Serambi MIHRAB

Zakat Fitrah dengan Uang .

MENARIK mencermati ulasan Prof Dr H AlYasa’ Abubakar MA dalam Rubrik Ramadhan Mubarak dengan judul Zakat Fitrah

Editor: bakri

MENARIK mencermati ulasan Prof Dr H AlYasa’ Abubakar MA dalam Rubrik Ramadhan Mubarak dengan judul Zakat Fitrah jangan Paksakan ‘Ijtihad’. Al Yasa’ menyimpulkan bahwa jangan memaksakan zakat fitrah hanya sebuah ijtihad kepada umat ketika ada ijtihad lain yang lebih lapang, yang juga memenuhi syarat untuk diamalkan. Bagi fakir miskin, menerima zakat fitrah dalam bentuk uang lebih maslahat dari pada menerima beras. (Serambi, 24/7/2014).

Saya sepakat dengan Al Yasa’ karena memang sejak dulu kala, para ulama berbeda pendapat apakah zakat fitrah boleh dibayarkan dengan uang atau harus dengan makanan pokok. Zakat fitrah harus dibayar dengan makanan pokok (beras) mengacu pada dalil di antaranya hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri ra, ia berkata: “Dulu kami mengeluarkan/menunaikan pada hari raya idul fitri satu shak bahan makanan’, kemudian ia menjelaskan dengan berkata, makanan kami kala itu ialah gandum, zabib (kismis), susu kering, dan kurma.” (HR. Bukhari).

Mazhab Syafi’i sebagaimana mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa zakat fitrah harus memakai makanan pokok suatu negeri atau jenis-jenis yang telah ditetapkan dalam nash, misalnya gandum dan kurma.

Ulama yang membolehkan zakat fitrah dengan uang mengacu pada mazhab Hanafiyah. Para ulama beralasan bahwa di antara tujuan diwajibkannya zakat fitrah ialah guna memenuhi kebutuhan fakir miskin, padahal mereka bukan hanya butuh makanan. Tetapi juga butuh yang lainnya apalagi di daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya tidak terlalu parah, sehingga untuk kebutuhan makanan, mereka dapat memenuhinya sendiri. Dengan demikian kurang bermakna bila kita memberi mereka bahan makanan. Umar bin Abdul Aziz tatkala menjabat sebagai khalifah di zamannya membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang.

Alasan ulama lainnya adalah zakat bukanlah jenis ibadah yang murni seperti shalat. Di balik pemberian zakat terdapat tujuan-tujuan yang bisa dinalar akal manusia. Ada sisi-sisi kemanusiaan yang bisa dijadikan acuan. Jika pada zaman Nabi tidak ada zakat uang, itu karena kondisinya menuntut seperti itu. Kondisinya berbeda setelah itu.

Abu Hanifah membolehkan zakat fitrah dengan uang karena beliau hidup di negeri Irak yang corak kehidupannya sudah metropolitan, di samping beliau sendiri juga seorang pedagang. Abu Hanifah melihat zakat dengan uang lebih mudah, lebih praktis, dan lebih bermanfaat. Secara mendalam, Syaikh Yusuf Qardhawi telah menjelaskan zakat fitrah dengan uang dalam kitab Fiqh az-Zakah.

Wujud adanya perbedaan pendapat ulama di atas, di Indonesia (termasuk di Aceh) terdapat masyarakat yang membayar zakat fitrah dengan beras dan ada juga dengan uang. Saya melihat bahwa masyarakat perkotaan cendrung membayar zakat dengan uang, sementara masyarakat pedesaan cendrung dengan makanan pokok atau beras.

 Alasan dengan uang
Saya pernah melakukan dialog terbatas dengan beberapa penerima zakat fitrah apakah mereka lebih suka menerima beras atau uang. Kalau boleh memilih, sebagian kaum muslimin yang berhak menerima zakat fitrah cendrung lebih suka diberikan uang dengan berbagai argumentasi.

Mengingat hakikat zakat fitrah adalah untuk membahagiakan fakir miskin agar dapat bersama-sama dengan si kaya berlebaran, sementara kebutuhan lebaran bukan hanya beras. Jika dibayarkan dengan uang lebih leluasa (multifungsi) digunakan, misalnya untuk membeli pakaian dan perlengkapan ibadah. Bahkan, ada yang menggunakan untuk transportasi dalam bersilaturrahmi.

Menjual beras untuk mendapatkan uang bukanlah persoalan mudah, apalagi kalau kualitas beras yang diterima tergolong rendah, ditambah lagi waktu yang mendesak, susah menjualnya. Kalaupun ada yang membeli, tentu harganya lebih murah dibandingkan dengan harga normal. Mengharapkan uang dari sedekah belum tentu dapat karena orang yang bersadaqah sangatlah terbatas jumlahnya.

Proses pelaksanaan zakat fitrah dengan uang lebih praktis, baik dari segi pembayaran, penerimaan, maupun pendistribusiannya. Lebih ringan dibawa dan tidak memakan banyak tempat untuk penyimpanannya. Uang juga lebih mudah didistribusikan bahkan untuk jarak jauh (kasus bila ada daerah kaya yang ingin mendistribusikan ke daerah miskin). Bandingkan dengan beras, pendistribusiannya membutuhkan lebih banyak tenaga.

Oleh karena itu, alangkah bijaksananya bila panitia zakat fitrah (Amil) memberi kebebasan kepada masyarakat sesuai keyakinan masing-masing. Dengan demikian, ada masyarakat yang membayar zakat fitrah dengan beras dan ada pula yang membayar dengan uang.      

* Denni Iskandar, Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh. Email: deniiskandar75@yahoo.com

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved