Cerpen
Mayat tak Dikenal
KAMPUNG Lamkutang sedang heboh penemuan sesosok mayat tak dikenal
Karya Herman RN
KAMPUNG Lamkutang sedang heboh penemuan sesosok mayat tak dikenal. Mayat yang ditemukan di tepi sungai itu mulai menebar bau busuk. Baunya menyengat hingga ke lubang hidung paling dalam. Diperkirakan sudah beberapa hari mayat itu tenggelam atau hanyut lalu tersangkut di tepi sungai.
Orang-orang kampung semakin ramai di lokasi penemuan mayat. Mereka menutup hidung dengan telapak tangan masing-masing. Ada yang mulai menarik mayat itu ke darat sembari berusaha melawan bau yang sangat busuk. Sangat menyengat.Tak seorang pun mengenal sosok tak bernyawa itu. Beberapa orang mengusulkan agar menghubungi kepala kampung.
“Halo, Pak. Ada mayat ditemukan warga,” ucap seorang pemuda melalui saluran telepon.
“Hallo. Mayat?! Di mana?”
“Di tepi sungai, Pak. Persis di tempat tumpukan sampah. Sepertinya sudah beberapa hari mayat ini tersangkut di sini. Bau sekali, Pak. Bagaimana, Pak? Kemana dibawa, Pak?”
“Sudah lapor ke polisi? Saya sedang di luar. Kemungkinan petang baru saya sampai di kampung.”
“Sudah, Pak. Polisi sedang menuju ke lokasi. Tadi pak polisi sempat pesan, suruh lapor kepala kampung juga.”
“Baik. Biar dilakukan otopsi oleh polisi. Saya tunggu perkembangan berikutnya. Nanti sore saya ke lokasi.”
“Ok, Pak. Terima kasih. Salam.”
Saluran telepon putus. Tidak lama berselang, polisi sampai di lokasi kejadian. Mayat yang sudah menyebarkan bau menyengat itu dimasukkan ke dalam kantong mayat. Polisi mengambil dompet dari saku celana mayat tersebut. Hanya ada selembar uang dua puluh ribu dan sehelai kartu tanda penduduk (KTP) dalam dompet itu. Selebihnya kosong.
Kamar mayat di kantor polisi Kecamatan Suak Paleh sedang gaduh. Mayat beridentitas tapi tak teridentifikasi itu jadi buah bibir.Mayat yang ditemukan di tepi sungai Lamkreh itu jadi pembicaraan sesama polisi. Beberapa anggota polisi silih bergantian menjenguk mayat tersebut.
Tidak seperti biasa mereka suka namanya dicatut juru tulis, kali ini beberapa polisi memilih menghindar dari wartawan. Mereka bingung harus menjelaskan identitas si mayat kepada wartawan yang sudah penuh sesak menunggu keterangan dari kepolisian.
Seorang polisi berbaju lengan pendek dengan rompimasuk ke kamar mayat. “Siang, Dan,” sapa beberapa polisi kepada si lelaki yang baru saja masuk.
“Bagaimana? Sudah teridentifikasi mayat siapa dan dari mana?” tanya lelaki yang disapa komandan.
“Namanya...Anu, Dan,” sahut seorang polisi.
“Anu apa?”
“Anu namanya.”
“Maksudmu?”
“Namanya Anu, Dan.”
“Anu...?!”
“Siap, Dan. Benar. Hanya Anu.”
Komandan polisi mengelus dagunya sendiri. Ia tatap wajah mayat yang sudah pucat pasi itu. “Orang mana dia?” tanya sang komandan lagi.
“Belum diketahui, Dan.”
“Kan ada di KTP!”
“Nomaden, Dan.”
“Apa?!”
“Siap, Dan. Tinggalnya nomaden, berpindah-pindah alias tidak tetap, Dan. Ini KTP-nya.”
Lama komandan polisi itu terdiam. Ia ambil KTP si mayat dari tangan anak buahnya. Ditatapnya KTP tersebut. Ia perhatikan foto di tanda pengenal itu. Ia samakan dengan wajah yang terbaring kaku. Raut wajah komandan polisi tampak serius. Sekali ia lihat ke KTP, sekali ia amati wajah si mayat.
Sejurus kemudian, komandan polisi mengeluarkan telepon genggamnya. “Ada nomor kontak kepala kampung Lamkutang,” tanya sang komandan dengan nada meminta.
“Siap, Dan. Kosong lapan tiga belas....”
Sang komandan mencatat nomor kepala kampung di telepon genggamnya. “Halo, ini dengan Kepala Kampung Lamkutang?” sapanya kemudian.
“Benar. Saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya dari kepolisian Kecamatan Suak Paleh. Bapak sudah tahu tentang mayat yang ditemukan di kampung Bapak?”
“Oh Pak Polisi. Maaf, Pak, apa maksudnya mayat yang di sungai tadi pagi? Saya memang sudah dapat laporan dari ketua pemuda kampung. Tapi, saya belum melihat langsung, Pak.”
“Mayatnya sudah kami tangani. Sekarang ada di kamar mayat kantor kepolisian. Namun, kami kewalahan mengidentifikasi asal muasal si mayat. Di KTP-nya tak ada alamat tempat tinggal. Apa warga Bapak ada yang hilang, mungkin belum lama ini?”
“Oh begitu, Pak? Setahu saya warga kampung kami tak ada yang hilang. Kalau ada yang hilang, pasti kami sudah melapor ke Bapak terlebih dahulu. Mungkin warga kampung tetangga ada Pak.”
“Baik kalau begitu. Terima kasih. Nanti akan kami hubungi kembali jika diperlukan.”
Komandan polisi menutup telepon genggamnya. Sekejap kemudian ia tinggalkan kamar mayat dan kembali ke ruang kerjanya.
Di ruang kerjanya, komandan polisi masih tampak bingung. Ditatapnya kembali KTP milik si mayat. Ia sandarkan tubuh ke kursi. Ia hela napas dalam-dalam. Matanya terus menatap serius ke KTP si mayat.
Tak lama kemudian, seorang sekretaris masuk membawa map. “Ini, Dan, daftar nama dan nomor telepon kepala kampung dalam wilayah Kecamatan Suak Paleh,” ujar sekretaris berjilbab itu.
“Terima kasih,” balas sang komandan.
Ia perhatikan daftar nama kepala kampung yang baru saja diberikan sekretarisnya. Komandan polisi meraih gagang telepon kantor di atas mejanya. Satu per satu kepala kampung dalam wilayah Kecamatan Suak Paleh ia hubungi.
“Halo, kami dari kepolisian. Apa benar ini dengan Kepala Kampung Lamsulet? Warga Bapak ada yang dikabarkan hilang mungkin belum lama ini? Soalnya kami baru saja menemukan sesosok mayat tak dikenal di sungai.”
“Maaf, Pak. Saya belum menerima berita kehilangan dari warga. sepertinya warga kami tak ada yang hilang. Kalau ada yang hilang, pasti kami sudah melapor ke bapak polisi.”
“Baik terima kasih.”
Komandan polisi kembali menghubungi kepala kampung lainnya. “Halo, apa benar ini dengan Kepala Kampung Lamsupot.....”
“Hallo.. apa ini Kepala Kampung Lamtet...”
“Hallo... benar ini nomor Kepala Kampung Lamjawapalis....”
“Hallo... ini Kepala Kampung Lamsipak....?”
Satu per satu nomor kepala kampung dalam wilayah Kecamatan Suak Paleh terus dihubungi sang komandan. Namun, tak satu pun kepala kampung mengaku ada warganya yang hilang. Jawaban para kepala kampung nyaris sama, jika ada warga kampung mereka yang hilang tentu mereka sudah hubungi polisi jauh-jauh hari.
Komandan polisi membanting punggungnya ke sandaran kursi. Matanya masih tertuju pada KTP si mayat. Perlahan ia baca sendiri identitas di KTP tersebut. “Nama: Anu. Lahir: di kampung, tanggal sekian, bulan pulan, tahun pulen. Golongan Darah: dihapus. Pekerjaan: dihapus. Alamat: nomaden.
Komandan polisi bergeming beberapa saat, lalu ia memanggil ajudannya. Tak lama menunggu, sang ajudan sudah berada di depan komandan. Setelah memberi hormat kepada komandan, sang ajudan dipersilakan duduk.
“Semua kepala kampung sudah saya hubungi. Tak satu pun mengaku ada warganya yang hilang. Bagaimana solusi atas mayat ini?” tanya sang komandan.
Ajudannya mengernyitkan dahi. Tangan si ajudan bermain di depan bibirnya. Ia tampak sedang berpikir keras. Beberapa kali alisnya terangkat dan dahinya mengernyit.
“Apa yang kau pikirkan, Briptu?”
“Siap, Dan.. Iya, Dan. Berpikir, Dan... Anu, Dan..”
“Iya, saya minta kau pikirkan bagaimana caranya tangani mayat bernama Anu itu!” suara sang komandan sedikit meninggi.
“Siap, Dan. Sedang dipikirkan, Dan.”
“Ah... hidupmu berpikir terus dan terus berpikir. Kapan kau akan berhenti berpikir.Kapan kau bisa langsung memberikan ide hah!” Sang komandan diam sejenak. Ajudannya juga masih bergeming. “Begini saja, kau panggil imam masjid kita.”
“Siap, Dan. Laksanakan!”
Sang ajudan keluar dari ruangan komandannya. Namun, tak sampai lima menit, ia kembali masuk ruangan itu. “Lapor, Dan. Maaf, Dan. Pak Imam sedang di luar,” ujar ajudan.
Sang komandan mengambil KTP milik si mayat. Ia serahkan KTP itu kepada ajudannya. “Bawa identitas mayat ini dan tangani segera. Beri saya laporan secepatnya.”
Ajudan berpangkat brigadir satu itu kembali ke luar dari ruangan komandannya. Sang komandan masih tampak serius. Sepanjang kariernya, baru kali ini ia merasa sangat pusing menghadapi kasus penemuan mayat.
Di saat sedang gelisah seperti itu, tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi - dri ajudannya. Ia angkat telepon tersebut.
“Lapor, Dan. Sampai sekarang belum diketahui pasti identitas detail mayat si Anu. Tim penyidik menunggu perintah Komandan. Mayat ini tak bisa lama-lama di tempat kita. Sekian, Dan,” kata sang ajudan.
“Sudah, bersihkan mayat itu dan kuburkan saja,” ucap komandan ketus.
“Tapi, Dan...”
“Tapi apa?”
“Dikuburkan bagaimana, Dan?”
“Ya dikuburkan sesuai syariatlah, pantengong!”
“Maaf, Dan. Dia bukan Islam, Dan.”
“Ya sudah, Bakar saja,” sahut komandan sedikit melunak.
“Tapi, Dan, dia bukan Hindu.”
“Ya sudah, antar ke geraja sana. Itu saja susah!” suara sang komandan kembali meninggi.
“Tapi, Dan, dia bukan Kristen.”
“Ah... kau panggil saja biksu kalau begitu.”
“Tapi, Dan, Dia bukan Budha, Dan.”
“Lalu agamanya apa? Kau bilanglah. Jangan berbelit-belit!” suara sang komandan semakin meninggi.
“Tidak diketahui, Dan. Kolom agama di KTP-nya kosong.”
Sang komandan terdiam. Badannya terasa lemas. Nyaris saja gagang telepon jatuh dari genggaman tangannya.
“Halo, Dan. Bagaimana, Dan? Apa yang harus kita lakukan, Dan?” suara dari seberang terus berbunyi di pelantam telepon sang komandan.
“Halo, Dan. Masih di posisi Dan? Masih dengar suara saya Dan? Halo, Dan....”
“Ya saya masih di sini,” sahut komandan lemas.
“Jadi bagaimana, Dan? Menunggu perintah, Dan.”
“Bungkus saja kembali mayat itu. Kita kirimkan ke Kementerian Dalam Negeri,” sahut komandan ketus.
“Siap, Dan. Laksanakan!”
“Tunggu! Ja.. Ja.. Jangan.... kita....”
Telepon dari seberang terputus. Untuk kesekian kalinya, sang komandan menghempaskan punggung ke sandaran kursinya.
Pattani, November 2014
* Herman RN, menulis cerpen, puisi, esai, dan resensi.
Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |