Cerpen
Pengawal
PAGI ini semua surat kabar memberitakan kematian seorang kaya karena serangan jantung
Karya Musmarwan Abdullah
PAGI ini semua surat kabar memberitakan kematian seorang kaya karena serangan jantung. Saya tidak menyangka, kenapa hal ini bisa terjadi; kenapa saya yang harus menjadi penyebab matinya orang lain.
Dengan air mata berderai saya menghantam kepala saya ke tembok karena penyesalan yang tiada tara. Saya yakin, Tuan Abdullah meninggal semata-mata karena terpengaruh oleh cerita dalam mimpi saya. Padahal semua cerita tentang mimpi itu bohong belaka. Saya hanya bersenda-gurau. Ya Allah, ampuni segala dosaku.
“Tuan Abdulah,” telepon saya kemarin malam. “Ada apa, Gang?” jawab beliau dengan nada berkelakar seperti biasa. “Saya ingin mengatakan ini tadi pagi, tapi segan.” “Lho, ada apa?” tanya beliau. “Kemarin malam saya bermimpi sangat aneh.” “Haa? Mimpi? Ha-ha-ha! Kacau kamu! Saya pikir apa.” “Jangan geli begitu, Tuan. Ini mimpi sangat serius, dan menyangkut Tuan,” jawab saya, dan tiba-tiba saya merasa Tuan Abdullah terpaku dengan kerongkongan tercekat di seberang telepon. Lalu dengan nada risau beliau bertanya, “Mimpi bagaimana?”
***
Kira-kira tiga tahun yang lalu Tuan Abdullah menelepon saya. “Saya butuh pengawal lagi,” katanya. Lalu kami berbicara sebentar. Setelah itu, “Ha-ha-ha!” saya ketawa usai menutup telepon. Selapis saya senang karena kebutuhannya itu berarti pemasukan bagi saya. Tetapi saya ketawa bukan karena membayangkan pemasukan berjuta-juta uang.
Tuan Abdullah orang kaya. Dia punya pengawal dua orang. Ia memang orang yang baik dan penuh perhatian. Untuk keselamatan dua pengawalnya ia perlu pengawal empat orang; dua orang pengawal untuk masing-masing pengawal.
Dia tergolong pelindung yang serius bagi apa-apa yang ingin dilindunginya. Untuk empat orang pengawal yang mengawal dua pengawalnya, Tuan Abdullah perlu melindungi mereka masing-masing dengan dua pengawal.
Persisnya, dua pengawal Tuan Abdullah, tambah, empat pengawal yang mengawal dua pengawal Tuan Abdullah, tambah, delapan pengawal yang mengawal empat pengawal yang mengawal dua pengawal Tuan Abdullah. Jadi sampai di sini sudah ada empatbelas pengawal di rumah Tuan Abdullah yang sangat besar dengan halaman sekeliling yang juga sangat luas itu.
“Tuan Abdullah,” panggil saya di telepon seminggu kemudian. “Ya, Sayang,” balasnya berkelakar seperti biasa. “Semua pengawal yang Tuan butuhkan kali ini sudah siap,” lapor saya. “Baiklah. Upahnya bagaimana, apa kamu datang-ambil ke rumah atau saya transfer saja ke rekeningmu?” Tanya dia. “Datang ke rumah Tuan? Gila! Saya banyak pekerjaan lain. Tuan transfer saja seperti biasa.”
Datang ke rumah Tuan Abdullah tidaklah mudah. Memang tidak ada masalah. Kita bisa datang dan masuk. Tuan Abdullah tidak pernah mencurigai orang-orang yang sudah dikenalnya. Yang jadi masalah, dari barisan pengawal pertama di pintu gerbang sampai ke barisan pengawal di pintu rumah, kita diperiksa sampai ke sepatu. Para pengawal itu setelah memeriksa langsung berdiri tegak-kaku lagi dengan sikap tangan istirahat-di-tempat dengan wajah mereka menatap lurus ke depan.
Itu karena pengawal Tuan Abdullah memang banyak sekali. Berlapis-lapis. Dan begitu pula pengawal-pengawal isteri Tuan Abdullah, yakni dua orang perempuan pengawal isteri, ditambah dua orang perempuan pengawal bagi masing-masing pengawal isteri, jadinya empat orang perempuan pengawal. Empat orang perempuan pengawal ini masing-masing juga dikawal oleh dua orang perempuan pengawal, jadinya delapan orang perempuan pengawal bagi empat orang perempuan pengawal-begitulah seterusnya. Begitu pula pengawalan terhadap dua anak perempuan Tuan Abdullah, dan begitu pulalah pengawal bagi pegawai-pegawai yang berkerja sebagai pembantu rumahtangga, baik orang yang mengurus dapur maupun yang bekerja sebagai pencuci pakaian dan seterusnya.
***
“Hoi! Preman! Kok diam? Maksudmu, kamu mimpi apa tadi malam?”
“Saya bermimpi didatangi Malaikat Maut.”
“Haaa?!”
“Iya.”
“Lalu?”
“Malaikat Maut mau mencabut nyawa saya.”
“Oh, Tuhan. Lalu?”
“Saya menantangnya.”
“Menantangnya? Menantang Malaikat Maut? Ah! Ha-ha-ha! Kau! Ulokmu boleh juga, dasar preman pasar ikan. Oya, menantang Malaikat Maut, itu bagaimana maksudmu?”
“Saya bilang pada Malaikat Maut, ‘Ya, Malaikat, apa susahnya mencabut nyawa seekor anjing pasar seperti saya? Tanpa Anda datang pun mungkin esok atau lusa saya akan mati di ujung rencong para nelayan yang beringas-beringas itu, atau di ujung parang milik pedagang-pedagang ikan yang kasar itu.’ Itu yang saya katakan pada Malaikat Maut, Tuan.”
“Oh-oh-oh! He-he-he…. Nampaknya saya dapat meraba kelanjutan ceritamu yang menjijikkan itu, he-he-he….”
“Terserah Tuan. Tuan memang ahli prediksi,” kata saya seraya mematikan telepon. Namun saat itu juga telepon genggam saya bergetar lagi. Dari Tuan Abdullah. Saya membiarkannya hingga putus sendiri. Namun segera berdering lagi. Saya lagi-lagi membiarkannya. Namun begitu terputus lagi, handphone berdering lagi. Saya masih membiarkannya.
***
Sebagai kepala preman pasar ikan saya suka diminta bantu oleh Tuan Abdullah untuk mengerahkan orang-orang. Maksud saya merekrut para penganggur. Saya suka mengajak mereka menjadi pengawal-pengawal bagi pengawal-pengawal di rumah Tuan Abdullah. Tentu dengan penghasilan yang lumayan dan lebih tinggi dari upah terendah yang ditetapkan pemerintah.
“Hoi! Preman Pasar Aceh yang baik hatinya!” panggil Tuan Abdullah suatu hari melalui telepon genggam. Tapi itu dulu. Saya masih ingat; dua tahun yang lalu. Saat itu pengawalnya baru seratusan orang. “Ya, Tuan Abdullah yang sangat super,” jawab saya mengikuti gayanya berkelakar. “Bagaimana jalan keluarnya ini?” tanya Tuan Abdullah dengan nada risau. Lalu, karena waktu itu masih enak datang ke rumahnya, saya pun meluncur ke rumah Tuan Abdullah.
Rupanya, saat itu, dia merasa bahwa seratusan pengawal boleh jadi tidak efektif apabila sewaktu-waktu mereka diserang kantuk yang datangnya berbarengan. Andai itu terjadi apa artinya mereka walau sebanyak itu? Tidak ada arti! Dalam tidur, manusia adalah patung yang sama sekali tidak ada gunanya. Jadi? Ya! Waktu itu diputuskan saya harus mencari teman yang ahli di bidang elektronik untuk merakit sistem keamanan elektrik yang akan bekerja seandainya ratusan pengawal itu terlelap dalam waktu bersamaan (meski giliran mereka sudah diatur dengan ketat).
Ya, akhirnya sistem keamanan berteknologi tinggi itu dikerjakan oleh para ahli. Dan saya masih ingat, beberapa bulan setelah itu, ketika pada suatu hari Tuan Abdullah menelepon saya dengan kata kunci, “Halo Preman Pasar Aceh yang baik hatinya.” Dan, seperti biasa, saya membalas gaya guyonnya dengan, “Iya, Tuan Abdullah yang sangat super. Ada yang bisa saya bantu?”
Saya pun datang lagi ke rumahnya. Kami seperti biasa, duduk lesehan di tikar pandan mewah rajutan khusus. Rupanya Tuan Abdullah mulai dihantui oleh teorinya, bahwa tekhnologi yang pada dasarnya ciptaan manusia, juga dengan amat mudah dilumpuhkan oleh manusia yang memiliki tingkat pengetahuan yang sama. Nah, jika manusia dengan jenis ini hendak menyerang mahligainya, maka dengan sangat mudah itu dapat terjadi.
“Jadi? Ya, ampun, gila nian Tuan ini! Lalu apa lagi yang harus kita lakukan untuk pengamanan mutlak rumah orang kaya rada bocor macam ini?” tanya saya. “Anjing!” jawabnya.
“Tapi, tunggu dulu,” kata saya. “Apa tujuan Tuan melapisi ratusan penjaga plus sistem keamanan dengan anjing?” Tuan Abdullah menerangkan, “Manusia bisa tidur tanpa sengaja dan terlelap tanpa tahu apa-apa. Sistem pengamanan elektronik dapat dilumpuhkan oleh orang yang ahli bidang itu. Nah, anjing, kalau pun ia tidur, instingnya tetap menyala. Sekecil apa pun ada yang mencurigakan, dia akan terkejut dan spontan menggonggong, dan pada saat itu semua pengawal yang tadi tertidur akan bangun serentak.”
Waktu itu saya langsung dapat menebak rencana Tuan Abdullah. Ketika Tuan Abdullah memaparkan niatnya, persis seperti saya duga. Dua ekor anjing kampung bertugas mengawal seluruh lingkungan rumah. Dua anjing kampung ini masing-masing dikawal oleh dua ekor anjing kampung lagi. Empat ekor anjing kampung berikutnya dikawal lagi oleh dua ekor anjing kampung lainnya. Delapan ekor anjing kampung terakhir ini masing-masing dikawal lagi oleh…begitulah seterusnya sehingga saya tak ingat lagi berapa ratus ekor anjing kampung yang tiap hari berjalan-jalan bersiliweran di antara kaki-kaki tegap para pengawal.
***
Telepon genggam saya berdering lagi. Kali ini saya mengangkatnya. “Hallo, assalamu’alaikum. Ada apa Tuan Abdullah? Nampaknya penting sekali.”
“Wa’alaikumsalam. Tidak, masalahnya, mimpimu sampai di mana tadi?”
“O, itu? Baik. Ketika saya tantang, Malaikat Maut berkata, ‘Masalah kamu mati di ujung parang pedagang ikan, itu perkara lain. Sekarang aku diutus Tuhan untuk mencabut nyawamu, titik!’ Demikian penegasan Malaikat.”
“Lalu?”
“Maaf, Tuan. Sampai di bagian ini saya sangat segan melanjutkannya. Justru karena bagian inilah yang membuat saya hampir tidak menceritakan mimpi ini pada Tuan. Namun mengingat apa yang terjadi dalam mimpi itu sesuatu yang benar-benar akan terjadi, saya tidak mungkin memeram hingga Tuan tidak mengetahuinya samasekali.”
“‘Sesuatu yang benar-benar akan terjadi’, apa maksudmu dengan kata-kata itu?”
“Dalam mimpi itu Malaikat benar-benar bersumpah bahwa meski itu hanya mimpi tapi semua akan menjadi nyata. Dan pada subuh, saya serta-merta berlari ke halaman mesjid, menunggu Teungku Abdurrahman shalat subuh, lalu saya memaparkan semua kisah dalam mimpi dengan suara bergetar karena takut, dan Teungku Abdurrahman mengatakan, ‘Subhanallah, kau orang yang mendapat ilham dari Allah. Maka sejak ini, tinggalkanlah semua pekerjaan berdosa, berzina, menghisap shabu, ganja, memeras pedagang lemah di pasar ikan dan lain-lain. Bertaubatlah. Semua yang ada dalam mimpimu itu akan menjadi kenyataan.’ Begitu kata Teungku Abdurrahman.”
“Kamu sebenarnya mimpi apa?! Kok serius sekali? O-ya! Tadi katamu Malaikat berkata, ‘Sekarang saya diutus Tuhan untuk mencabut nyawamu, titik!’ Nah, setelah itu apa yang terjadi?”
“Nah, lalu saya bilang pada Malaikat, ‘Tak perlu wahai Malaikat engkau bersusah-payah mencabut nyawa saya, saya sendiri bisa menikam jantung sendiri dengan rencong ini semudah saya menyembelih seekor ayam. Apa artinya kematian seorang bajingan pasar ikan seperti saya? Apa hebatnya engkau wahai Malaikat sebagai Malaikat Maut kalau hanya bertugas mencabut nyawa seorang yang sangat hina dan lemah seperti tikus got pasar ikan ini? Lihatlah wahai Malaikat Tuan Abdullah yang begitu ketat penjagaan keamanan terhadap dirinya, apa engkau bisa datang memasuki kamarnya dan mencabut nyawanya?’”
“Haaaaa?!”
“Lalu Malaikat berkata, ‘Dia belum ajal, belum bisa kucabut nyawanya. Tapi kalau sudah tiba ajalnya, bisa saja.’ Kemudian saya berkata, ‘Wahai Malaikat, oleh karena penjagaan terhadap Tuan Abdullah begitu ketat lalu engkau berdalih bahwa dia belum ajal; sedangkan saya yang begitu mudah engkau mencabut nyawaku lalu engkau berdalih bahwa saya telah tiba ajalku. Saya selaku hamba Allah yang juga sama dengan engkau, tidak rela dengan sikap pilih kasih seperti ini, apalagi jika itu karena harta-benda duniawi.’ Oh, Tuan Abdullah, maafkan saya dengan mimpi saya di bagian ini. Ini terjadi dalam mimpi, bukan di dunia nyata.”
“Saya mengerti. Lalu?”
“Lalu Malaikat Maut menghilang sebentar. Kemudian ia muncul lagi. Katanya, ‘Tuhan baru saja memutuskan, nanti malam telah ditetapkan sebagai waktu bagi ajal si Abdullah itu. Sedangkan kau akan hidup terus sampai Allah menentukan ajalmu kelak.’”
“Haaaaa?!”
“Iya, Tuan. Begitulah. Maafkan saya, Tuan.”
“Ohhhhh…”
“Iya, Tuan, maafkan saya. Hallo, Tuan Abdullah. Hallo, Tuan Abdullah. Apakah Tuan masih mendengarkan saya? Tuan? Tuan Abdullah? Hallo?”
Saat itu saya hanya mendengar suara gemeretak seperti perangkat telepon genggam yang jatuh ke lantai. Lalu senyap.***
Kembang Tanjong, Februari 2014
* Musmarwan Abdullah, adalah sastrawan kelahiran Pidie. Bukunya kumpulan ceritanya yang telah terbit Pada Tikungan Berikutnya (Lapena, 2007)