Serambi MIHRAB
Imam Syafi’i
NAMA lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Uthman bin Syafie bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim
NAMA lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Uthman bin Syafie bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Mutalib bin Abdul Manaf. Dengan nasab yang terhubung ke Nabi Muhammad saw, maka jelas bahwa Imam Syafi’i adalah keturunan Arab dari suku Quraisy. Beliau lahir di Kota Gaza, Palestina pada bulan Rajab 150 Hijrah. Namun ada pula yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i lahir di Asqalan, sebuah kota kecil yang jaraknya sekitar 3 farsakh dari Gaza (1 farsakh = 5.541 meter).
Konon, sebelum melahirkan Imam Syafi’i, ibunya bermimpi melihat sebutir bintang keluar dari perutnya lalu naik ke langit. Lalu bintang itu pecah lalu jatuh bertaburan jatuh ke bumi. Cahaya dari bintang pecah yang jatuh itu menerangi seluruh muka bumi. Ibunya terkejut bila mengetahui suaminya juga mengalami mimpi yang sama yaitu dia melihat ada sebutir bintang yang keluar dari perut isterinya.
Menurut ahli sejarah, pada malam beliau dilahirkan, seorang ulama besar Sunni lainnya yaitu Abu Hanifah (Imam Hanafi) wafat. Beliau wafat karena diracun oleh Khalifah Abu Jaafar al-Mansur dari Bani Abbasiyah sewaktu Imam Hanafi berada dalam penjara. Beliau dipenjara dan disiksa, karena tidak mau bekerja sama dan menolak tawaran menjadi hakim kerajaan pada Khalifah Bani Abbasiyah yang zalim.
Setelah ayahandanya meninggal saat Imam Syafi’i masih berusia 2 tahun, sang ibu membawanya ke Mekkah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata: “Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris.” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Memberi fatwa
Di Mekkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwa ketika masih berusia 15 tahun. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para ulama fiqih yang ada di Mekkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Mekkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih dan kerap duduk di berbagai halaqah ilmu para ulama fiqih di atas.
Imam Syafi’i sudah menghafal Alquran ketika ia masih berumur 9 tahun.Beliau menghafal Kitab al-Muwatta’ yang ditulis oleh Imam Malik (Mazhab Maliki) selama 10 tahun. Imam Syafi’i memiliki kecerdasan dan daya ingat yang sangat luar biasa.Dalam usianya yang relatif muda, ia juga mengetahui dan menghafal banyak hadis Nabi saw.
Saat usianya memasuki 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di sana. Imam Syafi‘i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Al-Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghafal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’. Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu Syafi‘i sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Alquran, lebih dari kitab Al-Muwattha’.” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para ulama yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi.
Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, orang yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadis. Ia memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada takdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi’i, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai riwayat ilmu.
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke Baghdad, Irak. Di sini, ia banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih. Ia juga belajar dari Ismail bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya.
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekkah pada 187 H dan di Baghdad pada 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqihnya, ushul madzhab-nya, penjelasan nasikh dan mansukh-nya. Di Baghdad pula Imam Syafi’i menulis mazhab lamanya (mazhab qadim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan mazhab baru (mazhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 Hijriah.
Menentang bid’ah
Imam Syafi’i yang paling menonjol adalah soal amalan bida’ah. Ia sangat menentang bid’ah. Menurutnya, semua perkara yang menyalahi Quran, Sunnah dan Ijmak Ulama adalah bida’ah yang keji dan sesat. Tapi manakala perkara atau kebaikan yang tidak menyalahi sedikit pun dari semua itu adalah bida’ah yang terpuji.
Imam Syafi’i berpegang kepada paham Ahlussunnah wal Jamaah, sama seperti Imam Hanafi, Imam Maliki dan Iman Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali). Paham Ahlussunnah wal Jamaah ini dicetuskan oleh ulama sebelum mereka, yaitu Syeikh Abu Hasan Asya’ari dan Syeikh Abu Mansur al-Maturidi.
Imam Syafi’i juga melarang taqlid, baik taqlid kepada diri sendiri atau kepada siapa saja. Ia selalu berpesan: “Janganlah mereka-reka dalam perkara agama, taqlid kepada perkataan ataupun tindakan yang tidak disertai dengan keterangan ataupun alasan dari Quran dan hadis”. Ia juga mengatakan: “Tiap-tiap perkara yang saya katakan padahal kata Rasulullah bertentangan dengan perkataan saya, Rasulullah itulah lebih utama perlu dituruti.”
Satu karangannya adalah Ar-Risalah, buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab Al Umm yang berisi mazhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. (dari berbagai sumber/asnawi kumar)
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |