Serambi MIHRAB
Semangat ilmiah dalam Tradisi Islam
SEMANGAT ilmiah para ilmuwan dan sarjana Muslim pada kenyataannya mengalir dari kesadaran mereka akan ajaran
Oleh Saidi, S.Ag. Guru SMA Leupung dan Dosen di Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha).
SEMANGAT ilmiah para ilmuwan dan sarjana Muslim pada kenyataannya mengalir dari kesadaran mereka akan ajaran tauhid. Tak diragukan bahwa, secara religius dan historis, asal-usul dan perkembangan semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal yang sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber religius semangat ilmiah dalam Islam ini dari pada fakta bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama.
Orang Islam mulai menaruh perhatian pada ilmu-ilmu alam secara serius pada abad ke-3 H/9 M. Tetapi pada saat itu mereka telah memiliki sikap ilmiah dan kerangka berpikir ilmiah, yang mereka warisi dari ilmu-ilmu agama. Semangat untuk mencari kebenaran dan objektivitas, penghormatan pada bukti empiris yang memiliki dasar yang kuat, dan pikiran yang terampil dalam pengklasifikasian merupakan sebagian ciri yang amat luar biasa dari para ilmuwan Muslim awal sebagaimana yang dapat dilihat dengan jelas dalam kajian-kajian mereka tentang jurisprudensi (fiqh) dan hadis Nabi saw.
Kecintaan pada definisi-definisi dan analisis konseptual atau semantik dengan penekanan yang besar pada kejelasan dan ketetapan logis juga sangat nyata dalam pemikiran hukum seorang Muslim maupun dalam ilmu-ilmu yang berkaitan dengan studi atas berbagai aspek Alquran, seperti ilmu tafsir. Dalam Islam, logika tak pernah dianggap berlawanan dengan keyakinan agama. Bahkan para ahli tata bahasa yang pada awalnya menentang diperkenalkannya logika Aristoteles (manthiq) oleh para filosof seperti Al-Farabi, bersifat demikian karena keyakinan bahwa logika-teologis-yuridis seperti Stoics, yang dikenal sebagai adab al-jadal (seni berdebat), sudah memadai untuk memenuhi kebutuhan logika mereka.
Di kalangan para filosof dan ilmuwan Muslim, logika senantiasa dipandang sebagai suatu alat berpikir ilmiah yang tak dapat dikesampingkan. Mereka juga memandang logika sebagai suatu bentuk hikmah (kebijakan), sebentuk pengetahuan yang amat diagungkan oleh Alquran. Dalam menggunakan logika, mereka sangat memperhatikan kejelasan dan konsistensi sebagaimana halnya terhadap kebenaran dan kepastian. Mereka juga menyadari fakta bahwa logika adalah sebuah instrumen bermata dua yang dapat menyajikan kebenaran maupun kekeliruan.
Logika dikembangkan oleh para filosof dan ilmuan Muslim di dalam kerangka kesadaran religius atas yang Transenden. Dalam pandangan mereka, logika, jika digunakan secara tepat oleh sebuah intelek yang tidak diselewengkan oleh nafsu-nafsu rendah, dapat membawa seseorang kepada yang Transenden itu sendiri. Sebuah fungsi nyata logika dalam hubungannya dengan kebenaran agama adalah untuk membantu menjelaskan rasionalitas dan menjelaskan seluruh konsistensi pada hal-hal yang secara lahiriah tampak tidak logis dan kontradiktif.
Beberapa ilmuwan-filosof, sepeti Al-Farabi, menulis karya-karya yang berupaya untuk memperlihatkan bahwa logika Aristotelian mendapatkan dukungan resmi kuat dalam Alquran dan hadis-hadis Nabi saw. Ketika seorang ulama yang termasyhur semacam Al-Ghazali menulis sebuah karya dengan tujuan yang sama, dan dengan penuh keyakinan menganut logika Aristoteles secara bulat-bulat, lenyaplah sudah jejak-jejak penting terakhir bagi perlawanan terhadap logika dari pihak agama. Manthiq di lingkungan Islam menjadi alat yang penting bukan hanya bagi ilmu-ilmu filsafat tetapi juga bagi ilmu-ilmu agama.
Penting untuk diperhatikan bahwa al-burhan, istilah yang digunakan dalam logika Muslim untuk menunjukkan metode ilmiah demonstrasi atau bukti demonstratif, adalah berasal dari salah satu nama Alquran. Menurut Al-Ghazali, istilah Alquran al-mizan, yang biasanya diterjemahkan sebagai timbangan, merujuk antara lain pada logika. Logika adalah timbangan yang dengannya manusia menimbang ide-ide dan pendapat-pendapat untuk sampai pada pertimbangan atau penilaian yang benar.
Luasnya penggunaan logika dalam Islam tidak membawa pada semacam rasionalisme dan logisisme seperti yang kita temukan di Barat modern secara persis, karena penggunaan rasio tidak pernah dilepaskan dari keimanan pada wahyu ilahi. Para sarjana Muslim diilhami oleh kesadaran religius yang kuat akan Yang Transenden. Mereka pada umumnya meneguhkan gagasan superioritas wahyu ilahi atas rasio manusia. Demikian pula halnya, pentingnya pemikiran logis tidak mematikan semangat eksperimentasi di kalangan ilmuwan Muslim.
Tentunya, beberapa umat muslim yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi pasti akan menyadari bahwa betapa pentingnya ilmu tersebut. Sehingga mereka mengapresiasi eksistensi ilmu yang berkembang yang berbentuk karya-karya tertulis maupun semacam seminar-seminar yang diadakan oleh penguasa. Atas dasar itu, mereka juga bisa disebut sebagai salah satu faktor penggerak tradisi ilmiah dalam ruang lingkup Islam.
Masyarakat Islam pada masa itu begitu disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang berbau keilmuan, mulai dari pidato-pidato para ulama sampai debat terbuka antar ulama. Masyarakat di Baghdad misalnya, mereka sangat menggemari acara debat terbuka yang sering dilaksanakan di tempat-tempat umum, debat terbuka tersebut lebih banyak dilakukan oleh para teolog dan filosof. Demikianlah apresiasi dari masyarakat Islam tentang pentingnya ilmu bagi mereka, sehingga lambat laun masyarakat Islam menjadi bangsa yang terdidik dan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi di antara bangsa-bangsa lainnya.
Selain itu, keberpihakan penguasa juga menjadi faktor atas perkembangan ilmu pengetahuan di dalam Islam. Keberpihakan penguasa ini adalah upaya yang dilakukan oleh penguasa dan para orang-orang kaya untuk memberikan perlindungan dan dukungan yang sangat loyal kepada para akademisi muslim untuk melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah. Sehingga mereka tidak segan-segan mengucurkan dana untuk riset mereka, mendirikan suatu lembaga pengajaran ilmu seperti madrasah, perpustakaan dan lainnya. Tentu saja jika ada salah satu dari mereka yang berhasil membuat suatu karya ilmiah, maka para penguasa dan orang-orang kaya akan mengupahinya dengan upah yang sangat mahal, dalam sejarahnya mereka memberikan emas seberat karya yang telah dirumuskan. Sehingga banyak dari masyarakat Islam yang tertarik dengan mengadakan penelitian ilmiah, mulai dari melakukan penelitian medis, hingga memburu manuskrip-manuskrip filsafat Yunani ke Athena untuk diterjemahkan dan dipelajari. Seperti itulah rasa antusiasme yang pada masa itu terjadi, baik dari masyarakatnya maupun para pembesar-pembesar kaya sama-sama begitu haus akan ilmu. Wallahu a’lam. (email: saidi_sulfa@yahoo.co.id)