Balai Bahasa

Membaca Aceh Dalam Sastra Indonesia

Pada 21 Juli 2000 penulis dihadiahi sastrawan L.K. Ara Antologi sastra Seulawah. Antologi luks ini berisi karya seluruh

Editor: bakri

Oleh Korrie Layun Rampan Sastrawan dan Kritikus Sastra. Tinggal di Samarinda, Kaltim

Pada 21 Juli 2000 penulis dihadiahi sastrawan L.K. Ara Antologi sastra Seulawah. Antologi luks ini berisi karya seluruh sastrawan Aceh yang menulis sampai tahun 1995.  Membaca Aceh dalam sastra Indonesia tak mungkin melewati nama Hamzah Fansuri. Sastrawaan  sufi ini telah meninggalkan jejak sastra yang menandai karya-karya syair sufistik yang memperlihatkan hubungan kausalitas antara para penyair sufi Persia, Arab, dan Nusantara. Para sastrawan Indonesia modern telah memperlihatkan estafet panjang tema-tema kesufian seperti tampak pada Amir Hamzah, K.H.Mustofa Bisri, Kuntowijoyo, Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Mustofa W. Hasyim, dan lain-lain.

A.Hasjmy merupakan salah satu tokoh penting sesudah para sastrawan klasik Aceh. Ia merupakan anggota Angkatan Pujangga Baru. Kebanyakan karya sastranya mengandung nilai didik, sehingga tema-tema dasar itu muncul secara meyakinkan dalam tendens yang jelas. Dalam hal tertentu, ia tampak bersetuju dengan Sutan Takdir Alisjahbana bahwa tujuan utama karya sastra adalah mengemukakan sesuatu secara jelas, baik itu bertujuan mengajar, mendidik, memberi pengertian tentang kehidupan yang meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kebajikan, kebenaran, dan hal-hal mendasar lainnya yang berlekatan  dengan  kebaikan dan kemajuan umat manusia. Dalam sejumlah karyanya ia mengikuti dan menganjurkan sastra didaktisme yang memberi ruang tentang pengajaran dan pendidikan manusia seumur hidup.

Ahmad Rivai Nasution lebih dominan dengan pilihan tema keagamaan. Ia cenderung melanjutkan tradisi penyair awal dalam sastra Aceh yang secara konsisten menerjemahkan simbol-simbol keagamaan ke dalam sajak-sajak sufistik. Di dalam sejumlah sajaknya, Ahmad Rivai mengekalkan kejadian-kejadian keagamaan atau tokoh-tokoh agama yang menjadikan puisinya bersifat sajak ode yang kontekstual. Dalam tema yang lain, A.A. Manggeng Putra menunjukkan pilihannya pada pengekalan tempat, waktu, dan kejadian sebagai simbol hubungan manusia dengan alam dan Tuhan.

Sajak-sajak Agam Ismayani adalah puisi pengalaman. Lakuan empiris yang dialami ditulis secara liris dalam baris-baris yang menekankan pentingnya pengalaman fisik dan batin disatukan di dalam ekspresitas rohani, sehingga sajak merupakan pernyataan dan pengekalan momen-momen puitik yang menyiratkan simbol-simbol rohani. Bentuk-bentuk pengucapannya yang dinamik dan tegar menjadikan kaki sajaknya berderap dan indah, sebagaimana puisinya “Lakon-lakon Luka”. Dalam pengucapan yang lebih sederhana karya-karya  Alan Kaslan dan Ameer Hamzah  memperlihatkan perspektif waktu dalam hubungan kehadiran dan keberadaan umat manusia.

Ada beberapa penyair lainnya dari daerah ini yang tak terlupakan di antaranya ialah L.K. Ara, din saja,   Doel CP Alisah, M. Nurgani Asyik, dan lain-lain. L.K. Ara merupakan sastrawan yang lama malang-melintang di Jakarta, pernah bekerja sebagai Redaktur Balai Pusaka, dan banyak menerbitkan sajak anak-anak yang pada masa itu sedang ramai-ramainya proyek inpres. Sastrawan ini lebih banyak berorientasi ke dunia religius, sehingga sajak-sajaknya membayangi dunia iman yang kuat dan teguh. Di antara sajaknya, ada  yang berjudul “Penggegar” merupakan puitisasi Alquran, dan beberapa puisi lainnya yang memperlihatkan pendalamannya terhadap tema ketuhanan.

Penyair din saja (ia selalu menulis namanya dengan huruf kecil) termasuk penyair Aceh yang produktif. Beberapa waktu lalu, hampir setiap hari ia mentransfer sajak-sajaknya ke ponsel penulis. Sajak-sajak itu ditulis dalam berbagai tema, khususnya tema-tema yang berhubungan dengan keadaan carut-marut Indonesia masa kini. Tema-tema kemasyarakatan, politik, keagamaan ditulis dalam nada liris yang kadang menyentak dengan tekanan pada kritik sosial yang tajam. Seperti yang dikirimnya pada tanggal 7 Agustus 2013, sehari sebelum Lebaran, tentang religiusitas, “Sesungguhnya jiwa itu merantau dalam tubuh yang sangkar, membentuk rupa menghapus raga dalam kuasa dalam Tarawih, kembali pulang ke kampung akhirat (Lebaran) entah berapa banyak sudah dosa terpendam.”

Aceh adalah gudang sastrawan Indonesia. Dalam antologi Seulawah terisi nama-nama beken. Jika ditulis satu per satu akan memakan ribuan halaman buku.   

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved