Serambi MIHRAB

Dahsyatnya Shalat Istisqa

SEPEKAN terakhir, media memuat informasi kekeringan yang melanda beberapa daerah di Aceh

Editor: bakri

SEPEKAN terakhir, media memuat informasi kekeringan yang melanda beberapa daerah di Aceh. Bahkan, seruan melakukan shalat Istisqa atau shalat meminta hujan berulang kali disampaikan para ulama, baik melalui media atau langsung dari masjid ke masjid dan juga dalam ceramah umum.

Begitu parah kekeringan yang melanda Aceh, sehingga di beberapa daerah debit air berkurang dan lahan persawahan pun kering kerontang, dan perkebunan terbakar. Udara pun terasa panas.

Kabupaten Aceh Jaya, termasuk yang pertama kali melakukan shalat Istisqa, mengingat kekeringan yang melanda kawasan itu tergolong parah. Warga harus mencari air ke sisi gunung, jika pun ada airnya tidak jernih. Pada Jumat (15/2) warga di Kecamatan Jaya, Lamno berkumpul melaksanakan shalat istisqa meminta hujan.

Istilah shalat Istisqa menjadi populer di media. Bahkan, di Abdya ulama menyerukan mengawali berpuasa tiga hari terlebih dahulu sebelum bersama melaksanakan shalat meminta hujan. Kabupaten termasuk daerah parah terkena dampak kekeringan, perkebunan sawit warga di kawasan itu beberapa kali musnah terbakar.

Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Aceh saat ini, apakah kekeringan di peringatan dari Allah Swt? Dr. Suhrawardi Ilyas, M.Sc, staf Pengajar Fisika Astronomi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Syiah Kuala, berbagi informasi di Serambi Mihrab edisi kali ini.

Menurutnya, saat ini Aceh sebenarnya sedang berada di permulaan dari musim kemarau. Beberapa daerah di Aceh sudah merasakan kekeringan selama beberapa minggu, dan ada yang sudah merasakannya sejak bulan Desember, terutama mereka yang berada di wilayah pantai barat dan selatan Aceh. Siklus ini, menurut Suhrawardi dibangkitkan oleh gerakan matahari sepanjang tahun dari Garis Balik Utara (di 23,5 derajat Utara, tanggal 21 Juni) ke Garis Balik Selatan (di 23,5 derajat Selatan, tanggal 23 September) dan sebaliknya. Gerakan ini menghasilkan muslim hujan dan musim kemarau yang bergilir di belahan bumi selatan dan utara.

Dari bulan Oktober hingga Maret, matahari berada di belahan bumi selatan sehingga belahan bumi selatan mendapat lebih banyak hujan dan belahan bumi utara mengalami musim kering. Sementara itu, dari bulan April hingga September, matahari berada di belahan bumi utara sehingga belahan bumi utara mendapat banyak hujan dan belahan bumi selatan mendapat musim kering.

“Secara teori, Aceh mendapat curah hujan pada bulan Oktober-November dan April-Mei yaitu saat matahari melintas di atas wilayah Aceh. Tentunya sebagai hamba Allah, kita tetap melihat hujan sebagai rahmat dari Allah dan Dia dapat menurunkannya pada waktu yang Dia kehendaki,” katanya.

Kekeringan yang melanda Aceh di bulan Januari dan Februari ini, menurut Suhrawardi, karena Aceh berada di belahan bumi utara. Penguapan yang terjadi di Aceh selama Januari dan Februari lebih banyak dibawa ke selatan oleh angin, untuk membentuk awan-awan hujan di atas wilayah Jawa dan Sumatera Selatan. “Kita mendapat kekeringan sementara rekan-rekan kita di Jawa harus berenang dalam banjir,” ujarnya.

 Jetsream
Perkembangan ilmu pengetahuan telah memberikan berbagai fakta yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Salah satunya adalah fenomena “jetstream” yang terjadi di lapisan atmosfir terendah bagian atas.

Jetsream mampu membawa uap air dari satu bagian permukaan bumi ke lain yang cukup jauh dan menyebabkan banjir di suatu wilayah dan kemarau panjang di tempat lain.

Kemarau yang terjadi di Aceh, menurut Suhrawasrdi dapat dipahami sebagai efek dari jetsream. Misalnya, awan bergumpal-gumpal terlihat menutupi langit di Aceh, namun tidak ada hujan yang turun. Hal ini terjadi karena udara kita yang hangat menimbulkan penguapan yang banyak dan mengirim uap air ke udara.

 Mengapa terjadi kekeringan
Lalu mengapakah efek kekeringan terjadi dua bulan ini sudah sangat terasa oleh kita? Sawah-sawah mengalami kekeringan dan permukaan air sumur juga sudah turun.

Menurut Suhrawardi, hal ini disebabkan oleh daya dukung tanah dan lingkungan kita yang sudah sangat kecil untuk mampu menyerap air. Air hujan yang turun dialirkan ke sungai, dari sungai dialirkan ke laut. Tidak banyak yang diserap oleh tanah untuk disimpan sebagai air tanah. Laju perambahan hutan, berkurangnya pepohonan besar dan tingi di wilayah pemukiman, dan pola pertanian yang tidak lagi mempertimbangkan aspek ekologi dan lingkungan, telah menyebabkan sebagian besar air hujan hanya terbuang ke laut.

 Istisqa
Dalam kemarau panjang yang mungkin sudah memberikan berbagai efek menakutkan, pohon kelapa yang layu dan mati, sawah yang tidak bisa ditanami, ternak yang kelaparan dan berbagai efek lain yang mengerikan, manusia kata Suhrawardi masih tetap dapat berharap akan datangnya pertolongan dari Allah SWT dengan melaksanakan shalat Istisqa.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved