Cerpen
Di Seunuddon, Seratus Kuntul Hitam Bermalam
Adakah yang lebih menyakitkan selain kenangan? Tidak! Setidaknya Triani merasakan itu. Lebih-lebih saat matahari senja
Karya Muhammad Nasir Age
Adakah yang lebih menyakitkan selain kenangan? Tidak! Setidaknya Triani merasakan itu. Lebih-lebih saat matahari senja menggaris merah di langit barat. Dan dia sedang sendirian di rangkang depan rumah. Memandang siluet sawah menghijau oleh batang-batang padi muda. Mendadak kenangan itu mengaduk-aduk isi kepala.
Jika saja laki-laki aneh dan asing itu tidak tercatat dalam lembaran hidupnya. Jika saja...! Ah, jika saja Subi ada di sini. Dan dia bisa kembali menerima Triani sebagai mantan istri orang. Jika saja, ah...!
“Jika kamu ambil kuliah di keguruan, saya ambil di pertanian saja. Saya nanti ingin mengurus sawah-sawah agar panennya meningkat. Kamu bisa mengajar di sekolah terpencil kampung kita,” kata Subi, dulu, entah sebelas tahun yang lewat. Mereka mengukir rencana untuk hidup bersama.
Triani memang pernah punya rencana menjadi guru. Tapi setamat SMA rencana itu kandas. Ia dikalahkan oleh lamaran laki-laki aneh yang datang dari negeri entah berantah. Lamaran yang tak mungkin ditampiknya waktu itu. Emak dan Abah juga mengiyakan. Mereka menjadi kerbau-kerbau dungu yang tak berontak saat dicucuk hidung dengan datangnya lamaran laki-laki aneh itu.
Triani tak pernah benar-benar mengenal laki-laki itu. Kecuali laki-laki itu kerap menyapanya saat pergi dan pulang sekolah. Ketika sepeda Triani melintas di depan rumah batu, laki-laki aneh itu pasti bersuit-suit. Berharap Triani sekedar menoleh. Rumah batu, orang-orang kampung menyebutnya begitu. Dulu ditempati pejabat kecamatan. Tapi karena kondisi keamanan memburuk, pejabat itu hengkang. Rumah itu diisi oleh beberapa laki-laki asing yang datang dari negeri entah. Mereka ditempatkan di situ untuk mengawal keamanan daerah. Sebenarnya Triani tak ambil peduli, jika saja tidak ada di antara laki-laki itu yang menjadi bagian dari garis hidupnya.
“Kau terima saja, Tri. Jikapun kamu melanjutkan kuliah, belum tentu beroleh kerja yang layak. Laki-laki itu sudah mapan, punya kerja dan gaji yang cukup,” kata Emak meminta persetujuan Triani.
“Tri belum siap menikah, Mak,” Triani mencoba menolak.
“Kau lihat sudah berapa anak dara di Seunuddon ini yang tak dijemput jodoh? Padahal mereka masih tergolong rupawan. Dulu, ya, seperti kamu. Menolak saat jodoh hendak datang.”
“Jodoh kan sudah diatur Tuhan, Mak.”
“Ah, itu pendapat sudah usang. Sudah tamat. Zaman sekarang jodoh harus dicari dan diuber. Anak dara tak cuma harus menunggu di rumah,” dalih Emak.
Wah, Triani tak menyangka rupanya Emak punya pikiran lain soal jodoh. Sungguh suatu yang amat berbeda dengan perempuan setengah baya lainnya di kampung ini. Anak dara harus keluar rumah mencari jodoh? Hal yang tabu dan amat dilarang oleh teungku-teungku pemuka agama di sini.
Jadi, Triani harus sependapat dengan pikiran Emak? Jika membantah, jangan-jangan malah dia dicap kampungan. Padahal Emak yang pendidikannya tak lulus sekolah dasar, punya pikiran praktis soal perkawinan. Perempuan tidak boleh hanya menanti didatangi. Perempuan harus bergerak, tidak boleh hanya berdiam diri.
Beruntung jika memang jodoh itu datang sendiri. Hal yang menurut Emak, patut disyukuri. “Kamu seharusnya bersyukur, tak perlu lagi susah-susah untuk mendapatkan teman hidup,” bilang Emak lagi.
Ah, laki-laki aneh itu yang membuat Emak silap mata. Sepertinya Emak benar-benar terpikat menerima laki-laki itu untuk jodoh Triani. Apalagi dia kian sering bertandang ke rumah, berbicara panjang lebar pada Emak. Biasanya saat itu Emak akan memangil Triani untuk menemani. Dengan jengah Triani datang berbicara sekadarnya dengan mereka.
Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Hari ke sembilan belas pada bulan keempat akhirnya Triani dinikahi. Mulai saat itu ia mulai tambah jengah. Ia punya kesibukan baru. Melayani laki-laki itu. Malam hari adalah jam-jam paling menyebalkan. Beruntung jika laki-laki itu tidak pulang dari rumah batu. Biasanya setelah seharian berjaga di pos rumah batu, laki-laki aneh itu pasti bersenang-senang di rumah Triani. Dia pulang lengkap dengan seragam dinas lapangan, tampak gagah di mata para anak dara. Tapi Triani tak pernah bisa menikmati.
Triani malah membayangkan Subi yang selalu menemaninya pada malam-malam bersama laki-laki aneh itu. Subi-lah yang selalu bercakap-cakap di ranjang pada tengah malam sebelum mereka bercinta. Adalah Subi yang membisikkan kata-kata mesra pada detik-detik menjelang matanya terlelap lelah. Dan ketika pagi-pagi benar saat azan subuh mengalun dari meunasah, Subi dengan lembut mengecup dahinya sebagai sinyal mengajak bangun untuk mandi bersama dan shalat.
Tapi, Subi di manakah kau kini? Triani tahu laki-laki itu mendongkol besar saat Triani dilamar laki-laki aneh dari rumah batu. Mendadak Subi menghilang dari kampung. Sebelas tahun ia tak pernah kembali. Ia benar-benar seperti peri yang menghilang ke negeri sunyi.
Entah Subi pernah sampai ke fakultas pertanian. Triani tak pernah beroleh kabar. Hanya saja setiap sore saat Triani memandang siluet sawah menghijau oleh batang-batang padi muda, setiap kali itu pula imajinasinya terbang pada Subi. Dulu, mereka kerap bermain-main di situ saat musim sawah tiba.
Sepulang dari sekolah, mereka pasti asyik bermain di sawah-sawah di seberang jalan depan rumah. Biarlah Emak dan Abah sibuk mengurus sawah, Triani dan Subi asyik menangkap anak-anak ikan gabus dan sepat yang bersembunyi di parit-parit tali air. Mereka membuat jaring dari selendang bekas. Triani memegang di ujung yang satu, Subi di ujung yang lain. Mereka menciduk anak-anak ikan di sepanjang tali air.
Lebih asyik lagi jika di persawahan muncul burung-burung kuntul. Burung-burung itu mencari anak-anak ikan yang kesasar di lumpur sawah. Biasanya burung kuntul muncul berkawan, puluhan, mungkin ratusan, mereka saling berebut bila salah satu di antara mereka berhasil mendapatkan ikan. Triani dan Subi senang melihat burung-burung itu saling berebut mangsa. Bila musim tanam usai, saat batang-batang padi mulai beranjak muda, kawanan burung kuntul akan muncul lagi di sana dalam jumlah lebih banyak. Kali ini mereka mencari anak-anak ikan di sepanjang tali air. Tak jarang burung kuntul itu bermalam di sana.
“Jika besar nanti, aku mau jadi petani saja. Aku mau agar sawah-sawah di sini hasil panennya besar,” kata Subi setelah mereka melepas lelah di rangkang di sudut sawah Emak.
“Tapi aku tak mau kawin sama petani. Aku akan cari suami sama-sama guru,” timpal Triani.
“Biar saja. Aku juga tak suka beristrikan ibu guru.”
“Kenapa?”
“Aku takut telat makan siang.”
“Kok telat?”
“Kamu pasti asyik mengurus anak-anak di sekolah, dan terlambat pulang untuk masak.”
“Oh, iya ya, hahaha...!”
“Enakan jadi petani. Siang mengurus sawah dan malam hari bisa tertidur lelap,” tanggap Subi.
“Makannya kapan?”
“Oh, iya ya, hahaha...!”
Mereka kemudian tergelak bersama. Mereka baru beranjak dari rangkang saat Emak dan Abah bersiap beranjak pulang dari sawah. Saat itu biasanya matahari sudah tepat di atas ubun-ubun. Burung-burung kuntul pun beterbangan dari sawah menghindari sengatan panas.
Tapi kenangan itu telah lama berlalu. Ah, Subi, tahukah kau Subi, laki-laki aneh dan asing itu sama sekali tak pernah hinggap di hati Triani. Hanya setengah tahun laki-laki aneh itu mengisi malam-malam Triani, kemudian ia hengkang dari rumah batu bersama teman-temannya. Meskipun masih berstatus suami, tapi laki-laki aneh itu tak pernah lagi berkabar pada Triani. Laki-laki aneh dan asing yang kembali ke negeri entah. Biarlah. Sebelas tahun bukan waktu singkat untuk mendapat kabar dari orang yang tak pernah diharapkan datang.
Bahkan Triani tak ingin lagi sekedar menyebut nama laki-laki aneh itu.
Sore menjelang magrib, matahari menggaris merah di langit barat. Suasana kampung tersirap aroma basah lumpur sawah. Triani masih sendirian di rangkang depan rumah. Serombongan burung kuntul hitam tiba-tiba muncul untuk menjejakkan kaki di antara batang-batang padi muda. Mereka pasti akan bermalam lagi di sana. Mendadak Triani ingat pada Subi. Dua butir air hangat lepas dari talang matanya. Dia sangat ingin menangis.*
* Muhammad Nasir Age, bekerja di bagian Humas Kantor Bupati Aceh Utara
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |