Opini
Budaya Meniru
Ketika mengikuti testing calon PPS beberapa waktu lalu, saya sempat dikejutkan oleh sebuah fenomena menarik,
Oleh Azhari AR
Ketika mengikuti testing calon PPS beberapa waktu lalu, saya sempat dikejutkan oleh sebuah fenomena menarik, dimana para peserta yang umumnya berusia dua puluh lima tahun ke atas terlihat celingak-celinguk. Sebagian bertanya tentang jawaban yang benar dengan bisik-bisik, sementara sebagian besar lainnya menjulurkan kepala ke kertas jawaban peserta lain yang dianggap lebih menguasai materi ujian.
Saya katakan menarik karena pada prinsipnya ujian merupakan uji kompetensi dan kemampuan sebagai bahan acuan untuk menentukan pantas atau tidaknya seseorang diberi tugas yang akan diembannya, bukan menilai dan memberi apresiasi untuk kemampuan menyontek atau meniru. Lalu, kenapa hal ini bisa terjadi secara berjamaah seolah-olah merupakan suatu tradisi atau budaya yang terlahir dari karakteristik atau watak kita sebagai sebuah bangsa?
Sesuatu yang dihasilkan atau merupakan kreasi, ciptaan, dan olah pikir manusia yang disebut budaya itu merupakan implementasi dari karakter dan ciri khas dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan kata lain bagaimana karakteristik sebuah masyarakat begitulah budayanya atau sebaliknya.
Sekarang kita lihat kenyataan di lapangan betapa banyak publik figur yang berangkat dari kemampuan menyontek figur lain, mulai penyanyi sampai dai ditiru habis-habisan. Anehnya, si peniru justru lebih dikenal dari figur aslinya. Masih lumayan kalau yang ditiru/dicontek sebatas gaya bicara, mimik wajah, akting bahkan cara memegang mikrofon, namun bagaimana kalau materi dakwahnya atau lagunya yang menjadi bahan plagiat atau contekan dan seolah-olah dialah penciptanya
Lihat, betapa terkenalnya Kriwil dengan gaya Zainuddin MZ dan seorang pelawak lain yang meniru Aa Gym. Tidak peduli apakah yang bersangkutan juga menguasai pemahaman agama seperti figur yang ditiru, juga tidak penting dalam kontek apa paparan (dakwah) disampaikan, apakah sebagai bahan lawakan, yang kadangkala malah ditertawakan atau sekadar pinjam gaya yang bermuara pada menelanjangi diri sendiri atas ketidakmampuan berkreasi.
Kasus paling aktual barangkali ketika seorang Norman Kamaru berjoget ria ala Shahrukh Khan yang bukan saja membuat Polda Gorontalo ikut “bergoyang”, Mabes Polri seperti tersanjung seolah sedang mengikuti presentasi oleh salah seorang anggota yang berhasil menemukan sebuah ilmu pengetahuan baru yang sangat fenomenal untuk peradaban manusia. Seluruh anak bangsa “terhibur”, Normal sepertinya mampu membuat masyarakat melupakan sejenak tentang karut marutnya perekonomian negeri, hukum, dan kasus korupsi yang saban hari menghiasi media cetak dan elektronik. Televisi negeri ini antre menayangkan sosoknya, bukan saja sekadar peragaan jogetnya, tapi juga seluruh kehidupan pribadi dikupas sedalam-dalamnya. Sebuah apresiasi yang lumayan dahsyat untuk sang peniru.
Memang sah-sah saja dan tidak ada satu undang-undang pun yang mengatur tentang larangan meniru gaya seseorang atau mengadopsi budaya bangsa lain, apakah itu sekadar iseng, atau mungkin ingin tampil utuh seperti sang idola dan budaya yang ditirunya. Tapi yang membuat kita miris adalah pemberian apresiasi yang berlebihan dari masyarakat, sehingga membuat anak bangsa ini termotivasi untuk melakukan hal yang sama.
