Cerpen

Dalilot

DI USIAMU sekarang, pernahkah kau membayangkan sesosok lelaki tua yang berjalan tertatih menyusuri

Editor: bakri

Karya Ramajani Sinaga

DI USIAMU sekarang, pernahkah kau membayangkan sesosok lelaki tua yang berjalan tertatih menyusuri jalan kampung saat hujan turun lebat di tengah malam?

Di kampung kami, ia dikenal sebagai Dalilot. Tak ada satupun cerita yang bisa memastikan siapa sebenarnya Dalilot. Jika kau bertanya pada tetua kampung di kaki gunung, kau akan mendengar bahwa Dalilot itu penjaga gunung. Juru kunci mereka menyebutnya.

“Ia dilahirkan oleh seorang pengumpul kayu bakar di dalam hutan, di atas gunung, dan membesarkan Dalilot di sana. Setelah perempuan itu mati, Dalilot tinggal di dalam hutan larangan bersama harimau-harimau,” begitulah kira-kira kalimat yang akan kau dengar.

Lain halnya jika kau bertanya pada tetua kampung sebelah, di pesisir pantai. Menurut mereka Dalilot seorang nakhoda kapal dari pulau seberang yang terdampar.

Sebenarnya ada yang jauh lebih hebat dari sekadar asal-muasalnya. Tentu hal ini yang akan membuatmu bergidik. Hal ini pulalah yang menjadikan cerita ini bermula. Dalilot dikenal sebagai Si Pelantun Hikayat. Lelaki itu selalu keluar jika hujan turun lebat tengah malam. Ia berjalan keluar dari kegelapan hutan, menyeret langkah melewati jalan setapak di kaki gunung, lalu masuk ke perkampungan. Bayangannya akan mulai terlihat dari ujung jalan. Di tangan kirinya sebuah lentera berayun pelan akibat langkahnya yang tidak seimbang. Sementara di tangan satunya sebuah tongkat kayu menopang bagian tubuhnya yang miring ke kanan.

Jika ia telah mendekati pemukiman kampung, maka sayup-sayup akan terdengar lantunan kalimat dari mulutnya. Senandung hikayat, begitu orang kampung memberi nama. Seketika, jendela-jendela rumah yang tadinya tertutup akan tersingkap. Lampu-lampu yang semula padam kembali dinyalakan. Jika ada yang melihat dari atas bukit yang mencuat di ujung kampung, pastilah akan melihat kampung itu menjelma kunang-kunang dengan pendar cahaya.

Dalilot akan terus melantunkan hikayat sambil melangkah tertatih di sepanjang jalan. Lantunannya akan menyusup masuk melewati jendela-jendela rumah yang tersingkap. Lantunan hikayat itu menyerupai mantra-mantra. Terkadang terdengar seperti doa-doa yang menyatu dengan derak hujan yang jatuh di atas atap. Gemerisik daun-daun atau engsel jendela yang berdecit tertiup angin melebur dalam alunan hikayatnya. Orang-orang akan segera mematikan radio. Anak-anak yang tadinya ribut entah karena berebut apa akan berhenti dan jatuh dalam pelukan orangtua mereka. Bayi-bayi dalam gendongan yang semula merengek entah pasal apa tiba-tiba terdiam. Alunan hikayat Dalilot memenuhi setiap celah kampung. Dan orang-orang mendengar dengan khidmat.

Hikayat itu bermacam-macam pula bentuknya. Akan berbeda dari satu waktu dengan waktu lainnya. Ada kalanya hikayat yang dilantunkan berkisah tentang kepiluan nelayan-nelayan pesisir akan susahnya menjala ikan dan kekalahan telak mereka dari kapal-kapal tongkang. Atau menceritakan kegagalan panen petani karena tidak mampu membeli pupuk. Dalilot akan melantunkannya dengan suara lirih. Bahkan sesekali terdengar isakan. Dan entah apa pasal, orang-orang yang mendengar akan luruh air matanya. Dingin seketika membekukan tulang.

Ada kalanya pula hikayat itu bercerita tentang cericit burung-burung di dalam hutan, aneka warna kembang, atau celah-celah tebing yang mengucurkan air terjun. Mendengarnya, orang-orang kampung akan melupakan kekecewaan gagal panen. Suami istri yang bertikai akan kembali berdamai. Perut-perut yang menahan lapar seketika merasa kenyang.

Lantunan hikayat itu akan terus terdengar sampai orang-orang kampung dibuat terlelap. Setelah selesai pada lantunan akhir hikayatnya, biasanya ditandai dengan kalimat-kalimat menyerupai doa-doa, Dalilot akan kembali berjalan tertatih ke dalam hutan. Esok paginya, ketika hujan mulai mereda, dari sudut-sudut dapur akan kembali terdengar suara-suara perempuan mendidihkan air dengan kayu bakar. Bunyi kecipak air di sumur. Dari balik jendela, para lelaki paruh baya akan tampak berjalan beriringan sepanjang jalan setapak menuju sawah. Mereka memikul cangkul dengan parang yang tersampir di pinggang. Pun suara lenguh kerbau yang diarak masuk dalam petakan sawah.

Begitulah Dalilot dan hikayatnya.

***

Beberapa pria berseragam cokelat tanah utusan dari pemerintah pusat (begitu kira-kira mereka memperkenalkan diri) mendatangi kampung kami. Kampung yang semula tenang dan menyimpan Dalilot beserta hikayatnya.

Pria dengan seragam cokelat tanah itu menemui tetua kampung. Mereka berjumlah lima orang. Salah satu dari mereka tampak lebih dituakan. Pria inilah yang banyak bicara. Aku sendiri tidak tahu pasti pembicaraan itu seperti apa. Kami hanya melongok dari pematang sawah. Beberapa perempuan ada pula yang mengintip dari jendela rumah. Mereka berbincang di balai kampung.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved