Cerpen
Nyak Cut Merindukan Laut
“Mak, Cut kan sudah besar. Kenapa Mak terus saja memanggil dengan Nyak Cut?” Aku berpura-pura sewot.
Karya Rinal Sahputra
NYAK CUT belum tidur?”
“Mak, Cut kan sudah besar. Kenapa Mak terus saja memanggil dengan Nyak Cut?” Aku berpura-pura sewot. Mak hanya tersenyum.
Kurapatkan kepalaku ke pangkuan Mak. Setelah sekian lama merantau di Jakarta, aku sungguh sangat merindukan Mak. Bahkan kebiasaanku untuk tiduran di pangkuannya seolah baru kemarin terakhir kulakukan.
“Mak belum menjawab pertanyaan Cut?” Aku menatap wajah renta Mak yang sedang memandang jauh ke langit malam.
“Meskipun kau sudah sarjana sekarang, bagi Mak, kau masih sosok yang sama Cut. Dan biarkan Mak memanggilmu seperti dulu. Bukankah Abah juga memanggilmu Nyak Cut?”
Mataku tiba-tiba saja memanas. Mendengar nama Abah, selalu saja menghadirkan luka.
“Maafkan Mak, Nyak Cut! Mak tidak sengaja menyebut nama Abah.” Suara Mak terdengar serak dan butiran air mata mulai bergulir di kedua pipinya. Tentunya, Mak jauh lebih merindukan Abah.
“Sudahlah Mak. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu.” Meskipun begitu, aku masih saja tak mampu membendung air mata.
Hingga tangis kami mereda dan malam seolah berlalu dengan cepat. Suara jangkrik mulai ramai terdengar pertanda malam sudah semakin larut. Sisa-sisa hujan tadi sore masih terlihat lewat satu dua kubangan kecil di halaman depan. Pokok-pokok sawit di sekeliling rumah pun tampak semakin gelap. Bunyi sepeda motor dan mobil yang melintas lewat badan jalan utama Meulaboh-Banda Aceh juga makin samar terdengar.
“Nyak Cut ada rencana ke mana, besok?” Mak menatapku lembut.
“Hmmm.Paling ya menunggu keputusan pihak desa untuk posisi Cut sebagai pemandu wisatawan asing yang baru saja tiba di sini, Mak.”
“Kalau begitu, Nyak Cut temanin Mak ya besok? Mak hendak ziarah ke laut.”
Abah memang tidak punya pusara. Jasadnya menghilang ditelan lautan. Jadinya, aku dan Mak kerap berziarah ke sana. Aku mengangguk dan Mak tampak sangat gembira. Dia memelukku dengan erat.
“Cut ada, Mak?”