Serambi MIHRAB

Tatanan Hidup Hancur karena Praktik Riba

Riba merupakan penyakit ekonomi yang lahir dari model kapitalisme yang merusak tatanan kehidupan sosial yang sehat

Editor: bakri

BANDA ACEH - Riba merupakan penyakit ekonomi yang lahir dari model kapitalisme yang merusak tatanan kehidupan sosial yang sehat dan dinamis. Menghancurkan tatanan kehidupan karena riba memberikkan pengaruh yang sistemik dan menyeluruh bagi masyarakat.

Demikian dikatakan Dosen Fakultas Ushuluddin, UIN Ar-Raniry, Dr Fauzi Saleh,Lc, MA, Rabu (19/3) malam pada pengajian dan diskusi rutin bersama Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Banda Aceh.

Menurutnya, riba secara harfiah berarti tambahan dan secara terminologi syara’ diartikan penambahan tanpa ada pengimbang. Bila orang berjualan lalu mendapatkan keuntungan maka laba yang diperoleh itu merupakan buah dari jerih payah dalam dagangnya. Bila orang mengajar lalu dibayar upah, maka itu merupakan apresiasi terjadi pengabdian dan kerjanya.

“Sementara riba adalah keuntungan yang diperolehkan tidak melalui kompensasi yang sesuai dengan aturan syara’,” katanya.

Dalam praktik ekonomi dulu, menurut Fauzi Saleh, jual beli dengan sistem barter ternyata unsur-unsur ribawi ini sering terjadi terjadi pada beberapa jenis harta seperti emas, perak, gandum, kurma, garam dan sebagainya.

Jual barter benda-benda itu dipersyaratkan harus langsung (yadan-biyadin) bila tidak akan terjadi riba nasi’ah (riba karena penundaan penyerahan barang) dan ukuran yang sama antara kedua jenis, bila tidak mengakibatkan terjadi riba fadhl (riba akibat kelebihan antara barang sejenis yang dibarterkan).

Pada hal utang piutang, yang sering sekali memunculkan unsur ribawi dengan kesepakatan antara orang yang berutang dan berpiutang untuk menambahkan nominal utang ketika pembayaran dalam jangka waktu tertentu. “Konsensus kedua belah pihak itu acapkali dianggap tidak apa-apa, padahal syara’ tetap mengklasikan perbuatan itu termasuk riba,” ujarnya.

Dalam fiqh, transaksi dari segi untung tidaknya dapat dibagi menjadi dua, transaksi sosial dan transaksi komersial. Transaksi  sosial menurut Fauzi Saleh penekanannya pada kemampuan seseorang untuk memberikan bantuan kepada pihak lain, tanpa mengharapkan imbalan keuntungan, bahkan secara material dapat dianggap merugi tetapi yang diharapkan Ridha Allah Swt.

Sementara transaksi komersial, menurutnya penekanannya adalah mendapatkan keuntungan secara wajar sekaligus dapat memberikan bantuan kepada pihak lain dalam bentuk ikut serta menyediakan barang dan jasa kepada pihak lain meskipun dengan kompensasi yang layak. (*/ari)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved