KAI

Hukum Menghadap Kiblat

Bersama ini kami ingin mengetahui hukum menghadap kiblat di dalam shalat dan bagaimana cara mengetahuinya secara pasti

Editor: bakri
Diasuh Oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA.

Pertanyaan

Yth. Ustadz Pengsuh,
Assalamualaikum wr wb.

Bersama ini kami ingin mengetahui hukum menghadap kiblat di dalam shalat dan bagaimana cara mengetahuinya secara pasti. Pertanyaan ini timbul karena di tempat kami ada tempat shalat yang arah kiblatnya dipertikaikan; Ada yang mengatakan ke arah Barat sedikit miring ke Selatan dan yang lain bilang ke Barat sedikit miring ke Utara. Mohon kesediaan Ustadz memberikan jawaban dan untuk itu kami mengucapkan terima kasih.

Muhammad Salem
Aceh Timur.

Jawaban
Sdr. Muhammad Salem,
Waalaikumussalam wr wb.

Pada waktu kita menunaikan shalat, baik fardhu ataupun sunat, kita wajib menghadap kiblat. Karena itu adalah satu syarat sah shalat, sebagaimana firman Allah swt: “...maka hadapkanlah wajahmu ke Masjidil Haram, di manapun kamu berada --kalau shalat-- hadaplah ke arahnya...” (QS. Al-Baqarah: 150). Nabi Muhammad saw juga bersabda kepada seseorang yang sedang belajar shalat: “Apabila kamu ingin shalat maka berwudhuklah, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbir...” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ulama juga telah mengkaji secara amat mendalam tentang masalah ini, sehingga mereka secara ijma’ meyatakan bahwa yang dimaksud dengan kiblat disini adalah masjidil haram, sebagaimana tersebut secara eksplisit dalam ayat di atas.

Pada awal-awal pelaksanaan kewajiban shalat, diperintahkan berkiblat ke Baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah saw berusaha untuk tetap shalat menghadap ke Kakbah, sehingga beliau mengambil posisi di sebelah selatan Kakbah, dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina, beliau juga tetap menghadap Kakbah. Namun ketika beliau dan para sahabat hijrah ke Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah itu menjadi mustahil.

Rasulullah saw sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk berkiblat ke Kakbah, sehingga turunlah ayat: “Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144).

Ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa bagi orang yang dapat melihat Kakbah, arah kiblatnya adalah bangunan Kakbah (‘ainul ka’bah) itu sendiri. Sedangkan bagi orang tidak dapat melihat bangunan Kakbah dan tidak ada cara untuk mengetahuinya, maka yang wajib baginya adalah menghadap ke arah Kakbah (jihatul ka’bah). Di saat itu dituntut untuk berijtihad bagi yang mampu untuk dapat mengetahuinya dengan yakin atau sekurang-kurangnya dugaan kuat (ghalibuzh-zhan).

Kita bersyukur banyak kepada Allah swt yang telah membuka luas ufuk pikiran manusia untuk menciptakan pelbagai alat guna mengukur dan mengetahui letak Kakbah yang meyakinkan secara falaki, sehingga dengan mudah dapat mengetahui kiblat shalat di manapun kita berada. Mareka menciptakan muraba’at, kompas (bushlah), ukur bayang dan sebagainya.

Kompas (bushlah) alat pengukur kiblat sederhana ini sungguh telah dapat membantu kita dalam mencari kiblat, terutama pada saat kita sedang berada di luar tempat kita biasa berada. Pengasuh sendiri telah banyak terbantu dengan bushlah yang besarnya sebesar plok kaphee beouh itu dalam mencari kiblat untuk shalat di Amsterdam, Canada, Helsinki, London, Camberra, dan tempat-tempat lain yang jauh dengan masjid.

Alat-alat itu semuanya dapat dikatakan hasil sudah akurat ala kadarnya, mungkin dapat dikatakan hampir mencapai ke tingkat yakin. Namun sekarang sudah bayak sekali alat-alat dan program-program baru yang lebih canggih lagi, sehingga hasilnya pun lebih meyakinkan. Misalnya program-progam penunjuk arah kiblat melalui komputer yang dapat dioperasikan dengan mudah oleh tenaga-tenaga terampil yang handal, seperti para ahli pada Badan Hisab dan Rukyah (BHR). Dengan program-program tersebut, terlihat jelas di komputer yang bisa juga dipancarkan ke layar lebar melalui infokusnya terlihat jelas sekali arah kiblat (Kakbah) dari titik di mana kita berada. Dapat kita melahat langsung Masjidil Haram dan juga tempat kita berada. Meyakinkan.

Menurut ahli Astronomi dan Geologi, diakui adanya pergeseran arah kiblat akibat pergeseran lempeng bumi, tapi itu kecil sekali sehingga dapat diabaikan. Pergeseran itu paling besar sekarang ini hanyalah 30 cm ke arah kanan kita selama puluhan tahun, sehingga gempa/tsunami 2004 itu dapat dikatakan hanya mengubah arah kiblat kurang dari 1/1.000.000 derajat saja. Jadi tidak mengubah arah kiblat masjid atau arah kiblat kita saat shalat di luar masjid.

Meskipun demikian, kita harus mengakui banyak masjid yang arah kiblatnya sekarang agak kurang tepat. Bukan karena pergeseran arah tadi, melainkan karena penentuan arah kiblat sebelum pembangunannya memang tidak begitu akurat, atau sekadar mengikuti arah kiblat masjid terdekat yang ternyata kurang akurat.

Ala kulli hal, menurut pengasuh, kita perlu mengukur kembali arah kiblat masjid, menasah dan balai-balai serta arah kiblat kuburan kita. Kita khawatir ada pergeseran lempeng bumi atau memang pengukuran sebelumnya dengan menggunakan alat sederhanya. Sekarang Aceh telah memiliki alat-alat yang canggih sekali untuk itu, juga telah memiliki tangan-tangan terampil untuk menggunakannya. Marilah kita berusaha dan mendukung sepenuhnya program pembetulan arah kiblat yang merupakan salah satu syarat shalat.

Lebih lanjut masalah ini dapat dirujuk antara lain pada: Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/667; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/51; Muhammad al-Mas’udi, Al-Ka’bah al-Musyarrafah Adabuha wa Ahkamuha, hal. 41). Ibnu Hazm, Maratibul Ijma’, hal. 11; Tafsir al-Qurthubi, 2/160). Imam Syafi’i, Al-Umm, 1/114); Asy-Syaukani, Nailul Authar, 1/366; dan Ash-Shan’ani, Subulus Salam, 1/134. Demikian, wallahu a’lamu bishshawab.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved