Breaking News

Serambi MIHRAB

Zakat Potensi PAD yang Terpendam

SATU tugas pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD)

Editor: bakri

SATU tugas pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah adalah peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Meski setiap daerah menurut undang-undang mendapat suntikan keuangan seperti DAU, DAK, dana bagi hasil dan dana perimbangan, namun yang didorong dan diperioritaskan dalam peningkatan kesejahteraan daerah adalah PAD-nya; sebab PAD dapat secara relatif bebas digunakan oleh pemerintah daerah untuk mempercepat kesejahteraan daerah tanpa terlalu terikat pertanggungjawaban keuangan dengan pusat.

Berdasarkan Pasal 180 UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (PA), salah satu sumber PAD adalah dari zakat. Ini adalah terobosan yang sangat luar biasa. Suatu kewajiban agama diadopsi menjadi kewajiban sebagai warga negara. Artinya zakat merupakan sumber resmi dalam keuangan negara selain pajak, khususnya yang berlaku di Aceh. Ini merupakan keistimewaan lain lagi bagi Aceh selain keistimewaan yang ada, sebab hal ini tidak akan ditemui di daerah lain sebab zakat maish dikelola secara swasta.

Namun, kita tidak perlu berbangga dulu sebelum membuktikan apakah fungsi yang diserahkan undang-undang itu telah dijalankan secara maksimal. Kebanyakan daerah di Aceh saat ini masih melihat sebelah mata terhadap potensi PAD dari zakat, hal ini terjadi karena sektor ini belum dilihat sebagai peluang. Zakat menjadi sumber PAD artinya telah ada peran aktif daerah untuk memungut zakat.

Meniru apa yang dilakukan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq bukan saja aktif bahkan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Jika dikelola secara swasta seperti di daerah lain, zakat sangat mengandalkan kesadaran muzakki, tetapi di Aceh, dengan berbekal ketentuan undang-undang, zakat sama dengan pajak, sadar atau tidak orangnya, pemerintah berhak untuk memungutnya.

Kesan yang tertangkap pada kita, meski sudah ada Baitul Mal, potensi PAD daerah kabupaten/kota dari sektor zakat relatif masih kecil. Baitul Mal sebagai instansi pemerintah yang diberi fungsi pengelolaan zakat masih dikelola secara “swasta”. Ia belum memfungsikan diri sebagai instansi pemerintah yang bisa secara aktif memetakan potensi zakat. Dalam beroperasi, Baitul Mal masih kurang melakukan koordinasi dengan instansi lain, paling-palinh hanya dengan UPZ-UPZ yang ada di instansi pemerintah.

Baitul Mal selama ini terlalu mengandalkan perolehan zakat dari pegawai negeri yang memang relatif mudah untuk dikontrol; cukup berkoordinasi dengan bank yang mendistribusikan gaji PNS. Namun potensi zakat yang sesungguhnya adalah zakat individual dari berbagai mata usaha dan jasa profesional. Siapa yang menjamin mereka membayar zakat dengan jujur.

Sulitnya mendeteksi kejujuran muzakki bisa kita lihat dari zakat perhiasan. Sebagaimana kita ketahui satu budaya masyarakat Aceh adalah menyimpan emas. Kebiasaan ini sudah turun-temurun diwarisi dan menjadi budaya yang sangat positif. Tetapi perhiasan selama sampai nisab dan haul tetaplah kena zakat; tetapi siapa yang mengetahui itu selain pemiliknya sendiri. Batas nisab 94 gram emas sepertinya merupakan jumlah yang dengan mudah dapat dicapai untuk sebagian kalangan; jadi ketika zakat tidak terbayar maka terjadi kemubaziran.

Karena itulah, karena zakat merupakan sumber PAD yang memiliki legitimasi tinggi yaitu UU, tidak ada salahnya pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota lebih proaktif mengelola zakat; salah satunya adalah menggiatkan koordinasi antarinstansi dalam pengumpulan zakat. Mengingat pengelolaan zakat telah diatur lebih lanjut dengan qanun, maka sebagai kebijkan daerah keberlakuannya telah menjadi bagian dari fungsi instansi yang diberi fungsi untuk mengawasi pelaksanaan kebijakan daerah. Dalam hal ini Baitul Mal harus menguatkan koordinasi dengan instansi-instansi terkait.

Instansi yang diberikan kewenangan untuk mengawasi penegakan kebijakan daerah daerah adalah Satpol PP. Di Aceh, lembaga ini juga diberi fungsi mengawasi pelaksanaan syariat Islam, karena itu di Aceh satuan ini disebut Satpol PP dan WH. Selama ini fungsi satuan polisi ini lebih banyak diarahkan untuk tugas-tugas penertiban bahkan pengamanan. Tugas ini tidak terlalu berkontribusi terhadap penggalian PAD karena kurang bersifat kontinyu dan terkesan insidental. Sementara potensi PAD seharusnya dikontrol secara kontinyu, seperti halnya untuk potensi zakat.

Setiap hari, berapa mata usaha yang dijalankan secara swasta yang beroperasi di setiap kabupaten/kota. Berbagai kegiatan usaha yang bergerak di bidang barang dan jasa beroperasi secara kontinyu. Misalnya praktek dokter spesialis yang setiap malam beroperasi di ibukota kabupaten/kota. Tarif yang dipasang jelas dan jumlah pasien mereka juga jelas, tetapi zakat atau infaqnya apakah sudah jelas pengelolaannya? Setiap buka praktek apakah para dokter itu sudah mengeluarkannya?

Jika menunggu kesadaran atau hanya dengan berbaik sangka, maka alamat zakat atau infak tidak akan pernah masuk ke kas daerah. Belum lagi dari sektor usaha yang setiap hari beroperasi seperti rumah makan, warung tenda, kuliner, dan sebagainya yang bisa dipastikan mereka pasti mengeruk keuntungan. Tetapi sepertinya merupakan potensi zakat dan infaq yang masih terbiarkan. Padahal, dengan bekal UU dan qanun Aceh, semua mata usaha itu dapat “dipaksa” untuk mengeluarkan zakat.

Untuk memaksimalkan daya paksa terhadap zakat dan infaq itulah Baitul Mal salah satunya harus menggandeng Satpol PP dan WH. Jika selama ini lembaga ini terkesan “kurang kerjaan”, maka jika dilibatkan dalam upaya peningkatan PAD dari sektor zakat, maka keberadaan lembaga ini bisa lebih berarti. Selama ini WH selalu diidentikkan dengan pelanggaran khalwat, judi dan minuman keras, ke depan masyarakat juga harus tau bahwa sesungguhnya mereka juga berwenang menegakkan qanun zakat.

Kesulitan memetakan dan mengidentifikasi potensi muzakki merupakan tantangan yang harus dipecahkan oleh Baitul Mal. Selain dengan Satpol PP dan WH, koordinasi juga harus dilakukan dengan berbagai instansi pemerintah, kalangan swasta, dan ormas-ormas terkait; karena memonitor prilaku taat hukum untuk suatu peraturan tertentu seperti kewajiban zakat tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Baitul Mal. Karena kurang koordinasi-lah maka kinerja Baitul Mal dalam hal zakat masih belum dirasakan oleh masyarakat, akibatnya masyarakat lebih banyak lari dari kewajiban zakat.

Dengan berbekal undang-undang pemerintah Aceh dan kabupaten/kota tidak perlu menunggu kesadaran tetapi pro-aktif “menjemput” zakat. Jika hal ini bisa terwujud, maka antara zakat dan pajak bisa saling melengkapi, jika zakat dialokasikan untuk private sector (fakir, miskin, ibn sabil, dan sebagainya) yang sulit dijangkau dengan pajak; maka pajak untuk public sector seperti sarana dan prasarana umum yang tidak terjangkau oleh zakat. Jadi antara zakat dan pajak saling melengkapi.

* Marah Halim, S.Ag., M.Ag., M.H., Widyaiswara Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Aceh. Email: marahh77@gmail.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved