Cerpen
Keluarga Besar
Semua kisah ini dimulai dari sebuah patung di simpang tiga dekat pasar 7 Ulu. Apabila berjalan ke kanan kau akan menuju
Karya Wendy Fermana
Semua kisah ini dimulai dari sebuah patung di simpang tiga dekat pasar 7 Ulu. Apabila berjalan ke kanan kau akan menuju simpang Bungaran, dan bila sebelumnya kau ambil kiri, maka kau akan sampai pada pasar yang penuh sesak oleh lapak-lapak pedagang segala macam, sehingga ada ucapan orang-orang bahwa, “Mereka menjual apa saja yang kau inginkan.”
Pada jalan bercabang di mana patung ini berada; orang-orang yang melintas, baik itu pejalan kaki, penumpang bus, dan pengemudi kendaraan akan bertanya-tanya, “Patung apa itu?”
Orang di kota ini menyebutnya “Tugu KB” atau “Patung KB”. KB adalah program yang diluncurkan pada masa Soeharto. KB atau Keluarga Berencana adalah program yang menghantarkan Soeharto sebagai pemimpin yang menekan pertumbuhan penduduk -sehingga para orangtua sempat bergurau, “Apakah banyak anak sekarang, banyak urusan?” yang tentu saja mencemooh istilah lama “Banyak anak banyak rejeki.”
Patung itu sederhana saja. Wujud empat manusia yang tampak bahagia: seorang lelaki yang boleh kita sebut sebagai Bapak; seorang perempuan yang boleh juga kita sapa sebagi Ibu; bocah lelaki yang sering dipanggil Anak Lanang, dan; gadis kecil yang sering disapa Anak Betino. Begitulah mereka berdiri di sana sepanjang hari, di bawah terang matahari dan dinginnya guyuran hujan. Mereka empat patung yang menjadi juru bicara pemerintah-meskipun mereka tidak bicara-kepada masyarakat bahwa jadi keluarga berencana itu bahagia.
Empat patung itu berdiri di atas sebuah pondasi batu berundak-undak, yang di empat sisinya dipahat visi-misi, tujuan, dan hakikat program Keluarga Berencana. Di sekeliling petak tanah berbentuk segitiga itu, para tukang kebun dari dinas pertamanan kota, menanam bunga hias yang aduhai tidak kunjung besar. Entah kenapa keadaannya belum juga elok dipandang mata. Dan permasalahan ini belum juga terpecahkan.
Pada suatu ketika, bus angkutan khusus berwarna putih dengan les hijau melewati patung itu. Seorang mahasiswa yang baru bertolak dari penglaju Indralaya, dan baru sadar dari tidur ayam-ayam, membuang mukanya keluar jendala dan berucap, “Patung itu kok kotor sekali.”
Di sana kaleng air mineral dan kertas pembungkus nasi padang bergeletakan di petak segitiga itu. Si mahasiswa mendesah, “Dinas Pertamanan kota harus diberi surat pembaca.”
Sesampainya di rumah, si mahasiswa membuka komputer lipat, membuka program microsoft word dan mulai menulis surat pembaca. Ia melupakan bahwa seharusnya ia mendahulukan mengerjakan makalah yang harus disetornya esok pagi. Lantas satu setengah jam kemudian ia mengirim surat itu ke sebuah harian lokal yang belakangan sering menyiarkan artikel dan cerita pendeknya, tetapi ketika dia kunjungi untuk mengambil honor, mereka sering bilang, “Bendahara sedang tidak ada di tempat.”
Tanpa menunggu lama, terbitlah surat pembaca itu keesokan harinya, lengkap dengan foto keadaan Patung KB yang memprihatinkan. Lembar itu berada di halaman ketiga harian Berita Kesiangan.
Di seberang Patung KB ada sebuah lapak koran dan majalah yang begitu ramainya, sehingga orang yang menumpang baca, sempat berseru setengah tak percaya, “Wah, patung itu masuk koran.”
Sepekan kemudian, surat pembaca si mahasiswa belum berbalas, dan keadaan makin kotor, dan lalu lintas makin ramai, dan semua orang makin tidak peduli dengan kondisi petak itu. Semua ini barangkali terjadi karena program itu dirasa sudah tidak cocok lagi. Orang-orang menentang KB karena, “Tidak demokratis. Terserah kita berdualah, mau punya anak berapa, memang pemerintah kasih apa buat anak-anak. Kan kita yang kasih makan, yang kasih pakaian. Iya kan, bener kan.”
Lalu orang lain bilang, “Mau Kabe? Anak muda saja bebas begituan, masak yang sudah sah idak boleh punyo anak.”
Inilah yang terjadi ketika Orde Harto runtuh. Programnya itu jalan di tempat. Kota ini memang suka sekali membangun tugu-tugu peringatan untuk kemudian dibiarkan sebagai sekadar penanda-bukan diperlakukan seperti namanya, untuk diingat.
Di dalam ruang kuliah seorang dosen pernah bercerita mengenai faktor-faktor kegagalan program KB dilihat dari sisi linguistik bidang keilmuan sintaksis, salah satunya adalah kesalahan pemilihan semboyan. “Dua anak lebih baik. Kalau dianalisis dengan sintaksis akan terjadi ambigu, dua makna. Pemerintah boleh berkeras bahwa maknanya `Dua anak, lebih baik’, tapi bagi yang suka lucu-lucuan dan memang menolak KB, maka mereka plesetkan dengan pengacauan fonologi, atau penyebutan yang mengubah letak jeda, `dua anak lebih, baik’.” Kontan seisi kelas, terbahak, dan mahasiswa penulis surat pembaca diam menyadari bahwa bahasa yang selama ini diremehkan orang, bisa menjadi masalah yang cukup serius bila diabaikan penggunanya.
***
Ketika beduk maghrib ditabuh, jalanan bercabang di jalan itu pun mulai sesak. Pasar memang sudah selesai, tetapi arus jalan kepulangan kerja berada pada jam yang membikin kepala mendidih, karena macet di mana-mana. Klakson motor, mobil, dan asap knalpot mengangkasa di jalanan. Di pertigaan itu, arus jadi rebutan. Tidak ada yang mau mengalah, semua ingin lebih dulu sampai rumah, yang akhirnya menyebabkan saling rebutan jalan, yang akhirnya menyebabkan kemacetan panjang di kedua arah, yang tidak bisa diurai dengan mudah.
Orang-orang berdiam di atas kendaraannya. Di atas bus, pengamen menyanyikan lagu balada jalanan. Petang yang turun pelahan-lahan itu diringi oleh anak-anak muda bergaya punk dan kumal yang berjalan dengan tanpa menggunakan alas kaki, menggenjreng gitar tua yang peliturnya sudah luntur dan mereknya mengabur.
Gerombolan itu berjalan menuju petak segitiga di mana patung berada. Patung itu jadi semacam rumah tempat para pemuda itu pulang. Mereka mulai membagi tempat, berbagi petak di atas undakan batu penumpu empat patung manusia. Mereka duduk dan berbaring tersusun mengelilingi patung.
Empat patung perwujudan konsep keluarga berencana itu kini tidak lagi kesepian. Mereka mendapat orang baru yang menemani kebekuan mereka, yang menjelang gelap akan turut menjadi patung: beku dalam lelap tidurnya.
“Patung keluarga berencana, sekarang punya anak banyak. Lihat!” si mahasiswa menunjuk ke luar kaca pada sebuah perjalanannya yang lain. Ia mengucapkan itu setelah mengguncang-guncang tubuh orang di sampingnya yang masih separuh tersadar dari tidur ayamnya. Selusin anak muda bertelanjang dada, berkaos oblong robek-robek, bocah bertindik dan bertato, juga dua orang muda yang masih mencekik botol minuman keras merek topi miring. Semua anak itu benar-benar sudah miring.
“Patung itu punya keluarga besar,” ucapnya yang bersamaan dengan itu diikuti suara knalpot kendaraan yang menyisakan kebisingan, menderulah berisik itu di udara, bersiap meninggalkan sepotong malam, dan meninggalkan sengkarut kekacauan lalu lintas jalan itu.
Si mahasiswa mempunyai bahan lagi untuk menulis surat pembaca. Pemerintah memang harus terus-menerus dikirimi surat pembaca untuk bergerak.
Selama duduk di bus itu dia sibuk merangkai-rangkai kalimat. Dia memutuskan akan membantu Dinas Pertamanan kota menjawab surat yang sempat ditulisnya.
Semua kisah ini kutulis bermula oleh sebuah patung di simpang tiga dekat pasar 7 Ulu, dan barangkali akan kuakhiri di sini pula.
Kau bertanya, dengan apa aku akan mengakhiri kisah ini?
Aku tidak akan menutupnya secara khusus dengan menuliskan epilog pada kisah ini. Untuk tahu kelanjutan semua peristiwa ini, aku memintamu untuk menengok keadaan petak patung itu sendiri, atau kalau kau tidak sempat berkunjung ke sana, bacalah surat pembaca yang ditulis si mahasiswa di harian Berita Kesiangan yang barangkali akan terbit besok pagi-atau sesuai namanya baru bisa didapatkan menjelang siang.
Palembang, 20 Juni 2013
* Wendy Fermana, lahir di Palembang, 10 November 1994. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sriwijaya. Cerita pendek dan puisinya dipublikasikan majalah Horison, harian Suara Karya, harian Sumatera Ekspres, harian Berita Pagi, harian Linggau Pos, dan harian Serambi Indonesia.