Serambi MIHRAB
Menanti Kitab Ulama Dayah
DARI kajian historis menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tertua di Nusantara adalah pendidikan pesantren atau dalam konteks
DARI kajian historis menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tertua di Nusantara adalah pendidikan pesantren atau dalam konteks Aceh disebut dayah. Secara tradisional, dayah menerapkan pelajaran yang bersumber dari kitab-kitab karangan ulama terdahulu di abad dua sampai empat hijriah yang disebut “kitab kuning”.
Istilah “kitab kuning” sebenarnya bukanlah identitas dayah sebab istilah ini tidak dapat dijadikan sebagai landasan mengukur tradisionalisme dayah. Akan tetapi nilai tradisional dicirikan pada metode dan sistem pengelolaan dayah yang masih menggunakan sistem warisan dari para ulama tempo doeloe.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dayah dalam lintasan sejarah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual yang disegani dan diakui keilmuannya sampai mancanegara. Karya-karya mereka yang sampai sekarang masih digunakan sebagai landasan keilmuan dan kebijakan politik.
Di antara karya monumental buah tangan ulama Aceh pada abad 19 sampai awal abad 20 Masehi, adalah kitab Jam’ul Jawami (kitab lapan) dalam aksara Jawi yang sekarang menjadi kitab pelajaran wajib di lembaga-lembaga pendidikan negara Brunei Darussalam dan di gampong-gampong di Aceh, kitab kecil Tahrirul Aqwal (awamil) karangan Tgk Ibrahim Pantonlabu dalam ukuran kecil yang sampai sekarang masih intens dipelajari di dayah-dayah bagi pemula pelajaran ilmu nahwu.
Kemudian, ada juga kitab Alfatawa, At-Tanwir karangan Abuya Mudawaly Al-Khalidy, Badruddujaa dan Addakwatul Wahabiah karangan Tgk Syeh Ali Irsyad (Abu Teupin Raya) dan yang terakhir adalah buku Resolusi Konflik dalam Islam karya terakhir Allahuyarham Abu Ibrahim Bardan (Abu Panton). Dan banyak kitab-kitab lain yang nyaris hilang dalam khazanah kajian keilmuan Islam di Aceh.
Ketekunan para ulama dulu dalam mempertahankan tradisi tulis menulis dengan sarana yang sangat terbatas, telah mampu menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia bahkan mereka dikenang sampai sekarang dengan karya mereka bukan hanya karena ketangguhan ilmunya. Seperti Imam Syafi’i dan pengikutnya dalam Ilmu Fiqh dengan ribuan kitab, Imam Gazali dengan Ihya Ulumuddin yang mampu mematahkan pemikiran filsafat yunani. Keberhasilan kita hari ini dalam memahami agama bisa dibilang hampir 100 persen karena karya-karya monumental para ulama tempo doeloe.
Kegiatan tulis-menulis bukan hanya tuntutan profesi semata, akan tetapi merupakan satu esensi ajaran Islam untuk mempertahankan dan melawan musuh-musuh Islam yang berperang melawan pemikiran melalui tulisan (dakwah bil qalam). Dalam Alquran surat al-’Alaq Allah Swt dengan jelas menegaskan betapa pentingnya menggunakan kalam dalam dalam mendongkrak peradaban manusia.
Fakta historis
Fakta historis menunjukkan bahwa Rasulullah saw dalam menyebarkan Islam tidak hanya mengandalkan hafalan para Huffadhil Qur’an (Penghafal Alquran), beliau menyadari bahwa wahyu yang diterimanya dari Jibril tidak akan tersebar sampai akhir zaman ke seluruh penjuru dunia tanpa diabadikan dalam tulisan. Oleh karenanya Rasulullah saw menunjuk beberapa orang sahabat yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit untuk menulis wahyu yang mereka dengar dari Rasulullah.
Tradisi itu terus-menerus dipertahankan sampai masa khalifah Utsman bin Affan hingga lahir satu mashhaf yang disebut Mashhaf Utsmani atau Mashhaf Imam. Ini menunjukkan bahwa menulis atau mengarang kitab adalah sunnah Rasulullah saw dan khulafaur-rasyidin. Dapat dibayangkan bagaimana jika menulis itu tidak dianggap penting barangkali manusia yang hidup setelah para penghafal wahyu wafat tidak ada lagi Alquran dan Islam berhenti hanya di jazirah Arabia.
Jika dianalogikan tradisi menulis adalah sebuah konstruksi kokoh yang sudah dibangun oleh Rasulullah saw, para sahabat dan ulama tempo doeloe, kini hampir roboh seiring dengan perkembangan zaman dan pesatnya kebutuhan kehidupan. Padahal, seharusnya dengan dukungan teknologi informasi dan sarana yang sangat efektif akan semakin banyak kitab-kitab ulama mutakhir yang lahir dan menjadi referensi keilmuan di abad modern ini.
Munculnya kitab-kitab kontemporer ulama tradisional tidak akan menghilangkan nilai tradisinalisme dayah, karena tradisi mengarang kitab bukanlah hal baru. Menulis adalah tradisi keilmuan lama yang terkesan sudah diabaikan. Jika ulama memiliki kitab sendiri walau dalam ukuran standar sederhana ataupun semacam khulasah, kitab itu akan membantu para santri dalam memahami kitab-kitab klasik sebab sudah tentu bahasa dan konteks pembahasan lebih inovatif dan aktual.
Selain dapat bermanfaat untuk internal dayah yang dipimpin seorang ulama, kitabnya juga menjadi media dakwah untuk mendistribusikan ilmu dan hukum kontemporer ke lapisan masyarakat secara umum. Secara realitas spiritual masyarakat Aceh bahwa mereka masih fanatik dan mempercayai pemikiran ulama dayah, sebab ulama dayah adalah figur yang kerap berinteraksi langsung dengan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri memang banyak karya ilmiah yang dihasilkan para sarjana di perguruan tinggi agama, namun itu hanyalah sebatas menuntaskan kewajiban akademik dan belum mampu didistribusikan kepada masyarakat secara umum. Allahu a’lamu bishawab.
* Syekh Khalil, Teungku Dayah Ummul Ayman Samalanga, Bireuen, Mahasiswa PPS UIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: syeh_78@yahoo.co.id
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |