Cerpen

Luka Poma

LUKA Poma, pertunjukkan ke-20 Teater Rongsokan Banda Aceh, Minggu (8/6), berakhir klimaks

Editor: hasyim

Apresiasi | Hamzah Hasballah


LUKA Poma, pertunjukkan ke-20 Teater Rongsokan Banda Aceh, Minggu (8/6), berakhir klimaks. Penggarapan ulang lakon karya Maskirbi, teaterawan Aceh yang meninggal pada tsunami 2004, adalah langkah berani. Poma pernah dipentaskan oleh Teater Mata Banda Aceh 18 tahun lalu di beberapa kota di Indonesia, merupakan naskah yang agak surealis, sebuah usaha untuk menyingkap apa yang terjadi di Aceh selama berlangsungnya Operasi Jaring Merah yang rahasia sekaligus mengerikan.   

Setelah bertahun-tahun, ketika satu generasi berganti, naskah tersebut dimaknai ulang di atas pentas terhadap kondisi kekinian Aceh. Banyak penerjemahan simbol dan adaptasi. Jika dulunya jelas siapa yang menjadi lawan saat perang, namun kini, kawan pun pun menjadi lawan. “Sekarang banyak musuh dalam selimut,” kata Tejo, sang sutradara.  
Tejo menerjemahkan peran utama dari Poma, atau Ibu, sebagai Aceh. Saya pun beranggapan demikian. Poma adalah cerminan dari sebuah daerah utuh, yang perlahan tercabik. Sosok yang hancur lebur dengan berbagai pertikaian yang terjadi.

“Sebuah konflik yang Poma sendiri tidak pernah tahu kapan akan berakhir,” kata Tejo kepada saya. Poma pada dasarnya adalah ibu yang mencintai, merindui sosok sang anak, In. In adalah anak yang tak pernah tampil langsung di atas pentas. Tapi berdasarkan alur cerita, In mencerminkan sosok Indonesia. Dengan janji-janji sang anak dan pertikaian yang terus terjadi, Poma (diperankan Rebi) seolah harus menikmati rasa sakit sebagai konsekuensi dari rasa senang.

Simbol-simbol itu tercermin dalam peran-peran para pelakon. Secara umum penonton mungkin akan menerjemahkan cerita ini sebagai konflik antar Aceh dengan Indonesia. Tapi, tanpa disadari, ada pesan lain, bahwa di dalam diri sendiri (sesama orang Aceh) banyak ketidakpuasan yang rawan memunculkan konflik, seperti saat ini yang terjadi di Aceh.
Penggarapan pertunjukkan yang berlangsung di Taman Budaya Aceh itu jauh dari vulgar. Ketika layar dibuka, Poma melahirkan anak-anaknya. Diawali oleh gairah, lalu anak-anak itu lahir ke dunia dari sebuah kain bercorak Aceh yang menyerupai terowongan. Anak-anak itu kemudian menjadi pemberontak. Lalu mereka memerkosa ibu mereka, Poma. Kekejian ini dilakukan dari balik kain dan dan ditampilkan melalui gerakan-gerakan kecil yang disoroti lampu memikat. Hanya erangan yang terdengar. Seluruh adegan berbentuk siluet di balik layar putih.

Pemerkosaan Poma oleh anak-anaknya sendiri kemudian menjadi suatu hal yang bebas diterjemahkan penonton. Ini mungkin awal konflik antar sesama anak Poma, antar sesama Bangsa Aceh. Ketika terjadi saling serang, mereka menghalalkan segala cara, mencabik keutuhan perdamaian di Aceh.

Anak-anak yang dilahirkan Poma di awal tadi bergabung dalam barisan Kaum HT. Mereka adalah orang-orang yang melawan kediktatoran Uleebalang. Uleebalang adalah kaum bangsawan, orang-orang kaya Aceh zaman kolonial yang peran politik mereka dibatasi pada masa Belanda dan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, mereka melihat kesempatan untuk mengembalikan fungsi kekuasaan tradisional ke tangan mereka yang dulunya dikendalikan penjajah.

Saya menafsirkan Kaum HT yang diperankan melalui tokoh Keujreun, Apalah, Lempark dan Dekgam, dari dua sisi. Di satu sisi, mereka adalah rakyat yang bersatu bersama para ulama untuk melawan Uleebalang. Kasus yang kemudian terkenal sebagai perang saudara paling berdarah di Aceh: Perang Cumbok (1946-1947). Tapi dalam naskah ini, peran Kaum HT yang begitu kuat dan agung dalam sejarah, dicederai oleh hasrat mereka yang  ikut memerkosa Poma.

Di sisi lain, mereka adalah pejuang pemberontakan pembebasan Aceh, saat negeri begitu terkungkung oleh negara Indonesia. Dapatlah  disebut Kaum HT sebagai pengikut Hasan Tiro –  tokoh perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia. Cita-cita para kaum itu mulia, membebaskan Poma dari cengkeraman Uleebalang. Namun sebelum proyek itu mereka selesaikan, di antara mereka, yang dulunya saling bahu membahu, kini saling bertikai.
Baik Kaum HT maupun Uleebalang mengakui, bahwa mereka adalah anak Poma. Tapi tidak ada anak yang betul-betul sesuai keinginan Poma. Anak yang dirindu tersebut tak pernah muncul.

Menjelang akhir, Poma yang mendamba In merutuk. Saat itu, hanya terdengar suara In. Adapun sosoknya tak pernah ada. In bersuara dan bertanya siapa yang terkapar setelah bencana besar? Poma menjawab, “Sudahlah In. Jangan tanyakan lagi.” Kelak baca saja dalam sejarah. Itu pun bila ada yang menuliskannya.

Mereka yang bertikai, kata Poma, adalah anak-anaknya yang mencoba mempertahankan hidup. “Terkadang mempertahankan hidup memang harus mati,” kata Poma dalam dialognya dengan In, sosok yang tak pernah muncul itu. Sebuah akhir tragis. Akhir yang sejalan dalam setiap tema tentang pengkhianatan.

*Hamzah Hasballah | Alumnus Muharram Journalism College

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved