Opini
Giok Aceh, Keindahan tanpa Pengakuan
MENYIMAK berita Serambi Indonesia edisi Sabtu (15/3/2014) yang berjudul “Perburuan Giok Aceh Makin Marak”
Oleh Teuku Fadli
MENYIMAK berita Serambi Indonesia edisi Sabtu (15/3/2014) yang berjudul “Perburuan Giok Aceh Makin Marak”, dilanjutkan edisi Rabu (26/3/2014) dengan judul “Distamben Aceh: Hentikan Penambangan Batu Alam”, lagi-lagi pemerintah mulai menunjukkan sikap main hakim sendiri dan mengebiri tanpa memberi solusi. Apa sebenarnya yang terjadi? Pernyataan dan pertanyaan ini muncul karena di saat batu mulia Aceh baru saja mendapatkan nama dan diakui kualitasnya di tingkat nasional, kini Pemerintah Aceh malah melarang dan ingin menghentikan aktivitas penambangan.
Beberapa alasan penyebab pelarangan mulai mencuat, salah satunya karena penambangan dilakukan di kawasan hutan lindung Gunung Singgahmata, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya. Alasan pemerintah memang masuk akal, yaitu ingin melindungi kawasan hutan lindung, tapi seharusnya pemerintah juga harus menjelaskan sampai mana batas hutan lindung tersebut? Penambangan batu seperti apa yang harus dihentikan? Bagaimana dengan nasib penambang batu tradisional yang hanya mencari batu tanpa merusak?
Mengherankannya lagi, di kawasan yang ‘katanya’ hutan lindung itu juga ada beberapa oknum mengambil batu-batu yang digunakan sebagai pasangan pondasi rumah atau gedung, pembuatan jalan dan pembuatan tanggul banjir. Atau jangan-jangan pemerintah salah mengartikan antara penambang batu mulia dengan mereka yang mengambil batu dalam jumlah banyak untuk pembangunan.
Sangat terkenal
Jauh sebelum batu mulia Aceh dikenal masyarakat nasional, keberadaan batu mulia Aceh hanya dipandang sebelah mata, padahal jenis batu Nephrite Jade atau lebih dikenal dengan batu giok sangat terkenal di Cina karena dipercaya berkhasiat membuat ketenangan, kegembiraan dan kesehatan, keselamatan yang tentu saja harganya sangat mahal.
Sementara di Aceh. batu-batu berukuran besar yang menyembunyikan keindahannya dari dalam itu hanya dijadikan sebagai salah satu bahan bangunan seperti penahan, pembuatan bronjong atau tanggul. Terkenalnya batu mulia Aceh diawali ketika beberapa contoh batu
mulia asal Aceh tepatnya dari Nagan Raya ditampilkan pada Pameran Batu Mulia Indonesia Gems Lover Expo 2013, pada 5-8 Desember 2013 di Yogyakarta. Dalam pameran tersebut, saya selaku penulis serta penambang batu alam berusaha hadir dan berangkat dengan menggunakan biaya sendiri dan sangat terkejut bercampur bangga karena pada kesempatan itu batu giok Aceh mendapat prestasi sebagai batu favorit.
Prestasi giok Aceh yang cantik belum berhenti sampai disitu, baru-baru ini dalam sebuah event bertajuk Indonesia Gemstone Competition & Exhibition yang berlangsung di Jakarta pada 12-15 Maret 2014, Giok Aceh menjadi juara umum dan mendapat pengakuan sebagai batu giok dengan kualitas terbaik, sungguh suatu prestasi membanggakan. Namun, kebanggaan itu haru terhenti karena pemerintah akan segera melarang bahkan menangkap para penambang batu mulia. Ya, usaha keras bertahun-bertahun ingin menunjukkan pada masyarakat dunia tentang keindahan batu mulia aceh harus berhenti sampai disini, tepat disaat batu itu baru saja menuai prestasi.
Kita mungkin masih ingat dengan kejadian di Afrika atau tepatnya di Liberia, Angola, dan Sierra Leone yang terkenal dengan batu berliannya. Sayang, batu berkilau itu mendapat julukan sebagai blood diamond (berlian darah) karena banyak korban berjatuhan
hanya untuk mengklaim siapa yang paling berhak memiliki dan menjual. Blood diamond atau juga disebut berlian perang adalah berlian yang dijual untuk membiayai terorisme atau tindakan kekerasan lainnya, termasuk perang saudara. Banyak orang tewas saat mengejar blood diamond, termasuk pekerja tambang yang terpaksa menyelundupkan berlian keluar demi alasan ekonomi atau menuruti perintah pihak yang mengancam mereka.
Kita berharap batu mulia di Aceh tidak akan seperti blood diamond yang menimbulkan perang saudara dan tersisa hanya keserakahan, tapi apa jadinya jika nanti batu giok Aceh mencapai harga miliaran? Sekarang saja harga untuk sebongkah batu asal Nagan Raya ini sudah mencapai Rp 200 juta. Sudah saatnya pemerintah mencari solusi, bukan hanya berkata berhenti lalu berdiam diri. Bagi penambang batu mulia Aceh, ini bukan hanya masalah harga tapi juga tentang kebanggaan daerah.
Penulis masih teringat ketika beberapa kali diadakan pameran di Aceh, ada beberapa stand yang menjual hatu mulia asal Kalimantan tapi tidak satu pun stand yang menjual batu giok Aceh. Pemerintah Aceh mungkin bisa mencontoh beberapa kota dan kabupaten di Indonesia yang melegalkan penambangan batu mulia. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa batu mulia itu bisa menjadi aset yang sangat berharga.
Soal kebanggaan
Sekali lagi ini bukan hanya tentang harga jual selangit tapi tentang kebanggaan yang menjadi ciri khas. Pemkab Halmahera Selatan (Halsel) di Maluku Utara contohnya, mewajibkan kepada seluruh pegawai negeri sipil (PNS) di daerah itu untuk memakai perhiasan cincin atau kalung dari Batu bacan saat masuk kerja. Pemkab Halsel mewajibkan PNS memakai perhiasan batu bacan saat masuk kerja untuk lebih mempopulerkan batu bacan sebagai ikon Kabupaten Halsel yang sekaligus mempopulerkannya kepada masyarakat di dalam dan luar daerah itu.
Pemkab Halsel juga memberikan izin penambangan batu bacan dengan syarat hanya dengan memakai alat tradisional dan melarang keras apabila penambang menggunakan alat berat karena akan merusak lingkungan (www.berita-maluku.com, 20/1/2014). Apa yang dilakukan Pemda Halsel itu, sepatutnya menjadi contoh bagi Pemerintah Aceh, bukan langsung melarang bahkan memburu para penambang batu di Nagan Raya.
Penulis atas nama penambang batu tradisional juga menolak dengan keras jika eksploitasi batu mulia di Aceh khususnya di Beutong, Nagan Raya menggunakan alat berat. Silahkan buru dan tangkap jika memang ada penambang menggunakan alat berat, tapi tentunya juga perlu dipikirkan bagaimana nasib penambang tradisional yang mencari batu giok secara manual laksana mencari jarum dalam tumpukan jerami. Karenanya, sangat diharapkan bagi Pemerintah Aceh memberi kesempatan kepada penambang dan pengrajin batu giok di Nagan Raya untuk berdialog, mencari jalan keluar agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Lagi-lagi penulis ingatkan ini bukan sekadar tentang harga, tapi ikon baru yang dapat membanggakan Aceh. Saat ini penulis juga sedang berusaha keras agar Indonesia, khususnya Aceh sebagai negara penghasil giok terbesar di dunia dalam daftar Gemological Institute of America (GIA). Berdasarkan fakta, struktur kandungan mineral giok Aceh berada di peringkat ketiga terbaik dunia setelah Birma dan Cina. Oleh karena itu, jangan biarkan giok Aceh yang penuh keindahan akan perlahan-lahan hilang tanpa pengakuan, dan perjuangan kami sebagai Gems Lover Aceh menjadi hampa dan sia-sia. Semoga!
* Teuku Fadli, Pedagang batu permata, tinggal di Banda Aceh. Email: abang77@ymail.com