Cerpen

Mata di Sudut Jendela

Yang ia lakukan adalah mengintip dari sana, mengintip kepada setiap orang yang lewat di depan rumahnya

Editor: bakri

Karya Maulia Iska Novita

LAGI, pada pagi hari seperti ini dia berdiri dibalik kain penutup jendela rumahnya.

Yang ia lakukan adalah mengintip dari sana, mengintip kepada setiap orang yang lewat di depan rumahnya. Wajah itu tidak pernah terlihat secara utuh, hanya sebelah mata yang menatap keluar dan akan menghilang ketika ada orang lain yang membalas menatap mata itu. Aku pendatang di kampung ini, tidak mengenal siapapun, dan penasaran ingin mengetahui siapa empunya mata yang hanya berani mengintip dari dalam rumahnya sendiri?

Pintu rumah itu tidak pernah terbuka, setidaknya aku tidak pernah melihat pintu rumah itu terbuka. Apa yang ada didalamnya, siapa yang disembunyikan, kenapa dia hanya mengintip dan apa yang membuat keluarga itu tampak aneh dimata pendatang seperti aku?

“Selamat pagi, Bu Guru,” seorang warga menyapaku. Orang ramah itu mengalungkan  kain sarung di lehernya.

“Selamat pagi,” sapaku kembali.

“Mau pergi mengajar Bu?” Aku hanya mengangguk, mengiyakan. Laki-laki itu hanya mengeluarkan kata ‘o’ dari mulutnya dan setelah itu pamit. Aku melihat tangannya menjinjing kantung plastik yang berisikan bungkusan daun pisang.

Saat aku melempar tatapankku kembali kerumah tadi, sudah tidak muncul lagi mata itu disana. Aku memutuskan untuk terus berjalan menuju sekolah tempatku mengajar.

Sekolah tempatku mengajar bukanlah sekolah mewah seperti yang sering aku jumpai dikota-kota besar. Gedung ini bahkan tidak layak digunakan sebagai tempat untuk berteduh apalagi untuk proses ngajar-mengajar. Namun mereka yang sudah terbiasa merasakan keadaan seperti ini sanggup menerima kenyataan bahwa inilah yang mereka punya.Sedangkan aku yang baru satu bulan disini rasanya ingin kembali kekota dan mengajar diruangan yang lebih sejuk karena mesin pendingin. Namun semangat mereka membuat aku malu karena berpikiran demikian.

Saat pelajaran berlangsung pikiranku masih saja tertuju kepada mata yang selalu mengintip setiap kali aku melihat rumah panggung itu. Aku tergelitik untuk menanyakan sesuatu kepada murid-muridku, murid-murid SD kelas IV. Mungkin saja mereka mengetahui sesuatu mengenai penghuni rumah panggung itu. Aku mulai menarik nafas dalam-dalam untuk memastikan bahwa pertanyaan yang akan aku keluarkan dapat dimengerti oleh anak-anak ini. Mungkin saja tingkahku saat ini seperti seorang siswi yang ingin bertanya didepan kelas namun dihantui rasa takut yang sering kali tidak beralasan.

“Anak-anak, boleh ibu guru tanya sesuatu?” Sekarang aku sudah mendapatkan perhatian mereka dan tinggal melanjutkan pertanyaanku. Namun sebelum itu ada yang mengangkat tangan.

“Iya Pandu, ada apa?”

“Kenapa Ibu Dila mau tanya kita. Kan biasa murid yang tanya guru. Nanti kalau kita tidak bisa jawab bagaimana?”

 Aku tersenyum mendengar pertayaan polos Pandu.

“Tidak apa-apa Pandu.Tidak apa kalau tidak tahu jawabannya.”

“Ya sudah, tanyalah Bu Guru.”

“Apakah kalian tahu rumah panggung dekat rumah Bu Guru?Itu rumah siapa dan tahu tidak siapa yang sering mengintip dari balik jendela?”

 Untuk sesaat mereka diam sebelum akhirnya dengan kompak menggeleng dan berkata,”Tidak tahu.”

Ini sedikit aneh.Bagaimana mungkin mereka tidak mengenal tetangga mereka sendiri? Bahkan tidak satupun diantara mereka? Tapi aku tidak bisa memaksa mereka, mungkin saja mereka memang benar-benar tidak tahu atau mereka dilarang untuk memberi tahu. Rasanya aku memilih jawaban yang terakhir, mungkin mereka atau semua orang di sini mengetahui sesuatu namun mendapat larangan menceritakannya.

Siang hari berjalan kaki dibawah payung matahari, tidaklah mudah bagiku yang terbiasa menggunakan kenderaan. Apalagi rasanya matahari siang ini benar-benar panas melebihi hari-hari kemarin. Tidak ada kendaraan umum disini, samua warga berjalan kaki atau sepeda. Kalaupun ingin menggunakan kendaraan umum warga menunggunya dipersimpangan jalan masuk kedesa ini. Karena aku tidak bisa naik sepeda jadi aku memilih berjalan kaki. Selain kakiku sakit aku juga harus menahan sakitnya pipiku setiap kali aku berjalan melewati jalan yang masih penuh dengan batu-batu kerikil, itu semua dikarenakan aku harus terus tersenyum kepada setiap warga yang tidak pernah bosan menyapa dan sebagai balasan mereka mendapatkan senyumanku.

Langkahku semakin mendekati rumah panggung sipemilik mata itu, aku mulai melambatkan langkah kakiku untuk memastikan melihat mata itu lagi. Entah untuk apa aku ingin sekali mengetahui mata siapa itu, tapi yang jelas kehadiran mata dibalik jendela itu membuatku bertanya-tanya. Tidak seorangpun yang berkenan memberi tahu jawabannya. Kalau begitu harus aku sendiri yang mencari tahu jawaban dari pertanyaanku. Seolah-olah memang ditakdirkan untuk menemukan jawabannya, pintu rumah itu terbuka walau tidak selebar seharusnya. Sejenak aku berdiri terpaku diluar gerbang rumah itu, melihat sekelilingku entah untuk memastikan apa.

Dengan menahan nafas, aku membuka pintu gerbang yang terbuat dari bambu. Mungkin seperti inilah tingkah laku seorang pencuri. Tapi aku tidak ingin mencuri apapun, aku hanya ingin mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang sudah beberapa minggu ini mengganggu pikiranku. Apa mungkin saat ini yang aku lakukan adalah pencurian? Sebab masuk tanpa izin sang empunya rumah.

Rasa penasaranku lebih kuat daripada perasaan bersalah ataupun takut. Aku terus melangkahkan kakiku memasuki halaman yang kering tanpa ditumbuhi bunga-bunga, kecuali beberapa pohon pisang. Sebelum menaiki tangga rumah panggung ini terlebih dahulu aku memastikan agar sepatu tapak rataku tidak menghasilkan suara apapun agar tidak ada yang mengetahui kehadiranku. Tindakan yang kulakukan ini jelas aneh, kenapa tidak kucoba bersilaturahmi dengan baik ke rumah ini? Tapi kenyataannya tidak ada orang bertamu kerumah ini semenjak bertahun-tahun yang lalu karena pemililk rumah tidak mau menerima tamu, paling tidak itu yang pernah aku dengar dari masyarakat yang pernah aku tanyai dan hanya sebatas itu mereka menjawab.

Sekarang ini aku sudah memegang pintu bersiap untuk membuka sedikit lebih lebar agar aku bisa masuk.

Aku terkejut saat membuka pintu, dihadapanku yang hanya berjarak 3 kaki berdiri seorang perempuan yang mungkin saja usianya sekitaran 25 tahun. Perempuan ini mengenakan baju daster dan kain sarung. Dia cantik dengan kulit putih pucat.Hanya saja penampilannya seperti orang tua, ditambah dia menyanggul asal-asalan rambutnya.

Aku mulai merasa ketakutan, semua hal-hal buruk melintas dikepalaku dan yang paling membuatku takut adalah pemikiran bahwa mungkin saja orang ini gila. Tapi perempuan ini tersenyum kearahku, senyum yang cukup ramah menurutku.

“Aku sama sepertimu.Hanya saja kau tidak terkurung didalam rumah,” perempuan ini itu berbicara kepadaku.

Tiba-tiba sebuah hardikan dari arah belakang mengagetkanku, “Sedang apa Bu Guru di sini?” suara seorang perempuan tua.

Aku kehilangan kata-kata sekaligus suaraku. Aku tertangkap basah dan rasanya apapun alasan yang akan aku berikan tidak akan dapat diterima.

“Sebaiknya Bu Guru cepat pergi!”

 Aku hanya mengangguk sambil melangkah pergi melewatinya. Pandangan perempuan tua itu tidak lepas dari punggungku bahkanketika aku sudah menutup kembali gerbang bambu miliknya. Saat aku ingin melangkah kejalan aku melihat salah satu muridku, Pandu bersam ibunya berdiri tepat didepanku. Mereka memperhatikan aku seperti seseorang yang melakukan tindakan kriminal.

“Perempuan yang Bu Guru temui namanya Bunga. Dari kecil ia tidak pernah keluar rumah karena ibunya melarang.Bahkan Bunga Berdiri dipintu saja tidak boleh. Dulu, waktu kecil, Bunga sering kabur dari rumah dan ibunya selalu memukulnya setiap kali ia kabur. Jadi Bunga hanya bisa mengintip dari jendela tanpa diketahui oleh ibunya,” Ibu Pandu menatapku dan sepertinya enggan untuk melanjutkan bercerita.

Tanpa membuang waktu, aku mulai bertanya dengan memastikan bahwa ibu Bunga tidak akan mengetahui percakapan kami.

“Kenapa tidak boleh keluar, Bu?” tanyaku hati-hati.

Ibu Pandu diam sejenak, seolah-olah tidak ingin menjawab pertanyaanku. Tapi aku tetap menunggu jawabannya.

“Itu karena,” akhirnya Ibu Pandu buka suara. “Kedua kakak dan satu orang abang Bunga mengalami gangguan jiwa.Tapi Bunga tidak. Namun ibu mereka terlanjur menyamakan Bunga dengan saudaranya yang lain. Karena banyak warga yang tidak bisa menerima keadaan anak-anak dari keluarga itu, membuat ibu mereka menyamaratakan semua warga dan tidak boleh ada tamu masuk kerumahnya.” Aku terkejut mendengar pernyataan itu.

“Sebaiknya Bu Guru tidak perlu terlalu ingin tahu mengenai warga di desa in,” pesan ibu Pandu sebelum akhirnya pergi meninggalkanku yang berdiri seperti patung.

Mata itu, mata seorang wanita yang hilang kebebasannya dikarenakan kondisi saudara-saudaranya, keegoisan ibunya dan ketidakpedulian orang-orang di sekitarnya.Aku berbalik menghadap rumah panggung itu dan melihat mata itu muncul kembali namun aku tersenyum kearah mata itu dan wajah pemilik mata itu seutuhnya terlihat dan membalas senyumku.

* Maulia Iska Novita, tinggal di Blangkrueng Aceh Besar.  Mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas  Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry.

Kunjungi juga :
www.serambinewstv.com | www.menatapaceh.com |
www.serambifm.com | www.prohaba.co |

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved