Opini

Aceh Miniatur Swedia?

SWEDIA adalah satu negara maju, makmur dan sejahtera dengan Human Development Index (Indek Pembangunan Manusia) tertinggi di dunia

Editor: bakri

Oleh Safaruddin

SWEDIA adalah satu negara maju, makmur dan sejahtera dengan Human Development Index (Indek Pembangunan Manusia) tertinggi di dunia. Swedia juga kerap menjadi referensi model demokrasi bagi negara-negara lain di berbagai belahan dunia. Itulah sebabnya beberapa pejuang demokrasi di dunia menjadikan Swedia sebagai negara transit dalam proses penegakan demokrasi di negaranya kelak. Doktor Tgk Muhammad Hasan di Tiro dalam perjuangannya menjadikan Swedia sebagai markas perjuangan pewujudan cita-cita kemerdekaan Aceh. Para pengikut Hasan Tiro pun kemudian berbondong-bondong hijrah ke Swedia dan beberapa negara lain di kawasan Skandinavia.

Sejak masa konflik (1976-2005) hingga hari ini, nama Swedia sangat akrab di telinga warga Aceh. Usai penandatangan damai antara GAM-RI pada 15 Agustus 2005 dan Aceh secara total tunduk di bawah NKRI, satu per satu mantan pejuang Aceh di pengasingan kembali ke tanah kelahirannya. Hasan Tiro, Malik Mahmud, Zaini Abdullah cs berbondong-bondong pulang ke Aceh setelah prosesi pemotongan persenjataan milik kombatan GAM yang selama puluhan tahun digunakan melawan serdadu RI. Harapan baru akan kebangkitan Aceh yang “meudelat” dan setara dengan negara-negara maju pun terlintas di hati rakyat.

Kepulangan tokoh-tokoh Aceh dari pengasingan di Eropa dan negara-negara maju lainnya di dunia seperti Singapura, Amerika, Denmark dan Norwegia menumbuhkan harapan baru bagi kemajuan Aceh. Cita-cita kemajuan itu semakin mendekat manakala “orang-orang penting” yang selama puluhan tahun pernah menetap di luar negeri, menempati posisi strategis dalam pemerintahan Aceh. Ada yang menjadi anggota legislatif, eksekutif, hingga tim ahli.

Mereka masuk dalam pemerintahan untuk menerapkan model dari negara tempat mereka tinggal sebelumnya. Seseorang akan menjadi transformator sesuai latar belakang pendidikan dan pengalamannya. Orang-orang yang selama puluhan tahun menetap di Swedia dipastikan akan menerapkan model yang dia pelajari dan amati dari negara asalnya. Begitulah seharusnya terjadi.

 Peradaban Swedia
Rakyat Aceh pantas bersyukur, sebab orang nomor satu di Aceh yang menjadi pengendali pembangunan adalah orang yang pernah menjadi warga negara Swedia. Itulah dr H Zaini Abdullah. Tidak hanya beliau, isteri dan anak-anaknya juga (masih) berstatus warga negara Swedia. Mereka akan melakukan transformasi peradaban Swedia dalam semua aspek kehidupan, dan jadilah Aceh sebagai miniatur Swedia.

Tidak hanya itu, warga Aceh semakin bersyukur setelah anggota DPRA periode 2009-2014 mengukuhkan sebuah institusi elite baru di Aceh, Lembaga Wali Nanggroe. Lembaga ini juga dipimpin oleh sosok yang pernah puluhan tahun menetap di Eropa dan Singapura. Itulah Paduka Yang Mulia Tgk Malik Mahmud Al-Haytar. Ditambah beberapa anggota dewan yang juga baru pulang dari Eropa seperti Adnan Beuransah, keberadaan mereka di Aceh untuk memperkenalkan model demokrasi ala Swedia di sini.

Kehadiran orang-orang yang pernah tinggal di Swedia dan negara-negara maju lainnya dalam lembaga penting di Aceh membuat Aceh menjadi negara “maju” mirip Eropa. Gubernur yang bekas warga negara Swedia, telah dan sedang merealisasikan konsep demokrasi ala Swedia di Aceh. Dalam hal ini, warga Aceh dan Indonesia tak perlu lagi ke Swedia kalau hendak melihat kemajuan yang dicapai Eropa. Tetapi cukup datang dan perhatikan kemajuan yang dicapai di Aceh saat ini.

Lalu, bagaimanakah kondisi pembangunan dan demokrasi Aceh saat ini? Jawaban atas pertanyaan ini tentu dapat dijawab sendiri oleh warga Aceh setelah melihat perkembangan Aceh pasca MoU Helsinki. Di antaranya adalah jumlah pengangguran masih tinggi, jumlah penduduk miskin meningkat, investor enggan masuk dan menanamkan modalnya di Aceh. Kemudian, tingkat kriminilatias meningkat, jumlah pengemis di jalan raya dan warung kopi semakin bertambah dan seterusnya. Barangkali beginilah keadaan di Swedia sana, dan kini dibawa ke Aceh.

Sementara dalam bidang demokrasi, data Biro Pusat Statistik (BPS) Aceh sebagaimana dilaporkan Serambi (30/4/2014), menunjukkan indek demokrasi Aceh adalah yang terendah se-Indonesia, walau dibandingkan dengan Papua sekalipun. Sementara indek demokrasi Indonesia diperkirakan masih berada dalam jajaran bawah di antara negera-negara di dunia. Dengan demikian, indek demokrasi Aceh berada dalam jajaran terbawah di dunia. Duh!

Pakar demokrasi Indonesia, Abdul Malik, menyebutkan, indek demokrasi dapat dilihat melalui terpenuhi tiga aspek; kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi (Serambi, 1/4/2014). Dalam hal ini, perkembangan demokrasi di Aceh masih jauh dari capaian tiga indikator tersebut.

Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014 lalu, banyak kasus kekerasan yang menimpa calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik. Beberapa nyawa caleg, pengurus partai, warga sipil hingga bocah terenggut akibat pelaksanaan Pemilu. Penembakan, teror, intimidasi, pengarahan hingga pemaksaan untuk mencoblos partai tertentu menjadi pemandangan umum dalam pesta demokrasi di Aceh. Beginikah model demokrasi Swedia yang diadopsi Aceh?

 Balik bertanya
Komisi Independen Pemilihan (KIP) selaku penyelenggara pemilu di Aceh dituding tidak netral dan memihak penguasa. Khusus di Aceh Timur, Ketua KIP bahkan mengangkut kotak suara sendirian pada malam hari tanpa pengawalan. Di Pidie dilaporkan ada kertas suara yang sudah duluan dicoblos. Belum lagi ada warga yang mencoblos berulang-ulang. Ketika ada komplain, Ketua KIP Aceh balik bertanya: Dari sisi mana Pemilu di Aceh tidak dimokratis?

Huh! Memang bodoh atau sengaja menutup mata? Mereka boleh “bersilat lidah” di dunia, tapi tidak di akhirat kelak. Karena banyaknya kejanggalan, akhirnya Ketua KIP Aceh disemprot oleh Komisioner KPU Pusat dalam proses rekapitulasi suara nasional, Selasa (29/4). Sang Ketua KIP pun mencari “kambing warna putih” untuk “dicat hitam”, yaitu dengan menyalahkan sumber daya manusia (SDM) penyelenggara Pemilu di Aceh. Ketua KIP Aceh hendak mengatakan bahwa SDM di Aceh bodoh-bodoh, dan ini sangat menyakitkan bagi warga Aceh.

Kasus-kasus kekerasan dan manipulasi dalam pemilu tidak diungkap tuntas. Pihak penegak hukum, baik Bawaslu maupun kepolisian, mengambil posisi ibarat penonton di tengah banyaknya laporan pelanggaran. Kalau ini dibiarkan, maka gedung parlemen akan diisi oleh orang-orang bermasalah. Orang-orang bermasalah akan melahirkan kebijakan yang bermasalah pula. Duh! Kasian rakyat negeri ini.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved