang hakim, tapi tidak pernah melihat muka majikan perempuannya. Apalagi paras anak-anak perempuan majikannya.

Biasanya, kalau wanita memesan sesuatu di rumah, mereka akan berbicara dalam kamar yang tertutup dan si pembantu mendengar dari balik pintu kamar. Ketika pesanan datang, pesanan itu cukup diletakkan di depan pintu kamar. Saat si pembantu pergi barulah majikan perempuan membuka pintu dan mengambil pesanannya.

Restoran maupun rumah makan, di hotel maupun di tepi jalan, semua menggunakan jasa pelayan laki-laki. Kebanyakan pekerja restoran di hotel berasal dari Bangladesh. Ada beberapa yang datang dari Sri Lanka.

Di lift hotel, perempuan biasanya ditemani muhrimnya. Saya pernah menemukan seorang perempuan di dalam lift dan ketika hendak masuk, si perempuan yang memakai burka itu berbicara, “Go to another lift, please!” Dia meminta saya pindah ke lift yang lain.

Aturan ketat untuk perempuan diterapkan pengelola Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, khususnya di pelataran Kakbah dan Raudah. Perempuan dilarang keras melakukan shalat wajib di pelataran Kakbah. “Haram, haram...!” teriak petugas. Kadang ditambahkan dengan kata-kata, “Astagfirullah, aurat, aurat.”

Bila jamaah wanita masih ngotot (biasanya disertai suaminya), petugas masjid akan membentak, “Hei, Anda muslim. Astagfirullah, aurat, aurat.” Biasanya dengan ini jamaah wanita segera berdiri mencari tempat shalat khusus wanita.

Masuk ke tempat suci di Raudah juga tidak bebas. Petugas masjid perempuan akan mengatur alokasi waktu khusus di mana hanya perempuan yang boleh masuk ke tempat yang selalu berdesak-desakan tersebut pada jam yang sudah ditentukan.

Sepintas seperti mengekang perempuan. Tapi dari sudut pandang lain, aturan-aturan ketat itu diberlakukan justru untuk menjaga kehormatan dan memuliakan wanita. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved