Kupi Beungoh
Lebih dari Sekadar Angka: Mengapa Kualitas Persalinan Ibu di Daerah Terpencil Masih Menjadi Taruhan?
Tiga penyebab ini sebenarnya bisa dicegah dengan deteksi dini, rujukan cepat, dan intervensi yang tepat. Namun, sistem kesehatan kita sering kali..
SERAMBINEWS.COM - Pada 7 September 2025 lalu, masyarakat Aceh diguncang kabar duka. Khairunnisa binti Salbina, seorang ibu muda asal Banda Aceh yang tinggal di Meulaboh, Aceh Barat, harus meregang nyawa usai melahirkan anak keduanya melalui operasi caesar (Sectio Caesarea).
Sekitar pukul 13.00 WIB, ia menghembuskan napas terakhir setelah sempat mendapatkan penanganan medis di beberapa rumah sakit berbeda.
Nisa, begitu sapaannya, meninggal dunia diduga akibat perdarahan hebat, salah satu komplikasi terbesar pascapersalinan. Kabar ini cepat menyebar dan menjadi viral di media sosial. Banyak warganet yang mendoakan, namun tak sedikit pula yang melontarkan kritik terhadap kinerja tenaga medis dan fasilitas kesehatan di Aceh.
Seorang netizen bahkan menulis komentar pedas: “Penanganan tidak siap, tidak sesuai komitmen medis.” Komentar ini mendapat banyak sorotan hingga akhirnya menarik perhatian media. Namun, di balik keramaian opini publik, ada hal penting yang sering luput: risiko persalinan, terutama operasi caesar, memang tinggi.
Seorang ibu bercerita di media sosial bagaimana ia hampir meninggal karena preeklampsia dan perdarahan. “Sekalinya hemorrhage, oksigen yang dibawa darah ke otak menipis. Ibu bisa koma, henti jantung, hingga kerusakan organ,” tulisnya.
Begitu pula risiko infeksi hingga sepsis, yang dapat berakhir pada kematian. Ada pula suara bijak yang mengingatkan bahwa perdarahan bukan semata kesalahan tenaga kesehatan. “Betapa berdebarnya jantung ketika menghadapi pasien dengan perdarahan, penyebab kematian nomor satu pada ibu bersalin. Makanya kontrol rutin kehamilan itu penting, agar tenaga kesehatan tahu catatan kondisi setiap bulan, mendeteksi tanda bahaya sejak dini,” tulis seorang warganet lainnya.
Kisah Nisa ini membuka mata kita semua bahwa tragedi kematian ibu bukanlah isu abstrak. Ia nyata, ia dekat, dan ia masih menghantui ruang-ruang bersalin di Aceh.
Luka yang Tak Terlihat: Antara Angka dan Nyawa
Saya masih ingat dengan jelas salah satu pengalaman ketika mendampingi seorang ibu dari daerah pegunungan yang berjuang melahirkan. Perjalanannya menuju rumah sakit membutuhkan waktu lebih dari tiga jam dengan jalan terjal dan minim transportasi. Sesampainya di rumah sakit, kondisi ibu sudah sangat lemah, dan penanganan pun menjadi terlambat. Meski ibunya selamat, bayinya tidak tertolong.
Kita bisa melihat pola yang sama: keterlambatan menjadi musuh terbesar. Ketika ambulans tidak segera tiba, petugas medis tidak tersedia, atau fasilitas tidak memenuhi standar, maka konsekuensi yang paling menyedihkan pun muncul.
Kisah ini bukanlah satu-satunya. Banyak tenaga kesehatan di lapangan bisa bercerita panjang tentang kasus-kasus serupa. Dalam ilmu obstetri, kita mengenal istilah golden period, yakni waktu emas di mana tindakan tepat waktu dapat menyelamatkan nyawa ibu dan bayi. Namun, bagaimana mungkin kita bisa menyelamatkan mereka jika akses menuju fasilitas kesehatann infrastruktur dan keterbatasan tenaga medis sudah menjadi perjuangan panjang?
Tragedi Khairunnisa adalah puncak gunung es dari problem sistemik: keterlambatan penanganan, keterbatasan fasilitas, dan lemahnya sistem rujukan.
Angka yang Membisu, Nyawa yang Hilang
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih di kisaran 189 per 100.000 kelahiran hidup (2022). Di Aceh, angkanya bahkan lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Penyebab utama kematian ibu di Indonesia tidak berubah: perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi.
Tiga hal ini sebenarnya dapat dicegah bila ada deteksi dini, rujukan cepat, serta fasilitas medis memadai. Namun, seperti yang terlihat pada kasus Nisa, sistem kita sering gagal di titik-titik kritis tersebut.
Ironisnya, kita sering membicarakan angka-angka ini dalam forum resmi atau laporan penelitian, tetapi lupa bahwa setiap angka merepresentasikan sebuah kehidupan yang hilang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.