Serambi MIHRAB

Laut, Semarah Itukah Kau kepada Kami?

MINGGU, 26 Desember 2004, hari dan tanggal itu masih terdengar memilukan dan penuh misteri di telinga ku

Editor: bakri

Oleh Uning Arsalna Seorang korban selamat Gempa dan Tsunami 26 Desember 2006

MINGGU, 26 Desember 2004, hari dan tanggal itu masih terdengar memilukan dan penuh misteri di telinga ku. Ketika aku menatap lautan, hatiku bergetar dan rasa shock trauma itu terus menghantuiku.Hari yang takkan pernah terlupakan sepanjang sejarah, dimana gempa dahsyat yang berkekuatan 9,3 SR itu lautan meluluh-lantakkan bumi serambi mekkah saat itu. Ribuan korban tewas diterjang ombak yang tingginya diperkirakan 9 meter, serta ribuan bangunan hancur menjadi puing-puing, ribuan pula nyawa melayang.

 Aku saat tsunami
Kejadiannya itu tepat pukul 08.00 di mana aku masih tertidur pulas di kamarku, seperti biasanya setiap hari libur aku selalu di tinggal berdua dengan kakakku.karena orangtua ku  berjualan di toko. Saat itu aku terbangun dan mendengar orang-orang di depan rumahku sedang panik dan menyebut-nyebut lafaz Allah, tersadar dari rasa kebingunganku saat tetanggaku memanggil agar kami segera keluar, karna mereka khawatir bangunan rumahku akan roboh. Kami berkumpul di halaman depan rumahku seraya menunggu gempa berhenti.

Akhirnya gempa berhenti, aku dan kakakku segera pergi menemui ayah dan ibu di toko dengan berjalan kaki yang berjarak sekitar 1 km. Tapi tiba-tiba sebuah mobil truk melaju sangat kencang melewati jalan itu. Orang-orang juga mengendarai kendaraannya dengan sangat cepat. Kemudian seorang wanita yang berwajah berkerut menandakan tidak muda lagi menangis di hadapan kami. Ia mengatakan air laut telah naik ke daratan, dan ia melarang kami berjalan ke arah tujuan kami. Tersentak aku kebingungan memikirkan “bagaimana bisa air laut naik kedaratan?”

Hal itu masih tidak masuk di akal bagiku karena saat itu aku masih berumur 9 tahun dan kakaku 11 tahun. Tanpa membalas ucapannya kami melanjutkan pergi ke arah yang dilarangnya untuk menemui orangtuaku. Aku terus keheranan melihat orang-orang beramai-ramai berlari ke arah berlawanan dengan kami. “Ya Allah apakah ini kiamat?” pikirku dalam hati.

Aku sangat mengkhawatirkan orang tuaku bahkan tidak memperdulikan mereka yang melarang kami berjalan kearah tokoku. Aku mulai melihat arus air yang berdatangan tidak terlalu deras kejalan, “apakah itu air laut yang mereka maksud,” pikirku. Tiba-tiba sebuah mobil pick up menarikku untuk naik dan mencari tempat yang aman untuk menghindari dari peristiwa mengerikan itu.

Aku menapihnya, tanpa banyak cakap mereka lantas menarikku, sehingga aku terpisah dengan kakakku yang sudah berjalan di depan. Aku terpaksa naik karena arus air mulai menyeret dan sudah mulai membahasahi kakiku. Aku menangis histeris dalam mobil tersebut. Aku terus berpikir kemana mereka akan memboyongku. Tidak ada yang memperdulikanku. Padahal aku ingin mengatakan bahwa aku menangis bukan karena takut peristiwa itu akan tetapi karena terpisah dengan kakakku dan aku sangat khawatir kepada orangtuaku.

Mereka terus membawaku ke tempat yang aman. Untungnya arus air yang mengejar kami tidak terlalu deras dan kami masih bisa mengindarinya. Setelah sampai di tempat daratan yang tinggi. Tubuhku sakit karena desakan orang yang berada dalam mobil itu. Sementara air laut di kota terus mengamuk sehingga ribuan mayat dan ribuan gedung hancur lebur.

Jam menunjukkan pukul 15.00 sore. Aku terjaga dari tidurku dan melihat orang-orang di sekitarku mengucap-ngucap lafaz Allah sambil menangis. Entah bagaimana aku bisa tertidur di atas rumput hijau itu, aku tidak terlalu memikirkannya. Dalam kondisi kebingungan aku mendapati diriku masih utuh dan tidak terkena apa-apa. Ternyata mereka benar-benar menyelamatkanku. Aku tidak tahu berapa lama aku menangis, menjerit, melunta-lunta seperti orang gila karena aku tidak bertemu keluargaku. Seorang laki-laki tua yang tak tau dari mana datangnya mengantarku ke depan kantor Gubernur Aceh, sepertinya ia mulai iba melihatku seperti itu.

Aku berjalan bertatih melihat mayat-mayat yang membengkak bergelimpangan seperti sampah dan terlihat sangat mengenaskan,ada yang terjepit di bawah kendaraan,ada yang tertimpa bangunan yang roboh,ada yang tergeletak tanpa pakaian sehelaipun di tubuhnya dan ada pula yang kaki dan tangannya hanya tinggal sebelah serta bau amis darah manusia yang sangat menusuk hidungku.

Pada saat itu banyak sekali orang-orang yang sedang mencari keluarganya. Bahkan ada seorang wanita tua yang jempol kakinya hampir putus berjalan seraya melihat-lihat mayat di jalan seperti sedang mencari seseorang. Aku semakin ketakutan, merinding, bergetar, aku seakan tidak ingin menyaksikan ini semua. Aku ingin memberontak tapi itu semua sudah ada di depan mataku. Aku terus  berlari menuju rumahku untuk menemui keluargaku. Aku tak pernah menyangka diriku akan menjadi saksi hidup bencana dahsyat itu.

 Memeluk ibuku
Setiba di depan rumah, aku melihat atap rumahku sedikit roboh dan air yang tergenang mulai surut hingga tinggal selutut. Tiba-tiba terdengar suara ibuku memanggilku dari rumah tetangga. aku langsung menghampirinya dan memeluknya. Ternyata ia menangis dan mencari-cari ku.sementara kakaku telah bersama mereka. Keluarga ku berkumpul di rumah tetanggaku, karena rumah itu terlihat aman untuk berlindung dari goncangan gempa. Aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan keluargaku.

Di hari yang sama dan pukul yang berbeda gempa susulan masih terjadi walau tidak berkekuatan 9,3 SR. Aku bahagia karena dipertemukan dengan keluargaku. Tapi di sisi lain hatiku sangat teriris karena arus air itu telah merenggut saudara, sahabat, teman, bahkan sekolahku ikut dilahapnya. Inilah kisahku saat amukan lautan menerjang daratan. Ketika aku menatap lautan, hatiku bergetar dan rasa shock. Trauma itu terus menghantuiku.

Tapi kini Aceh ku sudah bangkit dari keterpurukan itu dan menjadi lebih baik. Kejadian itu menarik simpati masyarakat asing khususnya masyarakat barat sehingga berbondong-bondong mengumpulkan uang untuk membangun gedung-gedung yang roboh,selain itu laporan laporan media yang datang memperlihatkan kerusakan yang sulit di bayangkan.

Banyaknya bantuan-bantuan internasional pascatsunami dari seluruh negara menjadikan aceh semakin maju dan kini tepat 10 tahun bencana dasyat itu berlalu. Kejadian itu akan selalu membekas di hati masyarakat, khususnya masyarakat Aceh. Semoga Aceh semakin aman dan maju dengan semangat membangun aceh menjadi lebih baik.

(email: uningalsya@rocketmail.com)

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved