Merkuri Sudah Terdapat dalam Rantai Makanan

Penyebaran logam merkuri di sebagian wilayah Aceh Jaya telah memasuki rantai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat

Editor: bakri

Penyebaran logam merkuri di sebagian wilayah Aceh Jaya telah memasuki rantai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Misalnya, sudah mencemari ikan, udang, dan kerang (lokan) yang terdapat di sungai dalam Kecamatan Krueng Sabee dan sekitarnya.

Untuk itu, di samping perlu kehati-hatian dalam mengonsumsi biota sungai di kawasan Aceh Jaya, juga perlu dilakukan kajian lebih lanjut dan menyeluruh mengenai sebaran merkuri di perairan Krueng Sabee. Khususnya pada jaringan makanan maupun warga yang telah mengonsumsi kerang, ikan, dan udang yang berasal dari muara sungai Krueng Sabee selama ini.

Rekomendasi itu diutarakan Ketua Program S2 Ilmu Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala (FMIPA Unsyiah), Dr Saiful MSi kepada Serambi di Banda Aceh, Rabu (19/2) malam.

Menurut doktor jebolan University of Twente, Belanda, ini limbah merkuri telah ditemukan pada rantai makanan yang dikomsumsi oleh masyarakat dengan kandungan logam Hg dalam kerang yang hidup di muara sungai Krueng Sabe. Tapi nilainya 0,15094 (mg/kg berat kering). Ini artinya, masih berada di bawah baku mutu untuk produk ikan dan hasil olahannya yang ditetapkan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 03725/B/SKNII/89 yaitu sebesar 0,5 (mg/kg).

Namun demikian, kata Dr Saiful, keberadaan merkuri di tubuh ikan dan kerang menunjukkan bahwa penyebaran logam merkuri telah memasuki rantai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat Aceh Jaya. “Maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut terhadap sebaran merkuri di perairan Krueng Sabee,” imbuh Saiful.

Data tentang kandungan merkuri di tubuh ikan dan kerang yang hidup di muara sungai Krueng Sabee itu, kata Saiful, diperoleh berdasarkan penelitian yang dilakukan tim peneliti dari Unsyiah bersama Badan

Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Aceh pada tahun 2012. Saiful juga merekomendasikan agar pemerintah segera mengeluarkan larangan pengangkutan limbah gelondongan ke luar daerah penambangan karena merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Dengan cara ini, kata Saiful, diharapkan dapat membatasi penyebaran paparan logam berat pada lingkungan di daerah pengolahan yang biasanya dekat dengan permukiman masyarakat.

“Selain itu gelondongan yang telah diproses (limbahnya) dapat digunakan untuk menimbun kembali lubang-lubang galian yang tidak produktif lagi,” demikain Saiful.

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh mengklaim, aktivitas penambangan emas yang semakin marak dilakukan oleh penambang tradisional di Aceh Jaya, Aceh Selatan, dan Pidie, mengancam fungsi hutan sebagai daerah resapan air. Hal itu sekaligus mempersempit lahan bagi petani karena kerusakan tanah bersifat permanen.

“Penggunaan merkuri atau yang lebih dikenal dengan nama air raksa juga mengintai keselamatan pekerja seperti kerusakan saraf, paru-paru, ginjal, hingga cacat pada janin,” kata Direktur Walhi Aceh, M Nur, menjawab Serambi di tempat terpisah.

Menurutnya, penggunaan bahan kimia pada saat eksploitasi oleh penambang tradisional membuat struktur tanah berubah menjadi lumbung limbah berbahaya yang mengintai keselamatan manusia.

“Menggunakan merkuri sama dengan mengundang bahaya. Warga tidak mengerti efek jangka panjang karena dampaknya baru terlihat 10-25 tahun mendatang. Jadi, kepada pemerintah jangan karena warga tidak tahu lantas tambah dibodoh-bodohi,” sindir M Nur. (dik/nr)

Tags
Merkuri
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved