Opini

Menuju Haji Mabrur

Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika labbaik. Innal hamda wannikmata laka wal mulk la syarikalak

Editor: bakri

Oleh Abd. Gani Isa

Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika labbaik. Innal hamda wannikmata laka wal mulk la syarikalak (Ya Allah aku datang memenuhi panggilanMu, aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah, tidak ada sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanayalah milikMu dan tidak ada sesuatu yang menyamaimu ya Allah).

IBADAH haji merupakan rukun Islam yang kelima, yaitu mengunjungi Baitullah di Mekkah al-Mukarramah untuk melakukan tawaf, sa’i dan wukuf di Arafah, Arab Saudi. Kewajiban haji hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu, atau disebut dengan istita’a, sebagaimana firman Allah Swt dalam Alquran: “Walillahi `alannasi hijjul baiti manistata’a ilaihi sabila (mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah).” (QS. Ali Imran: 97).

Mengingat beratnya ibadah yang dilakukan, maka haji juga disebut dengan jihad, maksudnya diperlukan kesungguhan dari setiap orang yang menunaikan ibadah haji. Rasulullah saw juga memberi stresing bagi umat Islam untuk melakukan safar kepada tiga masjid, yaitu Masjidil Haram di Mekkah, Masjidku (Masjid Nabawi) di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina.

Tidaklah berlebihan, bila dikatakan safar untuk haji merupakan rihlah muqaddasah (perjalanan yang suci). Perjalanan haji tidaklah sama dengan rekreasi, tour atau wisata biasa. Tetapi haji adalah perjalanan suci yang dituju adalah untuk menemukan fitrah dirinya, di hadapan Zat yang Mahasuci, yaitu Allah swt. Untuk itu pula biaya haji harus suci/bersih, niatnya ikhlas semata-mata mengharapkan ridhaNya, bukan ridhanya manusia, yang akhirnya meraih haji mabrur.  

Kebahagiaan tersendiri
Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam yang tahun ini berkesempatan dan diberi kemudahan oleh Allah menunaikan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji ke Tanah Suci. Kebahagiaan di sini dimaksudkan, dengan niat dan cita-cita yang tulus, sekalipun merasa dirinya kurang mampu, tapi bisa sampai ke rumah Allah (Baitullah). Sebab, banyak pula orang-orang kaya, memiliki kekayaan lebih, dan berkecukupan (istita’a) namun belum tergerak hati dan niatnya untuk naik haji. Ketika kepadanya ditanyakan, mengapa belum berhaji,  jawaban polos, belum ada panggilan Nabiyullah Ibrahim as.

Menurut Al-Qurtubi, haji yang mabrur ialah haji yang dapat disempurnakan hukum-hukumnya dan dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, melaksanakannya sesempurna mungkin, sesuai yang dicontohkan Rasulullah saw. Jadi, haji mabrur adalah haji yang baik, sempurna dan diterima di sisi Allah Swt.

Setiap jamaah calon haji (JCH) yang berangkat, tidak ada harapan lain selain ibadahnya sempurna, baik rukun, syarat maupun sunat dan akhirnya kembali meraih haji mabrur. Ke-mabrur-an tidaklah karena banyaknya handai taulan datang untuk peusijuek hampir setiap hari, bukan pula karena banyaknya keluarga dan ahli famili yang mengantarkannya dengan tawa dan tangis. Tapi ke-mabrur-an itu sangat ditentukan nawaitu-nya dalam melaksanakan ibadah, mulai saat berangkat maupun ketika melakukan manasik (ibadah) di tanah suci.

Beberapa pesan yang ditekankan kepada JCH antara lain: Pertama, niat yang ikhlas. Kesempurnaan ibadah tentu tidak bisa dilepaskan dari sebuah prosesi awalnya, yaitu niat yang ikhlas. Rasulullah saw bersabda: “Al-ikhlashu sirrun min sirri istauda’at qalbahu man ahbabtu ilayya (Ikhlas sebuah rahasia dari rahasiaku, ditempatkan di dalam hati bagi siapa yang mencintai Aku)”. Ikhlas memberi makna ridha Allah, semata-mata bertaqarrub kepada-Nya. “Innamal a’malu binniyyat (sesungguhnya amal itu menurut niat).” (HR. Bukhari Muslim). Ikhlas itu pula yang membuat seseorang tenang dan tidak merasa berat dalam setiap tugas dan amaliahnya. Beget niet dengan qashad, pebuet ibadah hati nyang suci. Keudeh u Mekkah laju tujuan penuhi panggilan Allah Ta’ala.

Kedua, jauhi riya, bid’ah dan syirik. Riya identik dengan pamer, ingin dipuji orang. Rasulullah saw menjelaskan bahwa riya termasuk “syirik khafi”. Sifat ini sangat ditakutinya karena disadari atau tidak banyak umatnya digandrungi syirik khafi, karena riya. Selain riya, juga perlu dihindari bid’ah, yaitu menambah-nambah dalam ibadah yang tidak sejalan dengan sunnah Rasulullah saw. Mengerjakan sesuatu yang tidak ada nashnya berdampak pada bid’ah dan merusak akidah. Bid’ah karena kita menambah-nambah waktu dan tempat beribadah seperti shalat sunat di Jabal Nur, Jabal Tsur dan Jabal Rahmah. Sedangkan bisa merusak aqidah karena beranggapan tempat itu berkah.

Selain itu juga perlu menjaga jangan sampai amaliahnya menjurus kepada syirik. Seperti meyakini dengan mencium Hajarul Aswad misalnya, akan menjadi saksi di akhirat nanti. Berkaitan dengan ini, Umar bin Khattab pernah mengucapkan: “Sebenarnya engkau hanya sebuah batu hitam biasa, karena Nabi menciummu, maka kau kucium.” Begitu juga melempar jamarat, jangan anggap bahwa anda melempar setan. Anda hanya melempar tiang (jumrah), karena begitulah yang dituntun Rasulullah saw.

Ketiga, saling membantu (ta’awun). Saling membantu di antara sesama jamaah, tanpa harus menunggu diminta, seperti membawa barangnya, membawanya ke rumah sakit, atau menjenguknya di rumah sakit, mencari alamatnya ketika sesat jalan, memberikan tempat yang mudah dijangkau terutama bagi jamaah yang tua dan uzur.

Keempat, fokuskan dalam ibadah. Usahakan setiap diri lebih banyak di masjid daripada di pasar. Selalu shalat berjamaah baik di Madinah maupun ketika berada di Makkah, isi waktu lowong dengan membaca Alquran, berzikir dan lainnya. Usahakan pula berdoa, terutama pada tempat-tempat mustajabah doa.

Kelima, selalu bersikap sabar. Sabar sesuatu yang sulit, tapi dengan sikap sabar semua aktivitas menjadi indah. Sabar dengan keluarga sendiri, sabar dengan sesama jamaah, sabar menunggu waktu, sabar dalam menjalankan ibadah, sabar bila pemondokan agak jauh dengan masjid dan seumpamanya.

 Dosa terampuni
Man hajja falam yarfats wa lam yafsuq raja’a kayaumin waladadhu ummuhu (Barang siapa melaksanakan ibadah haji dan tidak melakukan perbuatan rafats atau mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi atau bersetubuh, dan tidak berbuat fasiq (kedurhakaan), maka ia pulang (setelah melaksanakan ibadah haji) seperti saat ia dilahirkan (dari rahim) ibunya (suci tidak berdosa) (HR. Bukhari Muslim). Hadis ini merupakan penegasan firman Allah: “Siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (QS. al-Baqarah: 197)

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved