Serambi MIHRAB
Saham Online dalam Pandangan Islam
MASIH ingat kasus puluhan warga Aceh Barat dan Aceh Barat Daya (Abdya) mengaku rugi ratusan juta rupiah
Oleh Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec. Ketua Prodi S1 Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi, Unsyiah. Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, DPW Aceh.
MASIH ingat kasus puluhan warga Aceh Barat dan Aceh Barat Daya (Abdya) mengaku rugi ratusan juta rupiah, akibat tertipu bisnis saham emas sistem MLM (Multilevel Marketing) melalui situs www.ecmc.com? (Serambi, 13/1/2014). Kasus penipuan bisnis saham online yang sudah eksis sejak puluhan tahun yang lalu, kini terus memakan korban dan bahkan menimpa warga Aceh. Didorong oleh keinginan cepat kaya melalui bisnis saham online, kadangkala, kita lupa mempertimbangkan kebenaran dan kehalalan bisnis yang digeluti. Dengan harapan agar investasi saham dapat dilakukan secara halal dan tidak “jatuh dalam lubang yang sama” terjebak dalam kasus penipuan, maka tulisan ini akan mengulas seputar isu saham online dalam perspektif syariah.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication technology), kini investor lebih cenderung membeli saham online ketimbang membelinya di Pasar Saham, seperti di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Apalagi keuntungan yang diperolehi dari membeli saham online sangat menggiurkan. Hanya membeli saham dalam kisaran puluhan juta, pembeli mampu meraup keuntungan berganda dalam waktu relatif singkat. Apakah keuntungan yang diperoleh tersebut halal dalam pandangan Islam? Bagaimana hukum membeli saham konvensional menurut Islam, membeli langsung di pasar saham atau melalui internet? Apa saja kriteria saham halal?
Secara garis besar saham itu ada dua jenis, yaitu saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock). Dengan membeli kedua jenis saham ini akan memberikan hak kepemilikan bagi si pembeli (investor). Walaupun pembeli saham preferen dapat mengklaim keuntungan dari pendapatan dan asset perusahaan, namun mereka tidak memiliki hak dalam menentukan kebijakan perusahaan. Jumlah keuntungan (dividen) yang diperoleh adalah tetap.
Tidak seperti halnya pembeli saham preferen yang tidak memiliki hak suara dalam menentukan manajemen perusahaan, pembeli saham biasa mempunyai hak suara untuk memilih manajer. Semakin besarnya jumlah saham yang dimiliki seseorang, semakin berpeluang untuk mengendalikan perusahaan. Dengan memiliki hak suara, maka pemegang saham biasa ini akan dapat mengontrol operasional perusahaan karena pada prinsipnya merekalah pemilik perusahaan yang sesungguhnya. Dividen yang diperoleh pembeli saham biasa adalah tidak tetap, ianya berbanding lurus dengan keuntungan yang diperolehi perusahaan. Pendek kata, membeli saham biasa adalah jauh lebih beresiko dibandingkan dengan membeli saham preferen.
Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apakah kedua jenis saham di atas adalah halal dipandang dari sudut syariah (shari’ah compliant)? Apa saja kriteria yang harus dipenuhi agar saham itu menjadi halal? Bagaimana kriteria kehalalan saham yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN)? Dan apa saja kriteria kehalalan saham-saham yang ditransaksikan di Dow Jones Islamic Market, yang diluncurkan pada 9 Februari 1999 di Manama, Bahrain?
Saham syariah
Karena jumlah dividen yang diterima pembeli saham preferen adalah tetap, maka para ulama bersepakat bahwa membeli saham preferen adalah haram hukumnya. Bahkan Ahli Fiqh melihat dividen tetap itu sama seperti bunga/riba. Memang antara dividen tetap dengan bunga terdapat perbedaan, tapi ia memiliki kemiripan dengan riba. Dividen tidak dijamin pembayarannya bila perusahaan dalam keadaan rugi, sedangkan bunga harus dibayar tak kira perusahaan mendapat laba atau rugi. Begitu juga, kalau perusahaan dilikuidir, pemegang saham ini ada kemungkinan tidak mendapat ganti rugi kalau aset yang dijual tidak mencukupi. Meskipun pemegang saham ini mungkin rugi atau untung, tapi sifat alami dividen tetap lebih menyerupai riba.
Sementara itu, pembeli saham biasa ikut mengambil resiko. Keuntungan saham biasa adalah tidak tetap dan tidak terjamin. Prinsip ini lebih menyerupai Qiradh. Inilah sebabnya mayoritas ulama menganggapnya halal. Walaupun ianya halal, namun untuk menjamin kehalalannya, saham biasa ini harus memenuhi beberapa kriteria syariah yang ditetapkan oleh DSN atau Shari’ah Supervisory Council. Untuk menentukan kehalalan saham, proses penyeleksian saham (stock screening) akan dilakukan DSN untuk memastikan agar saham tersebut betul-betul bebas dari unsur gharar (ketidakpastian), bunga (riba), tatfief (penipuan), dan gambling (perjudian).
Dalam menentukan halal tidaknya sebuah saham, DSN akan meneliti aktivitas perusahaan yang menerbitkan saham itu tidak terlibat dalam aktivitas perjudian, gharar, riba, gambling dan malpraktik lainnya yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, perusahaan penerbit saham yang bergerak di bidang keuangan, perbankan dan asuransi konvensional dianggap non-shari’ah compliant karena terlibat unsur riba. Aktivitas perhotelan yang menyediakan kasino, diskotik, pelayanan seks, dan restauran yang menjamu babi panggang dan esmenen juga diharamkan. Bahkan ada yang menambahkan bahwa perusahaan penerbit saham syariah tidak terlibat dalam bisnis rokok dan senjata. In a nutshell, aktivitas utama perusahaan haruslah tidak bertentangan dengan syariat. Kalaupun ada elemen-elemen haram, persentasinya harus minimal sekali, sehingga persepsi dan imej publik terhadap perusahaan tidak tergugat. Artinya, bisnis utama perusahaan itu hendaklah memberi kemaslahatan (maslahah), bukannya kerusakan (mafsadah).
Pakar syariah Timur Tengah tidak berhenti di situ. Karena menurut mereka walaupun aktivitas perusahaan itu dipandang halal, tetapi bisa saja perusahaan tersebut meminjam atau menginvestasikan dana mereka berlandaskan praktik ribawi. Oleh karena itu, untuk menentukan halal tidaknya saham itu harus dilakukan penyaringan keuangan (financial filtering). Financial filtering ini berpandukan pada persentase minimum rasio keuangan yang harus dipenuhi saham syariah.
Menurut Indeks Syariah Dow Jones (Dow Jones Islamic Index), rasio keuangan saham halal adalah: (i) rasio piutang dengan total aset tidak bisa melebihi 45%; (ii) rasio total utang dengan kapitalisasi pasar tidak melebihi 33%, dan; (iii) rasio kas + sekuritas berbunga dengan kapitalisasi pasar tidak melebihi 33%. Sedangkan menurut iHilal.com, saham halal itu harus: (i) rasio pendapatan bunga dengan total pendapatan tidak melebihi 10%; dan (ii) rasio kas + sekuritas berbunga + piutang dengan total aset tidak melebihi 33%. Sementara saham halal versi IslamiQ.com harus: (i) rasio kas + sekuritas berbunga dengan total aset tidak melebihi 45%; dan (ii) pendapatan bunga dengan total pendapatan kotor tidak melebihi 5%.
Semua rasio keuangan itu menunjukkan bahwa kalaupun perusahaan penerbit saham terlibat dalam aktivitas riba, tetapi persentasenya harus sangat kecil sekali. Karena dikhawatirkan ada aktivitas perusahaan penerbit saham yang mungkin bertentangan dengan syariat, maka pendapatan yang diperoleh perusahaan penerbit saham harus dibersihkan dengan mengeluarkan zakat dan memberi infak. Diharapkan zakat dan infak tersebut akan mensterilkan pendapatan yang diperolehi penerbit saham yang kemudian akan dibagi-bagikan kepada pembeli saham.
Membeli saham via internet
Selain mudah, cepat dan murah, membeli saham via internet juga menjanjikan keuntungan yang menggiurkan. Kita dengan mudah dapat membeli saham via internet di website: Swiss Cash Mutual Fund; I Love You Forever (www.iluf.biz), dan lain-lain. Apakah saham yang dijual di semua website ini syariah compliant (sesuai dengan ketentuan syariat)? Jika tidak, apa saja justifikasinya? Majlis Fatwa Kebangsaan Nasional Malaysia (MUI-nya Malaysia) telah mengeluarkan fatwa bahwa membeli saham via internet adalah haram. Di samping mangandungi unsur syubhat (meragukan) dan gharar (ketidakpastian), membeli saham via internet juga bertentangan dengan syariat.
Setidaknya ada empat alasan mendasar pengharaman pembelian saham via internet: Pertama, isu aqad (perjanjian). Perusahaan penerbit saham memberi jaminan kepada pembeli saham bahwa uang yang diinvestasikan pembeli saham tidak akan rugi. Artinya, pembeli saham tidak menghadapi resiko dan selalu akan memperolehi keuntungan. Jaminan ini telah merusakkan akad investasi ala mudharabah. Perusahaan sebagai pengusaha (mudharib) adalah pihak yang memegang amanah (yad al-amanah) terhadap modal yang diinvestasikan pembeli saham (sahib al-mal).
Perusahaan tidak perlu membayar ganti rugi kepada pembeli saham jika modal yang diinvestasikan mengalami kerugian, kecualilah jika ia terjadi secara sengaja atau karena kelalaian dalam melaksanakan tanggungjawabnya. Ini bermakna segala kerugian investasi akan ditanggung oleh investor (pembeli saham). Untuk lebih jelas, rujuk Kitab Fiqh Mazhab Syafi’ie, Jilid 7, hal. 1319, Cetakan Pertama, 2005), yang merupakan terjemahan dari Kitab al-Fiqh al-Manhaji.
Dalam operasionalnya, kebanyakan perusahaan penerbit saham ini menawarkan jumlah keuntungan tertentu serta menjamin keuntungan secara pasti sejak awal kepada pembeli saham. Misalnya, Polem Kapluk membeli saham sebanyak Rp 10 juta untuk jangka waktu 5 bulan, beliau dijamin mendapat keuntungan dengan jumlah tertentu, katakanlah Rp 2 juta atau 20% dari jumlah modal yang diinvestasikan. Ulama telah bersepakat bahwa jaminan keuntungan yang ditentukan sebelumnya (pre-determined atau ex-ante) ini jelas bertentangan dengan syarat perjanjian investasi dalam Islam. Hukumnya adalah haram karena ia adalah riba. Rasulullah saw bersabda: “(Untuk mendapatkan) keuntungan (hasil investasi) mestilah dengan menghadapi resiko (bermakna tiada untung tetap dijanjikan dan investor mesti menjamin kualitas barang yang dijual).” (HR As-Syafi’ie, Ahmad, Ibnu Hibban, dan Abu Daud).
Menurut syariat, pembagian hasil (profit-loss sharing) itu haruslah ditetapkan dengan persentase tertentu, bukannya dalam jumlah tertentu. Misalnya, persentase pembagian keuntungan itu ditetapkan 50:50 (50% keuntungan itu dibagi untuk perusahaan dan 50% untuk pemegang saham). Artinya, semakin banyak keuntungan yang diperoleh, maka semakin banyak jatah keuntungan yang diterima mereka. Besarnya pembagian jumlah keuntungan yang diterima perusahaan dan pembeli saham tidak diketahui sebelum jatuh tempo. Cara penentuan keuntungan yang tidak ditentukan sebelumnya (post-determined atau ex-post) ini adalah selaras dengan syariat.
Kedua, isu di mana uang pembeli saham diinvestasikan oleh perusahaan penerbit saham. Pembeli saham (investor) harus berusaha untuk mengetahui dimanakah uang mereka diinvestasikan. Jika ia diinvestasikan di tempat-tempat yang diharamkan, seperti di industri arak, prostitusi, perjudian, peternakan babi, instrumen riba, dan transaksi valuta asing (valas), maka keuntungan dari investasi itu adalah haram. Fakta menunjukkan bahwa banyak sekali perusahaan penerbit saham yang mencampuradukkan antara investasi di sektor-sektor halal dengan haram dan syubhat.
Transaksi valas yang halal adalah transaksi penukaran valas yang serah terimanya berlaku (taqabudh) pada saat transaksi terjadi, seperti penukaran valas ketika kita berpergian keluar negara karena ia merupakan kebutuhan transaksi di negara bersangkutan. Jika serah terima valas tidak berlaku pada waktu yang sama seperti penyerahan tertunda, maka transaksi itu adalah bertentangan dangan syariat. Rasululullah saw bersabda: “Emas dengan emas (ditukar atau diperdagangkan), perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar langsung (pada waktu bersamaan) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai.” (HR. Muslim).
Ketiga, isu gharar (ketidakpastian) terkait dengan besarnya kemungkinan para investor (pembeli saham) akan ditipu oleh perusahaan penerbit saham. Banyak perusahaan penerbit saham yang tidah mempublikasikan atau menyembunyikan status, indentitas, kondisi finansial serta aktivitas bisnis yang digeluti. Transaksi pembelian saham hanya dilakukan via internet dan segala perjanjiannya juga dibuat melalui internet. Banyak yang membeli saham via internet karena tergiur dengan keuntungan tetap yang dijanjikan. Ada juga yang beralasan sekadar mencoba nasib dengan hanya menginvestasi uang sedikit, namun berharap meraih untung yang banyak.
Biarpun jumlah uang yang diinvestasikan itu sedikit, tapi pada hakikatnya uang itu adalah amanah Allah yang wajib kita jaga dan akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kita tidak bisa menggunakannya di sektor yang mengandungi elemen gharar. Rasulullah bersabda: “Nabi saw melarang dari berjual beli dengan kewujudan gharar.” (HR. Muslim). Karena mengharapkan untung yang banyak dalam tempo yang singkat, para pembeli saham tidak peduli bagaimana nasib uang mereka seandainya perusahaan penerbit saham tersebut menutup website-nya di internet. Kemana uang yang diinvestasi itu harus dituntut?
Jadi sangat mustahil bagi kita untuk memastikan bahwa bisnis yang digeluti perusahaan itu sesuai dengan ketentuan agama. Memang ada beberapa website yang bersifat interaktif. Pembeli saham bisa menanyakan kemana uang mereka akan diinvestasikan. Walaupun website bersangkutan menjawab bahwa uang itu tidak diinvestasikan di sektor-sektor yang diharamkan, tapi siapakah yang mampu memastikan dan menjamin bahwa jawaban mereka adalah benar? Inilah sebabnya, setiap perusahaan penerbit saham harus memiliki DPS-nya sendiri yang kredibel.
Last but not least, selain tidak memenuhi kriteria minimum rasio keuangan dan membayar zakat (seperti diulas di bagian pertama tulisan ini), aktivitas perusahaan penerbit saham juga mengandungi elemen-elemen riba, gharar, dan penipuan. Atas landasan inilah ulama bersepakat bahwa membeli saham via internet adalah haram. Hal ini selaras dengan hadis: “Dari Abu Muhammad al-Hassan Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah dan penawar hati Baginda. Beliau berkata: Aku menghafal dari pada Rasulullah: Tinggalkanlah apa yang meragukan kepada apa yang tidak meragukan.”
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |