Serambi MIHRAB

Tak Baik, Berlari Mengejar Shalat Jamaah

UMAT Islam yang ingin melaksanakan shalat jamaah di masjid atau meunasah harus mempersiapkan diri lebih

Editor: bakri

UMAT Islam yang ingin melaksanakan shalat jamaah di masjid atau meunasah harus mempersiapkan diri lebih awal supaya tidak terlambat atau masbuq ketika imam sudah mulai melaksanakan shalat. Upaya mengejar jamaah yang terlambat tidak dianjurkan dalam Islam, karena bisa saja seseorang tidak khusyuk dalam melaksanakan ibadah tersebut karena nafas yang terengah-engah.

Demikian disampaikan Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Kota Banda Aceh, Tgk Mulyadi Nurdin, Lc, MH dalam pengajian kitab Tuhfah yang diselenggarakan Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Rabu (22/1) di Warung Rumoh Aceh Kopi Luwak Jeulingke, Banda Aceh.

Menurut Tgk Mulyadi Nurdin, persiapan untuk shalat jamaah harus dilakukan sebelum azan berkumandang, sehingga seseorang sudah tiba di tempat shalat sebelum qamat atau imam memulai shalat.

“Sering kali kita bersantai-santai ketika azan sudah terdengar, lalu ketika iqamat baru bergegas menuju masjid, lalu berdesak-desakan di tempat wudhuk, terburu-buru menuju masjid, malah ada yang lari untuk menyusul imam, karena takut ketinggalan rakaat,” ujar alumni Universitas Al-Azhar Mesir tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa dalam ajaran Islam tidak dianjurkan berkejar-kejaran dengan waktu jika hendak menuju shalat jamaah, tetapi harus dilaksanakan dengan tenang dan penuh kekhusyukan.

Beliau mengutip hadits dari Rasulullah SAW yang memerintahkan umatnya supaya selalu sakinah (tenang) ketika menuju mesjid, jika ternyata imam sudah duluan shalat, nanti tinggal melanjutkan  melengkapi sisa rakaat yang kurang.

Dalam pengajian rutin tersebut, Tgk. Mulyadi Nurdin juga membahas beberapa rukun shalat dengan menggunakan referensi Kitab Tuhfatul Muhtaj, karya Ibnu Hajar Al-Haitami. Dimana dalam kitab yang merupakan salah satu kitab induk pemikiran mazhab Syafii tersebut dibahas sangat panjang tentang persoalan shalat dan lainnya, malah satu bab bisa menghabiskan ratusan halaman. “Satu pembahasan saja bisa menghabiskan ratusan halaman dalam Kitab Tuhfah, menunjukkan bahwa ulama terdahulu sangat berani berijtihad, mengerahkan daya nalar mereka untuk menyelesaikan berbagai persoalan umat yang akan terjadi di masa yang akan datang,” jelas Tgk Mulyadi.

Yang menarik dalam Kitab Tuhfah adalah, di dalamnya disebutkan perbedaan pendapat ulama mazhab syafii dalam beberapa hal, juga terjadi debat antar ulama Syafiiyah itu sendiri, hanya saja perdebatan dilakukan dengan sangat santun, profesional, dan saling menghargai. “Ini mencerminkan dinamika keilmuan dan pemikiran di masa itu sangat tinggi, mereka berani berselisih pendapat walaupun dengan seniornya sendiri, menariknya mereka tidak mengklaim dirinya paling benar, tetapi selalu diakhiri dengan kata Wallahu A’lam (hanya Allah yang paling tahu),” tambahnya.

Pembahasan yang sangat panjang dalam kitab Tuhfah membuat pengajian pada malam Kamis tersebut hanya sanggup membahas empat dari tiga belas rukun shalat, padahal pengajian berlangsung hingga jam 23.30 malam.

Dalam pembahasan rukun shalat tersebut, juga dibahas berbagai kemungkinan hukum yang akan terjadi di masa yang akan datang, walaupun contoh-contoh kasus yang dituliskan disana tidak pernah kita jumpai dalam kehidupan nyata, tetapi solusi hukumnya sudah disiapkan oleh ulama. “Ini menunjukkan bahwa para mujtahid terdahulu berfikir visioner, dengan menganalisa berbagai kemungkinan kasus yang akan dialami manusia setelahnya, sehingga tidak perlu susah-susah mencari penyelesaiannya, hanya saja kita jarang mengkajinya,” demikian Tgk. Mulyadi. (ari/nal)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved