Opini

Haji Wisata

HAJI merupakan klimaks dari ibadah kepada Allah. Bagi yang melaksanakan hendaknya mampu dari segi materi maupun

Editor: bakri

Oleh Dr. H. Agustin Hanafi, MA.

HAJI merupakan klimaks dari ibadah kepada Allah. Bagi yang melaksanakan hendaknya mampu dari segi materi maupun fisik, dan bagi sebagian besar kaum muslimin haji adalah dambaan bahkan sebuah cita-cita. Karena di Tanah Suci terdapat berbagai tempat ibadah yang sangat istimewa dan penuh sejarah bahkan nilai pahalanya ratusan ribu kali lipat dari tempat lain. Maka tidak heran jamaah haji dan umrah selalu meningkat dari tahun ke tahun, bahkan bagi yang pernah berhaji, pasti ingin berangkat lagi ke sana apabila ada kesempatan, walaupun didapat dengan susah payah dan penuh perjuangan.

Haji dan juga umrah, memiliki berbagai keutamaan, dan orang yang datang ke Tanah Suci adalah tamu Allah. Sebagai tamu Allah, harus patuh pada apa yang telah ditetapkan-Nya yaitu melaksanakan rukun dan syarat haji dengan sempurna kemudian menjaga diri dari perbuatan keji dan fasik.

Dengan demikian mereka akan mendapatkan hidangan dari Allah yang sangat istimewa, diberikannya rahmat dan maghfirah sehingga hamba-Nya bagaikan seorang bayi yang baru dilahirkan, bersih tanpa noda dan dosa sedikit pun. Hal ini sesuai dengan janji Allah sebagaimana yang termaktub dalam kitab-kitab hadis: “Balasan yang tepat bagi yang melaksanakan haji mabrur adalah surga.”

Oleh karena itu, agar memperoleh predikat ‘haji mabrur’ hendaknya biaya yang digunakan dengan rezeki yang halal, bukan melalui hasil korupsi, judi, dan kejahatan lainnya yang tidak dibenarkan dalam agama.

 Niat yang tulus
Kemudian hal yang terpenting adalah niat yang tulus dan hati yang ikhlas, misalnya tujuan utama berangkat ke tanah suci apakah murni ingin memenuhi panggilan Allah, sebagaimana yang diucapkan ketika talbiyah: “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, kekuasaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu.”

Dengan demikian, akan menggunakan kesempatan yang sangat langka itu dengan penuh ibadah kepada Allah. Atau mungkin sebelum berangkat saja sudah memiliki niat yang keliru seperti ingin shopping (berbelanja) sebanyak-banyaknya, atau karena riya’ yang ingin mendapat pujian dan pengakuan dari orang lain dengan mendapat julukan ‘orang kaya’, sehingga status sosialnya meningkat di tengah masyarakat, atau ingin dikagumi dan dihargai orang dengan cara menciumi tangannya karena diyakini bisa membawa berkah.

Kalau seperti itu niatnya, maka ibadah haji yang dilakukannya menjadi sia-sia dan tidak bermakna. Kemudian dalam pelaksanaan ibadah haji terdapat ritual dan simbol-simbol tertentu misalnya menggunakan pakaian ihram berarti melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya. Dengan demikian, menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan oleh status sosial.

Oleh karena itu, patut bertanya pada diri masing-masing sebagai bahan renungan dan introspeksi diri; Apakah sekembalinya dari tanah suci, masih ada keangkuhan di dalam jiwa dan diri kita? Masih merasa perbedaan derajat kemanusiaan? Masih ingin menang sendiri dan menindas orang lain? Kalau masih ada berarti belum memahami hakikat haji secara kaffah.

Kemudian, di Tanah Suci terdapat sebuah tempat yang disebut dengan Arafah yang arti harfiahnya pengenalan. Ketika berada di sana, sang haji diharapkan mengenal jati dirinya, mampu mengendalikan diri dan hawa nafsunya, serta menjauhkan diri dari penyakit hati, menyadari kesalahannya, bertekad tidak mengulanginya, serta menghayati kebesaran dan keagungan Penciptanya, merasa kerdil di hadapan Allah, dengan demikian sifat tawadu’ semakin tertanam dalam jiwanya.

Ada juga tempat sa’i yang artinya berusaha. Ini bermakna bahwa dalam hidup ini tidak boleh berpangku tangan dan mengharapkan hujan dari langit. Akan tetapi harus berusaha tanpa pamrih demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan menghayati keshalihan, ketekunan dan keuletan para Nabi Allah seperti Nabi Adam as, Ibrahim as, Ismail as.

Meskipun ibadah haji memiliki berbagai keistimewaan, namun tidak sedikit juga para jamaah haji ketika di Tanah Suci hanya sibuk masuk dan keluar toko untuk mencari perhiasan baru, sehingga lalai melaksanakan ibadah seperti thawaf, shalat berjamaah dan i’tikaf di Masjidil Haram, sehingga niat semula untuk menjalankan ibadah sepenuhnya menjadi bergeser dan tidak terwujud. Ada juga jamaah yang begitu tiba di sana selalu mengeluh, marah dan sibuk menyalahkan orang lain karena ketika di Tanah Air, dia terbiasa dimanjakan dan dilayani oleh bawahannya.

Ada juga sebagian jamaah menghabiskan waktu hanya untuk berziarah ke tempat-tempat bersejarah yang cenderung dikeramatkan. Sibuk dengan handphone dan cameranya, bahkan terkadang ada yang disibukkan dengan foto yang dia bawa dari Tanah Air yang akan diletakkan di Jabal Rahmah, rela mendakinya walaupun sangat terjal dan berdesakkan karena meyakini tempat ini sebagai ajang perjodohan seperti bertemunya Adam dan Hawa.

Padahal kalau dia menyadari bagaimana perjuangan seseorang untuk berangkat ke Tanah Suci yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit, persiapan pun dilakukan jauh-jauh hari, perjalanan yang payah dan melelahkan, cuaca yang mungkin tidak bersahabat dengan fisiknya, makanan yang tidak sesuai dengan seleranya, tentunya dia tidak akan larut dalam hal-hal seperti ini apalagi kesempatan ini bisa jadi diperoleh hanya sekali dalam seumur hidup.

 Haji mabrur
Kemudian perlu digarisbawahi meskipun sudah menunaikan ibadah haji, tetapi tidak semuanya mendapat predikat ‘haji mabrur’, yang ditandai dengan berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, yaitu semakin meningkatnya amal ibadah dan ketakwaannya kepada Allah. Tumbuhnya sikap sabar, menghargai dan memaafkan orang lain, menjadi ayah dan suami yang baik bagi anak dan isterinya, berusaha menghargai dan mengayomi keluarganya.

Jadi, bukan seorang ayah yang egois hanya berharap dan meminta agar pihak lain yang memahami, memenuhi permintaan dan menyesuaikan diri dengan dia, dan sebaliknya dia tidak berusaha untuk memahami, memenuhi keinginan atau permintaan dan menyesuaikan diri dengan orang lain, suka menyepelekan janji dan membatalkannya secara sepihak hanya karena persoalan sepele. Kemudian kalau dia seorang isteri/ibu dia akan berusaha menjadi seorang isteri/ibu yang baik bagi suami dan anaknya, tidak mudah tergoda oleh bujukan dan rayuan pria lain yang belum diketahui ketulusannya.

Kalau perilaku atau kebiasaan-kebiasaan buruk masih melekat pada dirinya, berarti ia bukan haji mabrur dan tidak termasuk yang diberi janji mendapatkan surga. Meskipun orang menyebut atau memanggilnya Pak Haji atau Bu Hajjah, namun sedikit pun tidak membekas dalam kepribadiannya. Ia lebih mengingat keburukan orang lain, harga perhiasan yang dia beli, dan tempat-tempat berbelanja yang dia kunjungi ketika di Tanah Suci, sehingga tidak mendapatkan haji mabrur, tetapi hanya mendapat gelar ‘haji wisata’. Wallahu a’lam.

* Dr. H. Agustin Hanafi, MA, Ketua Prodi Hukum Keluarga (SAS) Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry, dan anggota Ikatan Alumni Timur Tengah (IKAT Aceh). Email: agustinhanafi77@yahoo.com

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved