Cerpen
Saya dan Bule
SAYA sudah biasa bertemu bule. Terkadang mereka jalan-jalan sendirian, maksud saya benar-benar sendirian
Karya Nurhidayati
SAYA sudah biasa bertemu bule. Terkadang mereka jalan-jalan sendirian, maksud saya benar-benar sendirian. Sedangkan saya memancing di laut dekat rumah saja mengajak teman. Teman memancing dan mengobrol. Kalau tak ada teman saya urung memancing. Saya memang seperti itu, lebih suka bergerombol. Sementara bule-bule itu sering saya lihat memegang papan selancar di tepi pantai, mencari gelombang. Lalu asik sendiri di laut. Saya pikir-pikir, apa asyiknya sendiri-sendiri begitu?
Meskipun banyak bule datang berlibur ke daerah saya, saya tak berteman dengan mereka. Karena saya tak pandai bahasa Inggris. Saya suka penasaran, kalau bule-bule itu melihat rambu lalu lintas yang menandakan ada banyak sapi di jalanan, apa yang terpikirkan oleh mereka? Mungkin mereka bakal heran kenapa jalanan umum harus berbagi dengan sapi-sapi. Mungkin mereka akan menghela nafas. Inilah uniknya daerah saya.
Mereka mungkin juga akan heran dengan banyaknya warung kopi di sepanjang jalan. Sepertinya bule-bule itu tak suka membuang waktu percuma hanya untuk mengobrol. Jadi mereka pikir penduduk daerah saya sukanya malas-malasan saja. Saya pikir tidak begitu.Karena kegiatan produktif banyak diawali di warung kopi. Tapi banyak juga waktu produktif terbuang di warung kopi. Jadi hal itu masalah pribadi masing-masing. Saya sendiri tahan berlama-lama di warung kopi, terutama karena saya suka bercerita.
Kalau begitu, sekalian saja saya ceritakan pengalaman paling aneh ketika saya bertemu seorang bule. Saya ingat, tahun 2009 saya bertemu seorang bule di lereng pegunungan. Waktu itu saya sedang mengunjungi teman lama di dataran tinggi yang terkenal dengan buah alpokat dan kopinya. Ketika saya sedang berjalan-jalan di perkebunan yang dekat dengan hutan, tiba-tiba terdengar suara perempuan berteriak histeris. Saya segera berlari ke arah hutan yang banyak ditumbuhi pinus.
Dan ketika saya menerobos hutan dan semak-semak, saya melihat seorang perempuan tengah baya berlutut di hadapan seorang bule. Saya pun kaget, “Kenapa?” saya bertanya dalam bahasa Aceh. Tetapi wanita itu tak paham ucapan saya. Dia menunjuk kepada sosok yang terlentang di tanah. Seorang laki-laki. Darah menghitam di pinggang lelaki itu. Detik itu baru saya sadar jika lelaki itu sudah meninggal sebab tubuhnya berbau busuk. Matanya belum tertutup dan itu membuat bulu kuduk saya berdiri.
Lalu seorang lelaki tua datang dari belakang saya. Dia bertanya sesuatu. Tapi saya tak paham perkataan Pak Tua itu. Perempuan itu juga tak paham. Sementara dari arah depan, datang pemuda seumuran saya setengah berlari dan, “Ada apa?” katanya dengan suara keras.
“Mayat,” sahut saya berbarengan dengan Pak Tua. Tapi perempuan itu berkata “Suami saya.” Syukur kami semua bisa memahami satu bahasa yang sama di sini.
Pak Tua ingin menggendong mayat itu turun ke pemukiman penduduk. Tapi untuk jalan kaki saja butuh waktu 45 menit, apalagi sambil membawa mayat. Dan untuk itu dibutuhkan tenaga lebih dari satu orang. Si pemuda tidak setuju. Saya rasa ia tak tahan dengan bau mayat itu.”Tak ada yang bawa kereta?” Tanya Pak Tua. Kami semua menjawab tidak. Selain kami berempat dan sesosok mayat, tak ada lagi warga di dekat situ. Tak ada sinyal hp juga, karena ini daerah perkebunan paling dalam dan sulit dicapai.
“Bagaimana kalau kita lapor saja dulu ke kantor desa,” usul saya. Kami setuju kecuali perempuan itu. Ia tak mau meninggalkan mayat suaminya di situ. Jadi begitulah, saya dan pemuda itu turun, sementara Pak Tua menunggui perempuan itu. “Untung tubuhnya belum dicabik binatang hutan ya,” kata pemuda itu di perjalanan. Saya mengangguk saja meskipun tak mengerti bagian mana dari kejadian ini yang menguntungkan.
Akhirnya mayat berhasil dibawa turun dan membuat gempar desa kecil pinggir hutan itu. Mayat itu dikerubungi banyak orang. Nama orang mati itu Roysius, begitu kata istrinya, yang juga bernama belakang sama. Bu Roysius sebetulnya ingin membawa mayat suaminya pulang bersamanya namun tak mungkin, karena tubuh suaminya sangat bau. “Apa kita lapor polisi? Biar diperiksa,” seseorang mengusulkan.
“Tidak usah,” kata Bu Roysius. Lalu Bu Roysius menceritakan sembari terisak, suaminya sedang banyak utang. Dan bahwa suaminya pernah berencana bunuh diri namun gagal. Jadi kami semua berspekulasi lelaki itu bunuh diri. “Itulah jadinya, tak punya pegangan yang kuat,” celetuk seseorang lagi yang entah siapa.
Sebenarnya saya heran kenapa tak seorang polisipun berada di situ.
Jadi begitulah, karena ia bukan muslim, kami tak bisa mengubur layaknya mengubur seorang muslim. Istrinya setuju untuk dikubur saja tanpa upacara apapun. Proses berlangsung cepat. Bu Roysius kemudian membeli tanah berukuran 5 x 5 meter dimana mayat suaminya dikubur. Katanya ia akan membangun rumah kecil di situ. Ternyata meskipun wajahnya oriental, Bu Roysius sangat setia pada suaminya sehingga memilih tinggal di samping kuburan itu.
Kemudian esoknya saya pamit pulang pada teman karib saya, dan di perjalanan kami masih saling berhubungan melalui hape. Teman saya bilang, Bu Roysius telah kembali ke tempat asalnya. Katanya akan kembali lagi ke dataran tinggi itu dengan anak-anaknya. Tapi hingga sebulan kemudian tak ada yang mengunjungi makam itu. Lalu saya pun lupa pada kejadian itu, apalagi saya kemudian sibuk dengan pekerjaan. Dan warga di kampung juga sudah lupa, karena kuburannya jauh dari jalan utama. Tak bernisan pula.
Tapi masalahnya, saya jadi teringat, waktu itu saya ikut mengubur, dan ketika membaringkan tubuh Roysius ke tanah, seseorang di samping saya dengan berani memeriksa luka di pinggang itu. “Ada sesuatu,” katanya. Lalu ia mencabut potongan senjata seperti sebilahpisau. Sepertinya Roysius bunuh diri pakai benda tajam itu.Ketika saku kaos pendek dan celana jeans-nya diperiksa, tak ditemukan tanda pengenal apapun.
Lalu saya jadi bertanya-tanya, kenapa gagang pisaunya tak ditemukan di sekitar tubuh Roysius tergeletak. Dan kenapa senjata itu terpenggal?Dan kenapa lukanya berada di pinggang? Saya membayangkan, kalau saya bunuh diri, saya pikir cara terbaik ialah memotong urat nadi. Agar sakitnya perlahan-lahan dan pingsan sebelum meninggal. Atau menusuk jantung, karena meninggal dengan cepat. Tetapi kenapa Roysius memilih menusuk pinggang? Bukankah itu menyakitkan dan kenapa senjata itu terpenggal seakan ada perlawanan?
Saya sadar ada yang tak beres. Ketika saya telepon teman saya, dia juga akhirnya berpikiran sama. Apalagi Bu Roysius itu tak pernah menampakkan diri lagi hingga kini. “Jadi bagaimana, kita lapor polisi?” tanya teman saya. Tapi kejadian itu sudah lima tahun lalu. Tak ada yang tahu dari mana lelaki malang itu berasal. Kami juga sangsi kalau kami tahu nama dia sebenarnya. Jadi sampai akhir saya tak tahu bagaimana cerita yang sebenarnya.
Tetapi kemudian saya dan teman saya menyimpulkan barangkali lelaki itu hanya kecelakaan karena terjatuh di lereng gunung dan tertancap pisau di pinggang. Lalu patahan pisaunya jatuh entah kemana. Kami berpikir positif saja, meskipun tak tahu bagian mana dari kejadian itu yang positif. Mungkin kami hanya tak ingin terbebani.
* Nurhidayati, penikmat cerpen. Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris Unsyiah