Ketika hasil Ujan Nasional (UN) diumumkan, anak-anak kita merayakan dengan berbagai ekspresi. Para orangtua, guru, juga tidak kalah bersemangat menyambut “keberhasilan” dengan presentase kelulusan mencapai 100 %. Namun siapa yang tidak mengetahui apa yang tersembunyi dibalik “keberhasilan” itu? Apakah memang anak-anak kita berhasil karena benar-benar menguasai materi ujian yang disuguhkan atau malah kita sendiri yang menutup mata terhadap komuflase itu. Lagi-lagi sebuah apresiasi yang berlebihan terhadap budaya negatif itu.
Ketika hal ini terjadi, maka sekian banyak hal terabaikan mulai dari kepribadian, ciri khas, adat, dan bahkan semangat kebangsaan. Sebut contoh pemberian nama anak. Semakin jarang terdengar nama-nama khas Aceh atau nama Islami dalam rentang dua puluh tahun terakhir di negeri yang katanya sangat konsen dengan ajaran agama dan adat istiadatnya ini. Kalaupun ada yang islami, sebagian besar dipastikan menyontek pada nama-nama pemain sinetron yang diidolakan. Nama sang anak seperti nama Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh, Syuib, Harun, dipastikan sudah mulai ditinggalkan. Begitu juga nama Aminah, Siti Hawa, atau Aisyah.
Sebaliknya, mulai mudah menjumpai nama-nama Robert, Oscar, Ronald, David, dan nama tiruan barat lainnya. Padahal nama juga merupakan ciri khas sebuah bangsa yang oleh sebagian besar bangsa-bangsa dunia masih mampu mempertahankan alias tidak latah meniru nama-nama yang tidak punya korelasi jelas dengan budaya setempat.
Contoh konkretnya nama dengan huruf akhir “ic”, langsung mengingatkan kita pada salah satu bangsa di wilayah Balkan yang sekarang didominasi oleh bangsa Serbia Montenegro, seperti Jocovic, Caraczic, Ivanovic. Demikian juga nama khas Bangsa Yunani dengan huruf ujung “is”, apakah itu Caragonis, Polidis, Onasis dan jutaan is lainnya. Mereka sepertinya tidak perlu kehilangan identitas meski pengaruh budaya asing mengalir deras ke negerinya, dan masih banyak contoh lain seperti Cina, Jepang, India, Korea, dan lain-lain.
Asimilasi budaya memang tidak dapat dibendung lebih-lebih dalam era globalisasi sekarang ini. Namun dengan peradaban dan akar budaya kuat yang kita miliki sejatinya tidak tergerus hanya karena merasa budaya bangsa lain lebih ‘bagus’ dari kita. Tanpa sungkan kita lalu memberikan apresiasi yang berlebihan kepada apa pun bentuk budaya dari luar, baik itu seni, arsitektur bangunan, makanan, dan lainnya. Padahal, sebaik apa pun hasil tiruan disadari atau tidak pasti minus energi, semangat, dan kebanggaan.
Namun sejauh tidak merugikan siapapun secara moril dan materil, lalu berbaur menjadi sebuah budaya baru dengan segala konsekuensinya, mungkin akan menjadi keniscayaan terhadap semangat dan kebanggaan itu. Sebab, tidak dapat dipungkiri bahwa rasa suka, hobi, praktis sering menjadi alasan pembenar untuk dapat mengadopsi sebuah budaya. Lahirnya komunitas anak Punk, Geng Motor dan premanisme juga pada mulanya didasari alasan tersebut, sehingga kita tidak mampu berbuat banyak ketika kebutuhan lain juga ikut gaya aslinya. Apakah itu hiburan, pakaian, makanan, minuman, tentu semua harus disesuaikan.
Sekali lagi, kita tidak ingin menafikan “cita rasa” dari produk luar, apalagi menyalahkan penikmatnya. Tapi percayalah semangat sejati keacehan hanya ada dalam hentakan kaki dan suara dada Cheh Seudati atau gemuruhnya suara Rapai, bukan pada irama Rock, Regge dan lain-lain. Juga tidak ada semangat dalam lezatnya hamburger, chicken, dan sejenisnya, sesemangat Timphan Asoe Kaya yang disuguhkan dalam situek.
* Penulis adalah Keurani Gampong Jangka Alue U, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen