Cerpen

Tiang

AKU mendongakkan kepala ke luar jendela bus. Hawa dingin pegunungan segera membelai wajahku

Editor: bakri

Karya YF Rijal

AKU mendongakkan kepala ke luar jendela bus. Hawa dingin pegunungan segera membelai wajahku yang belum tersentuh air setelah Magrib kemarin. Kulirik arloji di tangan kananku, pukul lima lewat dua belas menit. Itu artinya, sudah delapan jam dan tiga puluh lima menit aku duduk di kursi ini, di belakang sopir. Samar-samar suara azan terdengar. Mungkin dari desa di kaki gunung ini. Lantunan panggilan menunaikan kewajiban itu mengingatkanku pada mesjid kampung. Rindu.

***

Nurul Huda adalah satu-satunya mesjid di kampung. Kata imuem chik,itu adalah bahasa Arab yang artinya cahaya petunjuk. Dan nama, bagi kami, adalah sebuah doa. Kami sekampung berharap mesjid yang hanya berukuran 150 meter persegi itu benar-benar mampu menjadi cahaya bagi kami.

Tidak ada yang istimewa dari mesjid kami. Jangan bayangkan ada kaligrafi timbul di dindingnya atau mimbar penuh ukiran yang rumit. Tidak ada AC dan tidak ada kipas angin besar yang menempel di langit-langit. Tidak ada menara yang menjulang tinggi. Nurul Huda hanyalah sebuah mesjid tua yang sudah berkali-kali direnovasi. Konon, dulu mesjid ini berdindingkan papan dan beratapkan daun rumbia. Sekarang, berkat derma masyarakat, ia telah menjadi bangunan yang permanen berdinding beton bercat putih, berlantai keramik dengan warna yang sama, serta kubah hitam sederhana.

Bila ada yang menarik darinya, itu adalah empat tiang di dalamnya. Bagi kami yang sering-sering mengunjunginya di waktu-waktu fardu, tiang-tiang itu menjadi tempat favorit beribadah sunah rawatib. Maka setelah lantunan salawat penutup zikir seusai salat dilantunkan, kamipun berebutan berdiri di belakang tiang menunaikan salat sunah rawatib. Entah apa penyebabnya, kami merasa lebih nyaman menunaikan salat di situ daripada di tempat lain. Mungkin karena pandangan kami tidak terganggu dengan orang yang lalu lalang di depan.

***

“Kita salat dulu, Bang,” aku menepuk pundak bang Kasim, sopir bus.

Ia hanya mengangguk. Dari kaca spion dalam yang lebar, aku melihat wajahnya yang terkantuk-kantuk. Bang Kasim belum beristirahat sejak mengendarai selepas Maghrib.

Bus berhenti di sebuah mesjid berukuran besar tepat saat azan baru saja selesai berkumandang. Ukuran mesjid ini kutaksir sekitar empat kali lebih luas daripada mesjid di kampungku. Pekarangannya ditutupi dengan pavingblock berbentuk heksagonal. Tempat wudu terpisah untuk laki-laki dan perempuan. Sepasang menara di kiri kanan atap mesjid menambah gagah rumah Allah itu. Indah sekali. Kerinduanku kepada mesjid di kampung kian menjadi-jadi.

***

“Mesjid kita mau digusur, Min,” kata Bang Hamid, lelaki berumur dua puluh tujuh tahun, salah satu jamaah paling rajin di kampung. Keningnya menghitam, jenggotnya lebat, wajahnya tenang, tatapannya meneduhkan. Kami sedang duduk di warung kopi Cek Mat siang itu.

“Maksudnya, Bang?” aku terkejut mendengar berita yang bak petir di siang bolong ini.

“Mereka bilang mesjid kita akan dipindahkan ke dusun Tunong. Tapi tetap saja itu namanya digusur. Cum bahasanya saja yang diperhalus,” nampak jelas sekali raut kecewa di wajahnya. Ia membuang muka ke jalanan yang kian sibuk beberapa hari terakhir ini.

“Mereka itu siapa, Bang?” dahiku mengernyit. Aku turut melihat-lihat ke jalan. Sebuah mobilberhenti di depan warung.

“Itu petugas yang hendak melancarkan proses penggusuran!” ia menjawab. Matanya menatap lekat ke arah beberapa orang yang turun dari mobil tadi. Ada empat orang berjas hitam lengkap dengan dasi.

“Katanya, mereka akan membangun mesjid terlebih dahulu di dusun Tunong. Sayangnya, kita tidak diberi kesempatan untuk memberi masukan terhadap rancangan mesjid. Semua ditanganioleh mereka.”

“Jadi kita tidak bisa mengusulkan agar mesjid baru itu dibangun lebih luas? Itu perlu menurutku, Bang. Sebab setiap hari raya, mesjid kita selalu tidak muat menampung jamaah.”

Bang Hamid menggeleng.

***

Hari mulai terang ketika bus yang kutumpangi akan tiba di kampung. Hatiku berdebar-debar menantikan perubahan apa saja yang terjadi di kampung setelah sekian lama kutinggalkan. Tapi yang paling membuatku tak sabar adalah mesjid baru yang kudengar sudah selesai pembangunannya. Aku memang tidak sempat melihat proses pembangunan mesjid di Tunong karena harus berangkat ke Jakarta. Sebuah undangan kuliah di sebuah universitas terkemuka di negeri ini membuatku harus meninggalkan kampung tercinta empat tahun lamanya. Kini, setelah empat tahun berlalu aku pulang.

Bus berhenti tepat di depan mesjid. Tapi seperti dugaanku, tidak ada lagi mesjid di sana. Bahkan aku hampir tak melihat apa-apa selain pagar beton yang tinggi dan cerobong-cerobong asap yang menjulang. Rupanya bukan mesjid saja yang digusur. Tetapi juga beberapa rumah di sekitarnya.Rumah Ainun, Suherman dan tiga rumah lagi disampingnya sudah menjelma menjadi pagar beton. Begitu mudahnya orang berduit melakukan apa yang ia inginkan.

Aku baru sadar ternyata jalan di kampung kami kini sudah diaspal semuanya. Jalan-jalan tak lagi berdebu. Kendaraan lalu lalang. Warung kopi Cek Man kian ramai saja dan sudah terpasang jaringan internet.

“Nggak mampir dulu, Gam?” sapa Cek Man dari warung.

Aku mampir sebentar dan bersalaman. Kemudian minta izin untuk pulang ke rumah. Di rumah, setelah bersalaman dengan seluruh anggota keluarga, aku minta izin ke mesjid. Rasa penasaranku mengalahkan segalanya.

Langkahku kupercepat ke arah dusun Tunong. Orang-orang menyapaku sepanjang jalan. Aku berhenti sebentar-sebentar untuk menyalami mereka. Tapi tidak berlama-lama. Sengaja tidak kutanyakan kondisi mesjid kepada mereka. Itu hanya akan membuatku semakin penasaran saja. Ada baiknya aku sendiri yang melihatnya langsung.

Aku tiba di ujung jalan. Sebuah mesjid ada di sana. Aku kecewa sebab mesjid itu ternyata jauh lebih kecil dari mesjid yang dulu. Tak terasa, air mata mulai menetes. Mengapa mereka menzalimi kami seperti ini?

Kulangkahkan kakiku pelan ke dalam mesjid. Tidak ada kaligrafi atau ukiran-ukiran di dinding. Tidak ada AC atau kipas angin. Pokoknya tidak ada yang istimewa. Kekecewaanku kian menumpuk. Aku kesal dengan orang-orang berduit itu yang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Mengapa mereka begitu malas membangun rumah ibadah?

Tapi sebentar, aku baru sadar ada sesuatu yang menarik di mesjid ini. Kuhitung jumlah tiangnya. Dua puluh!

* YF Rijal, kelahiran Ladang Tuha, Meukek, Aceh Selatan 1992.

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved