Anisah, Korban Tsunami Rindukan Tanah Leluhur
KISAH di balik bencana tsunami 10 tahun lalu tak pernah berakhir. Kali ini kisah tragis dan memiriskan itu datang
KISAH di balik bencana tsunami 10 tahun lalu tak pernah berakhir. Kali ini kisah tragis dan memiriskan itu datang dari seorang perempuan bernama Anisah (sekarang berusia 33 tahun), asal Gampong Blang Baro, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya. Anisah merupakan salah satu dari ratusan ribu korban lainnya yang selamat dari gulungan prahara pada 26 Desember 2004. Kini dia terdampar di Desa Bojong Kunci, RT 001, RW 010, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Rangkaian kisah Anisah begitu panjang dan mengharukan. Kisah itu berawal saat bencana terjadi, Minggu pagi 26 Desember 2014. Waktu itu Anisah berada di sekitar Pasar Kampung Baru, Banda Aceh, berbelanja kebutuhan lauk pauk untuk warung nasi tempat dia bekerja, di samping PT Semen Andalas (SAI) Lhoknga, Aceh Besar.
Saat bencana itu terjadi, Anisah berstatus janda dengan satu anak perempuan berumur dua tahun. Anaknya masih tertidur saat dia tinggalkan berbelanja ke Pasar Aceh, Banda Aceh, pagi itu. Anisah tak pernah tahu apakah sang anak selamat atau meninggal dalam amuk gelombang.
Di kalangan keluarga termasuk masyarakat kampungnya di Blang Baro, Kecamatan Teunom, Anisah sudah dianggap tidak ada lagi. Anisah berangkat dari kampung halamannya beberapa bulan sebelum bencana terjadi setelah ia bercerai dengan suaminya yang telah memberinya seorang putri. Bersama anaknya itulah, Anisah ke Banda Aceh untuk mengadu peruntungan. Dia diterima bekerja di sebuah warung nasi di samping PT SAI sekaligus mendapat fasilitas tempat tinggal di warung yang terpaut hanya beberapa puluh meter saja dari bibir laut Lhoknga.
Awal terungkap
Keberadaan Anisah di Kabupaten Bandung terungkap secara kebetulan pada akhir 2014, ketika suatu hari, seorang perempuan, tetangga Anisah iseng-iseng mengomentari wajah Anisah mirip face Aceh. “Sebenarnya Ibu ini dari mana? Kok mirip-mirip wajah perempuan Aceh,” kata sang tetangga.
Mendengar pertanyaan itu, Anisah spontan menjawab dirinya memang berdarah Aceh, asal Teunom. Lalu, sang tetangga makin serius mendalami, hingga akhirnya Anisah menyebut satu per satu anggota keluarganya di Teunom. Ternyata, salah satu nama yang disebut Anisah, yaitu Kak Ati yang sehari-hari bekerja sebagai perias pengantin merupakan teman facebook-nya. Kak Ati yang tak lain adalah kakak sepupu Anisah beralamat di Gampong Alue Ambang, Teunom.
Berbekal informasi itu, tetangganya makin gencar mengonfirmasikan tentang Anisah kepada Kak Ati melalui facebook, termasuk dengan mengirim foto Anisah. Maka, dalam waktu singkat kabar itu menyebar ke anggota keluarga yang lain. Semua membenarkan kalau Anisah yang dikirim oleh teman facebook Kak Ati adalah Anisah yang hilang sejak 10 tahun lalu.
Berharap bantuan
Ketua RAPI Aceh Jaya, Rizal Dinata (JZ01QQ) kepada Serambi memastikan bahwa Anisah yang ‘terdampar’ di Jawa Barat adalah Anisah, warga Teunom yang hilang 10 tahun lalu.
“Anisah memang sudah menikah lagi dengan seorang lelaki Sunda dan telah dianugerahi dua anak. Keluarga ini hidup pas-pasan dari penghasilan suami yang bekerja serabutan. Hampir mustahil bagi mereka mengumpulkan uang untuk kembali ke Aceh,” kata Rizal yang juga Koordinator Tagana Aceh Jaya.
Menurut Rizal, keinginan Anisah untuk bisa kembali ke kampung halamannya semakin tak terbendung, apalagi setelah dia mendapat kabar ayahnya, M Daud (75) masih hidup. Sedangkan ibunya, sudah berpulang jauh sebelum bencana tsunami terjadi. Anisah ingin sekali merawat sang ayah yang semakin renta. “Kami berharap Pemerintah Aceh melalui Dinas Sosial bisa memfasilitasi pemulangan Anisah bersama keluarganya,” kata Rizal Dinata didampingi salah seorang abang sepupu Anisah, Sulaiman (55), warga Cot Trap, Teunom yang sehari-hari bekerja sebagai pemanjat kelapa.
Derita panjang
Berdasarkan komunikasi lebih lanjut dengan Anisah, baik melalui ponsel maupun perantara tetangga via jejaring sosial facebook terungkap derita panjang yang dialami perempuan itu sejak dari awal bencana hingga akhirnya terdampar ke Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, Anisah sedang berbelanja ikan dan sayur mayur di Pasar Kampung Baru, Banda Aceh untuk keperluan warung nasi di Lhoknga, tempat dia bekerja. Tiba-tiba terjadi gempa kuat disusul suasana panik yang luar biasa. Tak lama kemudian tampak orang-orang berlarian tak tentu arah sambil berteriak-teriak air laut naik. Anisah bersama ratusan bahkan ribuan warga lainnya lari ke arah Masjid Raya Baiturrahman yang hanya terpaut sekitar 200 meter dari Pasar Kampung Baru. Namun, belum lagi sempat mencapai masjid, Anisah sudah digulung tsunami. Dia tak ingat apa-apa lagi.
Anisah tersadar ketika sudah berada di sebuah rumah sakit di Jakarta dengan luka-luka di hampir sekujur tubuh, termasuk yang paling parah di kepala. Anisah diboyong ke Jakarta oleh salah satu NGO yang menangani korban tsunami Aceh. Anisah dirawat sampai sembuh.
Setelah sembuh, Anisah difasilitasi oleh seseorang untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun nasib berkata lain. Anisah mendapat perlakuan tidak manusiawi di rumah sang majikan. Dia pun kabur namun tak tahu harus ke mana.
Dalam kondisi yang kehilangan arah itu, Anisah melihat sebuah bus bertuliskan Jakarta-Bandung. Dia nekat saja melompat ke dalam bus tersebut. Di dalam bus dia berbincang dengan seorang penumpang, ibu-ibu yang sedang dalam perjalanan pulang ke Bandung.