Breaking News

Cerpen

Kisah Perjuangan Suku Naga

KERAJAAN Astinam merupakan negeri rekaan. Tapi apa yang terjadi di sana tak ada bedanya dengan apa yang terjadi di dunia nyata

Editor: hasyim

Apresiasi | Radius Priatama

KERAJAAN Astinam merupakan negeri rekaan. Tapi apa yang terjadi di sana tak ada bedanya dengan apa yang terjadi di dunia nyata. Di sana ada penguasa yang memerintah, ada rakyat, dan ada keculasan. Ratu dan Perdana Menterinya  melakukan kejahatan korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan menghambur-hamburkan uang rakyat.

Kolonel Srenggi, kaki tangan Ratu, adalah tipikal hamba yang taat, dia yang mengatur siasat untuk menghancurkan dan melenyapkan siapa saja yang menghalangi niat Ratu Astinam. Di Kerajaan Astinam pembangunan adalah agama baru. Demi kemajuan apapun dilakukan, sekalipun itu menyengsarakan rakyatnya. Dan siapa yang menghalangi niat ini akan berhadapan dengan kekuatan yang teroganisir dengan baik.

Kemajuan tersebut berarti menghancurkan alam, menebang hutan sumber kehidupan masyarakat, menggusur masyarakat adat. Siapa yang tidak setuju dengan ide ini, aparatus kerajaan akan menuduh pihak penentang sebagai subversif atau makar, oleh karena itu sah untuk dilenyapkan.

Menjadi tidak mudah bagi penguasa di Astinam ketika mereka berhadapan dengan Kampung Suku Naga. Kampung Suku Naga mempunyai hasil alam yang melimpah. Tapi perencanaan menjarah kekayaan tersebut sudah direncanakan. Tentu perencanaan tersebut bersembunyi di balik undang-undang dan ilusi kesejahteraan rakyat.

Abivara, anak Kepala Suku Naga, dan temannya Carlos yang bersekolah di luar negeri memahami betul akibat dari hasrat sang Ratu:  pembangunan berarti akan akan memusnahkan kampung mereka. Lakon karya WS. Rendra ini segera menonjok ulu hati kediktatoran Soeharto ketika pertama sekali dipentaskan Bengkel Teater pada dekade 70-an. Waktu itu Orde Baru sedang berada di puncak kekuasaannya politiknya, dan secara ekonomi perusahaan-perusahaan asing sedang menuia hasil di ladang-ladang minyak buah kerjasama dengan rezim tersebut. Di sisi lain pemusatan kekuasaan dan ekonomi tersebut menyebabkan terpinggirkannya kaum minoritas dan masyarakat adat, ketidakadilan, ketimpangan sosial, dan hancurnya kearifan lokal.

Mesin-mesin Berkostum

Lebih 10 tahun setelah kediktatoran paling bengis dalam sejarah abad 21 tersebut tumbang, penonton di Banda Aceh dapat menyaksikan pertunjukkan sandiwara tersebut. Gedung Tertutup Taman Budaya Aceh dipadati pengunjung Sabtu malam (28/12) tahun lalu. Pertunjukan itu sendiri dapat dikatakan kolosal, dengan jumlah pemain lebih dari 60 orang.

Pementasan ini digelar untuk memenuhi persyaratan final mata kuliah dramaturgi FKIP Sedratasik Unsyiah. Adapun Teater MAE bertindak sebagai penyelia dengan Mustika Permana sebagai sutradara. Teater MAE sebelumnya berencana mementaskan naskah ini, dan berusaha mengadaptasikannya ke dalam latar dan peristiwa yang terjadi di Aceh.

Di tangan Kelas Dramaturgi Sendratasik, di mana Ramdiana S. Sn bertindak sebagai skenografi dan Suryani Sulaiman sebagai pemimpin produksi, panggung dibuka dengan kemunculan seorang cahi yang bertugas memandu jalannya cerita.

Pada babak awal diberikan gambaran bagaimana negara-negara maju yang menguasai ekonomi dunia melalui mesin-mesin berkostum, robot masa depan yang bersiap untuk melumat apa saja. Adapun negara-negera berkembang adalah kampung yang asri, upacara-upacara adat, pemandangan yang permain. Tapi tak lama lagi mesin-mesin merusak seluruh keindahan tersebut. Sebuah ilustrasi ketimpangan yang berhasil.

Tentu saja pertunjukkan Kelas Drama ini tidak dapat disamakan dengan pertunjukkan yang dua kali penah dipentaskan Bengkel Teater dan disutradarai sendiri oleh WS. Rendra. Memilih naskah Kisah Perjuangan Suku Naga sebagai ujian akhir tentu patut dihargai. Ini adalah salah satu lakon modern Indonesia yang paling sulit. Sejumlah kelemahan terlihat jelas dalam pementasan yang berlangsung sekitar 2 jam 30 menit. Akan tetapi,  kelemahan-kelemahan kecil seperti  para aktor yang masih belum sepenuhnya dapat memaknai dialog yang mereka ucapkan, mestinya dapat dihindari. Hingga-hinga penonton terpaksa berpikir keras dan memasang kuping lebih baik untuk dapat mencerna dialog-dialog di atas panggung.

Pada akhirnya gemuruh tepuk tangan memecah hening dramatik yang diciptakan para pemain setelah adegan Carlos membongkar kejahatan Ratu dan kroninya di surat kabar luar negeri. Para tiran dipaksa meninggalkan Astinam. Rakyat Kampung  Suku Naga menangis bahagia. Layar pun ditutup.

Radius Priatama, Pekerja Teater Aceh 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved