Serambi MIHRAB
Perubahan Perilaku Pascahaji
SETIAP prosesi ibadah sejatinya memberi bekas nyata dalam kehidupan sehari-hari
Oleh Munawar AR, Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, kini sedang melanjutkan pendidikan Program Magister Kebencanaan di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.
SETIAP prosesi ibadah sejatinya memberi bekas nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu agama tidak menjadi abstrak tetapi mempunyai makna yang nyata dalam kehidupan sosial. Saat ini para jamaah haji dari Aceh sudah menyelesaikan kewajiban di tanah suci dan sebagian dari mereka sudah mulai kembali ke tanah air. Mereka dipastikan akan menggunakan gelar “Pak Haji” atau “Bu Hajjah” di depan namanya. Gelar ini menjadi simbol bahwa mereka sudah sempurna dalam menunaikan semua rukun Islam yang lima.
Akan tetapi, dalam pandangan saya, gelar itu tidak begitu penting untuk ditabalkan di depan nama alumni tanah suci. Terdapat hal lain yang mesti membekas pada sosok Pak Haji dan Bu Hajjah, yaitu perlu adanya perubahan perilaku yang membedakan mereka dari sebelum berhaji dengan sesudah berhaji. Perubahan perilaku individu ini akan menciptakan kesalehan sosial dalam semua sendi kehidupan; sosial, budaya dan politik.
Untuk konteks Aceh terkini terdapat satu prosesi ibadah haji yang sangat aktual untuk memperbaiki kehidupan sosial, yaitu melempar jumrah. Dalam prosesi ibadah haji, melempar jumrah termasuk wajib haji sebagaimana halnya ihram dari Miqat, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, dan thawaf wada’. Melempar jumrah sama halnya dengan melempar setan.
Dalam sejarahnya, melempar jumrah dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan anaknya Ismail as dalam mengusir iblis (setan) yang menggoda keduanya untuk melanggar perintah Allah Swt, yaitu menyembelih Ismail. Kedua utusan Allah Swt ini berhasil membebaskan diri dari godaan setan dan komit dalam menjalankan perintah Tuhan, sehingga iblis terpaksa gigit jari dan menjauh dari keduanya.
Dalam konteks Aceh sekarang ini, sepertinya terdapat gerombolan setan yang terus menggoda manusia di mana-mana. Setan itu “bergentayangan” di kantor-kantor, di sekolah, di pertokoan, di rumah-rumah, di meunasah dan terutama di partai politik. Terkadang setan itu masuk ke tubuh manusia melalui perantaraan lidah pasangan hidup (suami/istri). Tak terhitung jumlah manusia yang telah menjadi korban godaan setan sehingga mereka berperilaku egoistik, sombong, korup, angkuh, pongah, hipokrit (munafik) dan serakah.
Banyak pejabat yang sudah berhaji tapi tidak mampu melepaskan diri dari godaan setan dalam menggerogoti uang rakyat. Ketika di Tanah Suci mereka melempar jumrah untuk mengusir iblis, tetapi begitu tiba di Tanah Air mereka kembali bercengkrama dengan setan. Haji Suryadharma Ali yang mantan Menteri Agama adalah satu dari lusinan pejabat yang tidak mampu melempar setan ketika di tiba di tanah air.
Pemandangan serupa terjadi di lingkungan legislatif. Banyak wakil rakyat yang sudah berhaji, tetapi mereka tetap bersekongkol dengan rekanan dalam mengatur proyek. Haji Anas Urbaningrum (mantan Ketua Umum Partai Demokrat) dan Haji Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS) menjadi contoh nyata “alumni Tanah Suci” yang “bersekongkol” dengan setan.
Perilaku “alumni Tanah Suci” yang bersekongkol dengan setan juga terjadi di dunia pendidikan. Dunia pendidikan Aceh gempar tatkala Haji Darni M Daud (mantan Rektor Unsyiah) divonis 5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA), karena terbukti menggerogoti uang jatah beasiswa anak-anak kurang mampu di lingkungan Unsyiah. Duh!
Haji mabrur vs mardud
Saya berkeyakinan bahwa setiap prosesi ibadah haji harus mampu melahirkan perubahan individu yang kemudian melahirkan perubahan sosial. Tidak terlalu sulit menilai ibadah haji seseorang apakah mabrur (diterima) atau mardud (ditolak). Ibadah haji yang mabrur dapat dilihat dari perubahan perilaku seseorang dari buruk menjadi baik, dan dari baik menjadi lebih baik. Misalnya, mereka yang terbiasa mencuri (korupsi) akan bertaubat dan mengembalikan hasil curiannya. Politisi yang suka membohongi rakyat tak akan lagi berbohong tetapi menepati semua janjinya. Maka rakyat pun mempunyai peluang mendapatkan tiket haji gratis, sebagaimana pernah dijanjikan oleh seorang politisi.
Sementara ibadah haji yang mardud (ditolak) dapat dilihat dari tidak terjadinya perubahan perilaku pada seseorang. Mereka dari yang sebelum naik haji suka mencuri, akan tetap memelihara perilaku ini setelah bergelar haji. Prosesi pelemparan jumrah di Tanah Suci bagi mereka hanya menjadi seremonial belaka, tidak berdampak pada perubahan perilaku setelah pulang ke Tanah Air.
Kemunduran dan kemerosotan yang menimpa Aceh tidak dapat dilepaskan dari banyaknya haji mardud. Seharusnya prosesi ibadah haji menjadi momentum tepat dalam menggerakkan kemajuan Aceh. Godaan setan yang menjadi penyebab kemunduran Aceh sejatinya mampu dikendalikan oleh alumni Tanah Suci setelah mereka pulang ke Tanah Air. Namun, kenyataannya, jamaah haji seakan kalah dalam mewarnai Aceh dengan nilai-nilai yang baik. Tidak pernah kita dengar, misalnya, ada “Pak Haji” yang dengan tegas mengatakan lawan korupsi, lawan mafia hukum, lawan calo proyek, lawan penipu rakyat, dan seterusnya.
Ibadah haji adalah Rukun Islam yang wajib dipenuhi oleh kaum muslimin. Untuk itu pelaksanaannya harus betul-betul serius dan mempunyai persiapan yang matang. Ibadah haji bukanlah ibadah pura-pura untuk mengelabui umat bahwa pelakunya seorang yang taat. Oleh sebab itu segala rukun dan kewajiban haji harus betul-betul dihayati, dilaksanakan, dan kemudian membekas dalam hidupnya.
Melempar jumrah adalah bentuk simbolik dari sikap menjauhkan diri dari perbuatan tercela yang digemari setan. Artinya pelemparan jumrah di Tanah Suci harus mampu melempar “jumrah” juga ketika tiba di Tanah Air. Para calon jamaah haji sebelum berangkat harus dibekali esensi dari pelemparan jumrah ini. Dengan cara ini akan terbentuk manusia-manusia paripurna (insan kamil) sebagaimana yang diinginkan oleh Nabi Muhammad saw selaku Rasul penuntas misi Tuhan.
Akhirnya kita berharap para “alumni haji 1435 H” ini akan melahirkan manusia-manusia paripurna yang akan melakukan perubahan di semua sektor di Aceh. Orang-orang yang sudah pernah berhaji harus menyadari bahwa ibadah haji yang mereka lakukan tidak bermakna apa-apa kalau tidak mampu mengendalikan diri dari perilaku setan. Kalau hanya untuk sekadar memamerkan gelar haji pada namanya yang tanpa diikuti oleh perilaku yang baik maka sesungguhnya mereka masih hidup bersama setan. Dengan menghayati esensi dari pelemparan jumrah, diharapkan akan mengurangi jumlah haji mardud di bumi Serambi Mekkah ini. Semoga! (email: munawarmik3@gmail.com)
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |