Cerpen
Ziarah Laut
AZAN subuh berkumandang. Sayup-sayup terdengar dari rumah tuhan di ujung jalan. Di luar rumah, warga berduyun-duyun
Karya Masriadi Sambo
AZAN subuh berkumandang. Sayup-sayup terdengar dari rumah tuhan di ujung jalan. Di luar rumah, warga berduyun-duyun ke meunasah. Kurapikan sarung kotak-kotak berwarna abu-abu, setelan yang sepadan dengan baju koko dan peci putih. Lalu aku membangunkan istri untuk salat berjamaah.
“Kita shalat di rumah saja Abi. Tak usah jamaah di meunasah,” katanya sembari menggeliat. Aku tak ingin bertengkar. Namun, ada yang aneh. Tak biasanya istri mengajak salat berjamaah di rumah.
Kupenuhi permintaan istri. Di luar suara hening. Hanya terdengar dengus nafas dan lafaz surat suci Quran. Usai shalat, kami berdoa bersama. Agar Allah memberikan kesehatan dan kemudahan rezeki untuk membesarkan buah cinta kami, Taufan Nyak Sabi. Berdoa agar warung nasi yang kami buka laris.
Hari ini, aku dan istri sepakat tak berjualan. Warung ditutup selama tiga hari. Nanti malam, usai salat Isya, istri akan ke Sabang. Mengunjungi makam kakeknya. Ingin rasanya aku mencegah kepergiannya. Sejak memiliki Taufan, aku ingin Taufan selalu dekat dengan kami.
“Apakah tidak sebaiknya Umi menunda keberangkatan ke Sabang? tunggu Taufan besar dulu, jadi kita bisa pergi sama-sama ke pulau itu,” tanyaku setelah membaca do’a.
“Tidak Abi. Mungkin sekarang rumput di makam kakek setinggi badanku, sudah setahun tak kukunjungi Abi,” jawabnya seraya merapikan mukena.
“Entahlah. Hatiku tak tenang. Aku tak berat mengizinkanmu pergi kali ini. Semoga tak terjadi apa-apa. Alon sedang tak bersahabat. “
“Amin. Abi doakan Umi ya, agar selamat di perjalanan.”
Aku mencoba memahami keteguhan hatinya untuk merawat makam Kek Nyak Sabi. Bagi kami, Nyak Sabi bukan sekadar kakek. Meski Belanda mencapnya gila dan membuangnya ke Rumah Sakit Jiwa Sabang, namun bagi kami dia pejuang sejati.
Dengan rencongnya, Nyak Sabi menusuk lima Belanda di Tutu Puteh Pirak Timu tahun 1922. Pria berpostur pendek dengan kumis melintang itu tak ingin negerinya dijajah Belanda. Penjajah memburu dan meringkusnya, menuduh Nyak Sabi gila dan perlu dirawat di Rumah Sakit Jiwa Sabang. Sejak saat itu, Belanda melarang keluarga membesuk. Terakhir, kabar duka datang menyapa keluarga di Aceh Utara. Nyak Sabi telah tiada untuk selama-lamanya. Menghadap Tuhan dengan tenang dan jasadnya dimakamkan warga di belakang rumah sakit Johanes Lilipory, sekitar 100 meter dari Simpang Garuda Sabang. Menurut cerita, Nyak Sabi disiksa hingga akhirnya meninggal dunia.
Pagi itu, seharian aku dan istri menemani Taufan bermain di rumah. Aku membuatkan anak itu mobil-mobilan dari potongan papan. Untuk ban mobil kugunakan karet dari sandal jepit. Taufan sangat menyukai mainan itu. Mulutnya menirukan suara mobil bum bum bum sambil mendorong-dorong mobil kayu itu. Kami tergelak, tertawa mengikuti tingkah Taufan.
Selepas zuhur, istriku mulai berkemas. Memasukkan dua lembar pakaian terbagus miliknya ke dalam tas sandang. Dia juga sudah menyiapkan kuah pliek untuk aku dan Taufan.
“Jangan ada yang tertinggal Umi. Tiket kapal sudah di tangan?”
Taufan selalu menemani uminya. Seakan-akan tak mau lepas anak beranak itu. Kemana pun uminya pergi, selalu diikuti. Sesekali dia memegang tangan uminya. Tak biasanya, Taufan begitu manja. Biasanya, jika sudah ada mainan, dia larut dengan dunianya sendiri. Tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Waktu terus bergulir. Usai magrib, kami salat berjamaah di rumah. Istri meminta tetap salat di rumah. Tak mau berjamaah di meunasah. Alasannya, takut terlalu lama sedangkan dia harus berangkat ke pelabuhan.
Dengkur Taufan menemani salat kami magrib itu. Karena tidak ada yang menemani Taufan, aku tak bisa mengantarkan istri ke pelabuhan. Kasihan membangunkan anak itu.
“Umi bisa sendiri,” kata istriku, “Numpang sepeda motor Bang Ramli.”
Kupanggil Bang Ramli di samping rumah. Minta tolong mengantarkan istriku ke pelabuhan. Bang Ramli setuju. Sejurus kemudian, istri berangkat setelah sebelumnya mencium Taufan dan menyalamiku.
“Pulang lebih cepat,” kataku. “Karena, Taufan pasti merindukanmu.”
“Kuusahakan hanya dua hari di sana.”
Setelah istri pergi aku berbaring di samping Taufan. Berzikir untuk menenangkan hati yang gelisah sejak kemarin. Baru dua jam aku tertidur, pintu rumah diketuk dari luar. Suara Bang Ramli mengucapkan salam berkali-kali sembari memanggil namaku.
Aku setengah berlari membuka pintu. Nafas Bang Ramli tak beraturan. “Abi, istrimu. Gurita karam. Gurita karam.” Tanganya menunjuk ke arah pelabuhan. Baru 90 menit lalu istriku berangkat dari pelabuhan menaiki KMP Gurita menuju Sabang.
“Gurita karam. Tenggelam ke dasar laut. Begitu kudengar dari nelayan.”
Semua persendianku lemah seketika. Bang Ramli memapahku. Mengoyangkan tubuhku agar aku bisa bangkit. “Mari kita ke pelabuhan,” ajaknya.
Kubangunkan Taufan. Menggendongnya menuju pelabuhan. Di sana, ratusan orang berkerumun, Mencari tahu tentang Gurita yang karam.
Kuperhatikan satu per satu kantung mayat. Tak ada satupun wajah yang kukenali. Istriku tertinggal di dasar laut bersama puing-puing Gurita yang tak ditemukan hingga kini.
Malam ini, 19 Januari 2014. Aku dan Taufan yang kini berusia 19 tahun berdiri di Balohan. Kami membacakan surah yasin, untukmu, istriku. Di pinggir laut ini. Menziarahi laut setiap tahun. Sejak kepergianmu, aku memutuskan menetap di Sabang. Taufan kini kuliah di Banda Aceh. Setiap akhir pekan dia pulang ke Sabang. Kami hidup berdua, merawat makam Kek Nyak Sabi, dan merawat kenangan bersamamu di sini, di Pelabuhan Balohan.
* Masriadi Sambo, penulis novel Cinta Kala Perang (Quanta-Elex Media 2014). Tinggal di Meunasah Mesjid, Kecamatan Muara Dua, Lhokseumawe.