Cerpen
Perempuan Bersayap
SAYA sendiri. Bulan sendiri. Bintang sendiri. Angin berkesiur sendiri
Karya Farizal Sikumbang
SAYA sendiri. Bulan sendiri. Bintang sendiri. Angin berkesiur sendiri. Pohon mati. Malam sunyi. Saya sunyi. Mereka semua riuh, seperti lebah mempergunjingkan saya. Kadang telinga ini sakit mendengarnya. Mereka kini memang tidak percaya pada saya. Bahkan mereka bilang saya telah gila. Sudah berulangkali saya meyakinkan mereka semua, tapi sungguh, sampai saat ini tidak ada yang percaya. Juga ibu.
Ibu seringkali membelai-belai rambut saya setelah saya ceritakan semuanya. Beliau sedih dan mengkhawatirkan saya. Padahal saya kini tidak lagi bersedih, sungguh, saya telah bertemu dengannya. Seorang perempuan bersayap yang mencintai saya apa adanya. Sudah bertahun-tahun saya mencari cinta, dan kini saya menemukannya. Lalu mengapa ibu tidak bahagia? Apa ibu tidak suka padanya?
Dan ibu tidak akan pernah menjawab bila saya bertanya seperti itu. Ibu hanya diam. Membisu seperti batu tua. Sudah saya bilang pada ibu bahwa saya mencintainya. Hati saya sedang berbunga-bunga. Tidakkah ibu juga turut bahagaia?
Saya bertemu dengannya pada suatu sore. Ketika itu saya sedang duduk di tengah padang ilalang. Seperti biasa, setiap sore saya memang suka mencari dan menangkap kupu-kupu yang berterbangan di tengah padang ilalang. Saya tidak tahu persis sejak kapan saya menyukai kupu-kupu. Yang saya ingat setelah beberapa bulan perempuan kenangan pergi meninggalkan saya.
Saya menyesal mengapa perempuan kenangan pergi. Ia mematahkan hati saya. Ia juga membawa hati saya. Sejak itu saya suka menyendiri. Saya suka sunyi. Saya lebih suka mendengarkan gemercik air di tepi kali. Saya bersedih. Sampai kemudian saya suka kupu-kupu.
Saya tidak tahu dari mana dia datang sore itu. Dia muncul seperti kupu-kupu, dan telah berada di depan saya. Dia kemudian tersenyum kepada saya. Saya terpana. Saya tidak percaya bagaiman bisa tiba-tiba saja ada seseorang perempuan bersama saya di tengah padang ilalang ini. Tubuh saya bergetar.
“Mari menangkap kupu-kupu,” ajaknya. Kemudian dia memegang tangan saya tanpa malu-malu. Dia sepertinya telah mengenal saya cukup lama. Saya mengikuti dia, tapi tangannya tidak mau lepas dari tangan saya. Dia seringkali tertawa kecil melihat saya menangkap kupu-kupu. Saya tiba-tiba saja ikut tertawa. Padahal sudah berbulan-bulan saya tidak pernah tertawa. Ya, semenjak perempuan kenangan meninggalkan saya. Beberapa lama saya sudah akrab dengannya.
Sehabis lelah mengajar kupu-kupu dia mengajak saya duduk di sebuah pohon rindang. Dia bercerita bahwa dia sebenarnya selama ini sering memperhatikan saya. Dia bilang, dia suka pada saya. Ketika saya tanyakan mengapa? Dia tidak menjawab, itu rahasia pribadi katanya.
Dia bertanya juga pada saya, apakah saya juka suka padanya. Dan saya jawab, “Iya”.
“Tapi saya bersayap. Apakah kamu menyukai perempuan bersayap?” tanyanya.
“Saya tidak peduli. Saya ingin kamu terus menemani saya,” saya bilang begitu padanya.
“Apakah kamu bisa melupakan perempuan kenanganmu itu setelah kehadiran saya,” tanyanya.
Saya tidak menjawab langsung pertanyaanya. Saya menutup bibirnya dengan dua jari saya. Saya tidak ingin dia mengungkit tentang perempuan kenangan itu. “Saya tidak lagi memikirkannya. Saya kini hanya memikirkanmu,” kata saya sambil memegang tangannya.
Dia tersenyum. Dia memeluk saya. Saya terbakar. Saya merasa seperti entah berada di dunia mana. Sungguh saya sangat bahagia.
“Datanglah esok sore lagi, saya akan menunggumu di sini,” kata saya lagi.
Dia setuju akan kembali lagi esok sorenya. Dia tersenyum. Saya juga.
Akhirnya dia pergi meningalkan saya. Dia pergi seperti kupu-kupu, terbang melayang di atas padang ilalang dengan sayap putihnya. Saya melambaikan tangan untuknya. Dia pun membalasnya. Saya bahagia. Saya merasa seperti melambung ke langit ke tujuh. Sungguh.
Saya lalu berlari pulang. Langkah kaki saya terasa ringan tanpa beban. Bahkan saya juga merasa seperti kupu-kupu, terbang dari ranting ke ranting lain dan melayang menuju pulang. Saya merasa hidup ini telah berubah setelah berjumpa dengan perempuan bersayap itu. Saya kembali jatuh cinta. Saya bahagia.
Saya lalu menceritakan pada semua orang yang saya temui dalam perjalanan pulang tentang pertemuan saya dengan perempuan bersayap itu. Tapi, hah, tidak ada yang peduli. Semua mengacuhkan saya. Saya terus berlari pulang. Saya harap ibu di rumah akan mempercayai saya.
Tapi, ternyata tidak. Ibu menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya ibu pun tidak mempercayai saya.
Malamnya saya tidak bisa tidur. Perempuan bersayap selalu melayang dalam pikiran saya. Kadang saya tersenyum sendiri mengenang pertemuan sore tadi itu. Saya mulai menyanyi sendiri. Suara saya keraskan. Saya harap perempuan bersayap mendengar lagu rindu yang saya dendangkan. Tapi orang-orang malah melempar kamar saya dengan benda keras. Bunyinya berdentum mengagetkan saya .
Mereka menyuruh saya diam dan tidak bernyanyi lagi. Tapi saya tidak peduli. Saya terus bernyanyi. Kamar saya kembali dilempari. Saya baru berhenti bernyanyi ketika ibu berlutut di kaki saya sambil menangis. Saya tidak mengerti mengapa ibu tidak ingin melihat saya bahagia.
Apakah ibu tidak mencintai saya?
***
Esok sorenya saya kembali merasa seperti kupu-kupu. Saya terbang meninggalkan rumah dan menuju ke sebuah tempat yang di tumbuhi ilalang. Di dalam perjalanan orang-orang semakin riuh mempergunjingkan saya. Tapi saya tidak peduli. Saya hanya peduli pada perempuan bersayap yang kini barangkali telah menunggu saya.
Benar saja. Ternyata dia lebih dulu sampai daripada saya. Bergegas saya berlari ke arahnya. Dia tersenyum melihat kemunculan saya. Dia memeluk saya. Saya memeluk dia.Tiba-tiba saja tubuh kami telah berjatuhan di tengah ilalang yang bergoyang. Kami berdua merasa terbakar. Kami bercinta…
Sore itu kami tidak jadi menangkap kupu-kupu. Setelah bercinta kami duduk-duduk sambil berbicara berbagai ihwal. Sampai pada kesimpulan, dia akhirnya menuntut saya untuk menikahinya.
“Saya bersedia menikahimu,” kata saya tanpa pikir panjang.
“Apa kamu sungguh-sungguh.”
“Saya sungguh-sungguh,”jawab saya.
“Tapi saya akan membawamu ke langit ke tujuh karena di sanalah saya tinggal.”
Sejenak saya menatap langit
“Saya tidak peduli. Saya akan ikut denganmu,” kata saya akhirnya.
Dia memeluk saya. Mendekap saya. Saya kembali terbakar.
Dia lalu kembali pergi meninggalkan saya. Esok sore kami akan bertemu lagi di sini. Dia pergi meninggalkan saya seperti kupu-kupu terbang dari satu ilalang ke ilalang lainya, lalu menghilang dari pandangan.
Saya pun berlari pulang. Langkah kaki saya kembali terasa ringan. Saya juga seperti kupu-kupu, terbang dari satu ranting ke ranting lain. Di dalam perjalanan pulang saya ceritakan pada semua orang, bahwa saya akan segera menikah. Tapi tidak ada yang peduli. Semua orang mencibir. Dan menertawakan saya. Saya merasa berduka.
Di rumah, ibu pun kembali bersedih mendengar penuturan saya. Ibu memeluk saya. Ibu menepuk-nepuk pundak saya. Ibu lalu berlari ke dalam kamar. Ibu mengunci diri. Saya lalu berdiri di depan pintu rumah. Saya kemudian berteriak sekeras-kerasnya. Saya katakan pada semua orang bahwa saya akan segera menikah. Saya harap semua orang tahu. Saya juga berharap perempuan bersayap mendengar suara saya. Biar dia tahu, bahwa saya sangat mencintainya.
***
“Orang gila. Setelah ditinggal pergi Aini, si Jufri menjadi gila.”
“Aku kasihan lihat dia.”
“Kalau aku malah kasihan lihat ibunya. Sudah tua, punya anak gila lagi.”
“Dengar, dia berteriak lagi, benar-benar sudah parah. Kini dia katakan akan menikah. Ah, ada-ada saja dia.”
***
Saya tidak peduli. Saya berteriak lagi. Mereka memaki. Mereka terus memaki. []a
* Farizal Sikumbang, alumnus Bahasa dan Sastra FKIP Unsyiah. Mengajar di SMA 2 Seulimuem