Opini

‘Nusyuz’ dan Solusinya

RASANYA sangat langka suatu pasangan suami istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga selama hidupnya tanpa

Editor: bakri

Oleh Abd. Gani Isa

RASANYA sangat langka suatu pasangan suami istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga selama hidupnya tanpa disertai dengan intrik-intrik dan problematika. Perbedaan yang kemudian mengarah pada terjadinya pertikaian adalah suatu keniscayaan yang terkadang tidak bisa dihindari. Namun pertikaian yang berlebihan, apalagi jika sudah tak terkontrol, bisa mengikis keindahan hidup berumah tangga. Karena itu, jika timbul masalah dalam rumah tangga sebaiknya cepat diselesaikan dengan asumsi bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya dan setiap masalah pasti ada solusinya.

Untuk menyelesaikan pertikaian atau konflik-konflik rumah tangga tidak lepas dari rujukan kita pada Alquran (terutama Surah An-Nisa’: 34), yang menjelaskan tentang konflik dalam rumah tangga yang dikenal dengan istilah nusyuz (membangkang). Nusyuz ada kalanya lahir dari istri, adakalanya muncul dari suami dan adakalanya lahir dari keduanya. Ayat tersebut juga memberikan solusi konkret kepada kita dalam menyelesaikan konflik rumah tangga.

Berkaitan dengan nusyuz, Allah Swt memberi petunjuk bahwa suami boleh memukul istri yang (durhaka), asalkan tidak membekas atau cacat. Ulama fiqih membagi ad-dharbu (pukulan) menjadi dua, yakni: Ad-dharbu al-mubarrid (pukulan keras), dilarang atau diharamkan karena dikhawatirkan bisa menyebabkan kematian, mematahkan tulang, kerusakan pada satu anggota tubuh, merobek kulit atau mencederainya. Dan, ad-dharbu ghaira al-mubarrid (pukulan ringan), diperbolehkan karena tidak berdampak pada kematian, tidak mematahkan tulang, tidak merusak anggota tubuh, tidak robek kulit atau mencederainya.

 Solusi kebaikan
Dalam masalah nusyuz istri, Muhammad Ali Shabuni dalam Safwah Al Tafasir memberikan solusi untuk kebaikan tatanan rumah tangga melalui tahapan-tahapan: Pertama, memberikan nasehat yang baik pada istri. Dengan cara mengingatkan bahwa perbuatannya tidak disenangi oleh Allah dan akan mendapatkan siksaan dari-Nya; Kedua, meninggalkan dari tempat tidur dan tidak berbicara serta tidak mendekatinya dalam arti masih satu ranjang, namun membelakanginya, dan; Ketiga, memukul dengan pukulan yang tidak membekas pada kepala, wajah dan atau anggota tubuh lainnya (lihat; Muhamad Ali Sabuni, Safwah Al Tafasir, Beirut, Dar Al Qalam, 1986, h.274).

Penjelasan di atas diperkuat dengan pendapat Hasbi Ashidiqiy, bahwa dalam menyelesaikan nusyuz istri setidaknya ada tiga tahapan: Pertama, berilah nasihat atau pendapat yang bisa mendorong si istri takut kepada Allah dan menginsyafi bahwa kesalahan-kesalahan yang dilakukannya akan memperoleh siksaaan dari Allah pada hari kiamat kelak; Kedua, jauhilah dia misalnya tidak tidur seranjang dengannya, dan; Ketiga, pukullah dengan kadar pukulan yang tidak menyakiti dirinya. Hal ini boleh dilakukan apabila keadaan memaksa, misalnya ketika si istri sudah tidak lagi bisa dinasihati dan diinsyafkan dengan ajaran yang lemah lembut (TM Hasbi Ashidiqiy, Tafsir Al Qur’anul Majid An Nuur, Juz V, Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2000, h.844).

Sementara Sayid Qutub, jika memberikan solusi yang detail pada suami yang istrinya sedang nusyuz kepadanya, melalui penjelasan: Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya: Inilah tindakan pertama yang harus dilakukan, yaitu memberi nasihat kepadanya. Sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga harus mendidiknya, yang memang senantiasa dituntut kepadanya dalam semua hal, sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu...” (QS. At-Tahriim: 6).

Akan tetapi, dalam kondisi khusus ini, ia harus memberikan pengarahan tertentu untuk sasaran tertentu pula. Yaitu, mengobati gejala-gejala nusyuz sebelum menjadi gawat dan berakibat fatal.

Namun, adakalanya nasihat yang diberikan tidak mempan karena hawa nafsunya lebih dominan, memperturutkan perasaan, merasa lebih tinggi, atau menyombongkan diri, kecantikan, kekayaan, status sosial keluarganya, dan lain-lain. Si istri itu lupa bahwa dia adalah partner suami dalam organisasi rumah tangganya, bukan lawan untuk bertengkar atau sasaran kesombongan.

Maka, dalam kondisi seperti ini datanglah tindakan kedua. Yaitu, tindakan yang menunjukkan kebesaran jiwa dari suami terhadap apa yang dibanggakan oleh si istri yang berupa kecantikan, daya tarik, atau nilai apa pun yang dibangga-banggakannya untuk mengungguli suaminya, atau kedudukan sebagai partner dan sekaligus pemimpin dalam organisasi rumah tangga. “Dan, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka.” Tempat tidur atau ranjang merupakan tempat untuk melepaskan rangsangan dan daya tarik, yang di sini istri yang nusyuz dan menyombongkan diri itu merasa berada di puncak kekuasaannya.

Apabila si suami dapat menahan keinginannya terhadap rangsangan ini, maka gugurlah senjata utama wanita nusyuz yang sangat dibangga-banggakan itu. Biasanya ia lantas cenderung surut dan melunak di depan suaminya yang tegar ini, di depan kekuatan khusus suami dalam mengendalikan iradah dan kepribadiannya, dalam menghadapi kondisi yang sangat rawan. Di sana terdapat pendidikan tertentu dalam melakukan tindakan ini, tindakan membiarkaan dia di tempat tidur. Tindakan pendidikan ini ialah pemisahan itu tidak dilakukan secara terang-terangan di luar tempat yang suami istri biasa berduaan.

Tidak melakukan pemisahan di depan anak-anak, karena hal itu akan menimbulkan dampak yang negatif bagi mereka. Tidak pula melakukan pemisahan dengan pindah kepada orang lain, dengan menghinakan si istri atau menjelek-jelekan kehormatannya dan harga dirinya, karena yang demikian itu hanya akan menambah pertentangan. Tujuan pemisahan diri itu adalah untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan si istri dan merusak anak-anak. Itulah yang menjadi sasaran tindakan ini.

 Bukan untuk menyakiti
Akan tetapi, adakalanya langkah kedua ini juga tidak mencapai hasil. Kalau demikian, apakah akan dibiarkan rumah tangga itu hancur berantakan? Di sana masih ada tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkannya, walaupun lebih keras, tetapi masih lebih ringan dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran organisasi rumah tangga itu sendiri gara-gara nusyuz, “pukullah mereka.” Sejalan dengan maksud dan tujuan semua tindakan, maka pemukulan yang dilakukan ini bukanlah untuk menyakiti, menyiksa, dan memuaskan diri.

Pemukulan tidak boleh dilakukan dengan maksud untuk menghinakan dan merendahkan. Juga tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar untuk menundukkannya kepada kehidupan yang tidak disukainya. Pemukulan haruslah dalam rangka mendidik, yang harus disertai dengan rasa kasih sayang, sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap anak-anaknya dan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Semua tindakan ini tidak boleh dilakukan kalau keduanya berada dalam kondisi harmonis dalam mengendalikan organisasi rumah tangga yang amat sensitif itu.

Tindakan itu hanya boleh dilakukan untuk menghadapi ancaman kerusakan dan keretakan. Karenanya, tindakan itu tidak boleh dilakukan kecuali kalau terjadi penyimpangan yang hanya dapat diselesaikan dengan cara tersebut. Ketika nasihat sudah tidak berguna, ketika pemisahan di tempat tidur juga tidak berguna, maka harus dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan pemukulan. Dalam beberapa kasus, cara ini merupakan cara yang paling tepat untuk menyelesaikan konflik kejiwaan tertentu dan memperbaiki perilaku pelakunya serta memuaskan hatinya (Lihat; Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, h.243-244).

* Dr. H. Abd. Gani Isa, SH, M.Ag, Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: aganiisa@yahoo.co.id

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved