Cerpen

Hari-hari tanpa Tuhan

Aku pikir hujan masih akan turun. Tapi, sumpah serapah musafir tua yang mengaku utusan Tuhan itu jauh lebih benar

Editor: bakri

Karya Nanda Winar Sagita

Aku pikir hujan masih akan turun. Tapi, sumpah serapah musafir tua yang mengaku utusan Tuhan itu jauh lebih benar. Hujan akan tinggal legenda di negeri ini - negeri terkutuk yang hanya di tempati orang-orang bodoh dan keras kepala seperti kami. Aku yakin kutukan itu akan menjadi lebih abadi lagi. Kegelisahan ini bermula seminggu lalu. Saat sang musafir tua aneh dan mengaku sebagai utusan Tuhan itu datang ke negeri tanpa musim semi ini. Negeri kami.

 ***

Di negeri kami, kemarau panjang sudah cukup lama berlansung. Namun kami belum pernah benar-benar kehausan, karena masih ada satu sumber air lagi yang sepanjang waktu tidak pernah kering. Satu-satunya sumber air itu adalah sumur tua yang airnya keruh dan rasanya agak asin. Semua orang ke sana untuk mandi, mencuci, dan minum. Tak heran jika setiap hari terjadi perselisihan kecil di antara kami, bahkan kadang kala sampai muncul perang keluarga dan pertumpahan darah. Konon, dahulu sumur itu kepemilikannya dipegang penuh oleh satu keluarga saja. Kepala keluarga itu memberi kewenangan kepada semua orang untuk memakai airnya. Namun seiring waktu berlalu, anak kepala keluarga itu mengambil alih kepemilikan sumur dan menakrifkan peraturan baru dengan meminta bayaran kepada semua orang yang akan mengambil air. Keputusan itu menyebabkan banyak orang yang mati kehausan karena tidak sanggup untuk membayar, sedangkan satu-satunya mata pencaharian semua orang di sini adalah menawarkan bantuan apa saja kepada musafir yang kebetulan lewat, kemudian diberi sedikit makanan sebagai imbalannya. Karena sudah mencapai di atas puncak penderitaan, semua orang menggempur rumah kepala keluarga itu dan berhasil merampas sumur itu. Sejak saat itulah, semua orang bebas untuk memakai air keruh itu sesuka hatinya. Sampai sekarang.

Begitulah yang diceritakan kepadaku, aku tidak tahu persis apakah itu sejarah yang dijadikan dongeng atau dongeng yang dijadikan sejarah. Karena nenekku bilang peristiwanya sudah  berlangsung 323 atau 343 tahun yang lalu.

***

Kami selalu mendahului matahari saat bangun pagi. Karena semua orang membutuhkan air, maka kami harus berlomba menimbanya dari sumur itu. Seperti pagi-pagi yang lain, biasa terjadi perseteruan kecil di antara kami hanya karena memperebutkan siapa yang lebih dulu untuk menimba. Di tengah hal sepele itu, muncul seorang musafir tua yang memakai tongkat dari sebatang pohon kering berukuran setombak lebih tinggi dari tubuhnya, tetapi akarnya ada di bagian atas tongkat itu. Kehadirannya menghentikan perselisihan sejenak dan membuat kami semua bengong memperhatikan gerak-geriknya. Dia dengan masa bodoh dan tanpa rasa malu langsung melepaskan sepatu kulitnya untuk dikaitkan pada tongkat anehnya, lalu dia mencelupkan ke permukaan sumur dan meneguk langsung dari sepatu itu.

“Syukurlah, hausku akhirnya hilang.” begitulah katanya. Kami semua masih mencelang sampai musafir tua itu pergi, lantas semua orang mengejarnya dan menawarkan padanya bantuan apa saja yang mungkin dia perlukan.

“Aku tidak membutuhkan kalian,” katanya.

“Justru itulah tuan. Kami menawarkan bantuan karena kami yang membutuhkan anda,” pinta salah seorang dari kami.

“Enyahlah kalian semua. Aku tidak peduli.”

“Kalau begitu, sudilah tuan memberi kami sedikit makanan yang anda punya,” bujuk yang lain.

“Tidak mungkin. Kalian terlalu banyak dan makananku tidak akan cukup untuk membuat kalian semua kenyang,” musafir tua itu tertegun sejenak dan memandangi tanah kami. “Begini saja, aku akan memberi kalian hujan.”

“Hujan? Apa itu hujan?” tanya salah seorang dan kami semua saling rikuh. “Kami sungguh tidak tahu apa itu hujan.” tegas yang lain.

“Kalian benar-benar tidak pernah merasakan hujan? Lihatlah, tanah ini selalu gersang, bahkan rumput pun enggan untuk tumbuh, apalagi tanaman lain. Hujan akan membuatnya basah dan kalian bisa menanam apa saja yang bisa dimakan.”

“Maksud anda, air akan bercucuran dari langit?” tanya salah seorang.

“Ya, itu benar,” mendengar uraiannya, kami semua tak sanggup menahan geli hati lalu tergelak sampai lupa diri. Kami anggap topik tentang hujan itu sangat konyol dan tidak masuk akal. Dengan wajah geram, kulihat mulutnya komat-kamit dan sekonyong-konyong cuaca menjadi gelap. Awan-awan berkumpul menaungi negeri kami, segara apa yang dikatakannya terjadi. Rintik-rintik air mulai turun dari langit menyebabkan semua orang panik dan lari ketakutan karena seumur hidup belum pernah menyaksikan apa yang dinamakan oleh musafir tua ini sebagai ‘hujan’.

“Ah, dasar kalian semua pandir! Kalian tidak perlu risau. Ini hanya air, tapi jauh lebih baik dibanding yang selalu kalian perebutkan. Ayo cepat, sediakan semua wadah yang bisa kalian jadikan penampung curahan air hujan ini.” Semua orang menurutinya. Orang-orang lalu membawa timba, baskom, drum, gayung serta menadahkan semua benda cekung lain agar dapat diisi oleh air hujan itu. Semakin lama, hujan semakin deras dan menggenangi semua wadah. Dalam ketakjubannya, salah seorang menyanjung musafir tua itu, “Hebat Tuan. Engkau berkuasa menciptakan hujan ini.”

“Kau tidak perlu memujiku. Bukan aku yang menurunkan hujan ini, akan tetapi Tuhan.”

“Tuhan? Hal macam apa lagi itu?” tanya seseorang.

“Kalian sungguh tidak tahu Tuhan?  Dia adalah satu-satunya alasanmu untuk hidup dan memegang kuasa penuh atas kehidupanmu.”

“Dimana Dia sekarang?”

“Dia ada dimana-mana.”

“Memangnya Tuhan ada berapa?”

“Tuhan hanya satu, tapi dia bisa melakukan apa saja. Kau tak perlu heran mendengarnya.” Lantas kami semua lagi-lagi tertawa mendengar kata musafir tua itu. Bagi kami, Tuhan jauh lebih konyol dan aneh dibandingkan hujan. Ejekan dan cemoohan tiada henti muncrat dari mulut kami. Karena merasa terhina, musafir tua itu mengamuk.

“Kalian ini sudah keterlaluan. Terkutuklah karena kalian telah menghujat Tuhan. Aku akan memberi kalian jangka waktu seminggu. Apabila dalam seminggu itu kalian masih belum mempercayai-Nya, aku pastikan hujan tidak akan pernah menyentuh tanah ini lagi, dan kalian terus-menerus menjadi kaum sesat yang tega membunuh saudaranya hanya demi setetes air. Aku bersumpah untuk itu!” Lalu musafir tua itu pergi dan salah seorang dari kami yang masih belum bisa menahan cekikikannya bertanya.

“Memangnya kau siapa tuan? Apakah kau seorang utusan Tuhan?” kata-kata itu disusul dengan gelak tawa kami yang lebih heboh lagi.

“Ya. Aku utusan Tuhan, tapi aku tidak diutus untuk memperbaiki kekacauan kalian. Aku percaya, kelak akan ada seorang tua yang mengenalkan kalian semua pada Tuhan, tapi dia bukan aku. Mulai saat itulah, hujan akan turun kembali di negeri ini.” lalu musafir tua itu hengkang dari pandangan kami dan sejak hari itu dia tidak pernah muncul lagi. Karena dalam tenggat waktu yang diberikannya semua orang tidak peduli. Tepat tujuh hari dan hujan benar-benar berhenti.

***

“Celaka, apa yang dikatakan oleh musafir tua itu benar. Lihatlah, hujan tidak turun lagi,” keluh seseorang. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya yang lain.

“Kita harus mencari Tuhan,” desis seseorang lain. “Tapi dimana kita akan mencarinya?” tanya yang lain lagi.

“Bukankah kata musafir tua itu Tuhan ada di mana-mana?” sahut seseorang.

“Ayo kita mencarinya,” lalu semua orang berteriak memanggil Tuhan. Kami mencari di tengah hutan, di dalam gua, dia atas genting, di bawah batu, bahkan ada yang mencari-Nya di kolong tempat tidur dan tong sampah. Tapi kami tidak menemukan Tuhan dan Tuhan pun tidak menyahuti panggilan kami. Setelah beberapa hari berlalu, kami benar-benar putus asa dan menyerah. Maka kami semua setuju agar kembali kepada kehidupan lama saja untuk saling bersaing menimba air dari sumur itu.

Bahkan setelah sangat lama, barulah sebagian dari kami mengingat bahwa musafir tua itu pernah berkata kelak  datang seorang tua yang mengenalkan kami pada Tuhan. Kami memutuskan untuk menunggu kehadiran orang yang dijanjikan itu, tapi setiap musafir yang lewat di negeri ini mengakui sama sekali tidak mengenal Tuhan.

***

Aku sudah lama menua. Orang-orang yang menyaksikan hujan beberapa tahun lalu juga banyak yang sudah meninggal. Cerita tentang hujan itu kini menjadi sejarah yang didongengkan kepada anak cucu kami. Semua orang tidak sanggup lagi terlalu lama menunggu kehadiran orang tua yang dijanjikan itu dan penerus kami menganggap hujan itu hanya kebohongan. Sejak tetesan terakhirnya menyentuh tanah ini, sebenarnya aku telah memutuskan untuk mencari Tuhan sendirian. Namun malangnya, baru sekarang aku terkenang kembali pada apa yang pernah diucapkan oleh musafir tua itu. Katanya Tuhan itu adalah satu-satunya alasan kita untuk hidup dan memegang kuasa penuh atas kehidupan kita. Aku merasa harus menegaskan kembali kepada semua orang tentang makna kalimat itu. Disetiap sisi dan sudut tempat yang kukunjungi, aku selalu berkhotbah untuk mengulang kembali gagasan tentang Tuhan pada semua orang. Kusampaikan seperti yang dikatakan musafir tua itu, akan tetapi lebih sederhana: ‘Tuhan adalah apa yang kita butuhkan’. Maka orang-orang yang biasanya keras kepala itu, kali ini menyetujui pendapatku. Mereka mulai menjadikan apapun yang terpenting bagi hidupnya sebagai Tuhan. Ada yang menjadikan rumah, pakaian, makanan, tanah, perhiasan, hewan peliharaan, matahari, bahkan musafir yang tak sengaja lewat dan sumur tua itu mereka anggap sebagai Tuhan. Kini kami mulai menyadari bahwa Tuhan memang ada di mana-mana dan sudah sejak lama memberikan kehidupan kepada kami. Hari-hari tanpa Tuhan yang selama ini kami warisi secara turun-temurun, perlahan sudah bisa kami perbaiki. Beberapa hari kemudian negeri kami dinaungi awan gelap. Sudah sangat lama sejak hari itu, akhirnya hujan kembali turun di negeri kami. Semua orang menadahkan apa saja untuk menampung air hujan. Dan seseorang berkata kepadaku di tengah-tengah kegembiraan yang tak terlupakan ini.

“Kau adalah orang tua yang dijanjikan itu, Bung!” Aku sudah tahu nubuat itu memang ditujukan padaku. Meskipun semua orang menerjemahkan kata-kataku secara harfiah, ‘bahwa Tuhan adalah apa yang kita butuhkan’, bagiku bukan hanya sekedar itu, akan tetapi Tuhan juga sumber dari apa yang kita inginkan, karena Dia benar-benar ada.

* Aceh, 11 Desember 2013

* Nanda Winar Sagita, kelahiran Takengon, 24 Agustus 1994. Tinggal di Banda Aceh.

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved