Tetesan Rupiah dari Bisnis Air Keliling

TETES-tetes air memenuhi jeriken yang dijejer rapi di atas becak motor dan mobil pick up. Sebuah bak penampungan air berukuran

Editor: bakri
Pekerja mengisi air bersih ke dalam jeriken di PDAM Kota Banda Aceh Cabang II, Taman Sari, Banda Aceh. 

TETES-tetes air memenuhi jeriken yang dijejer rapi di atas becak motor dan mobil pick up. Sebuah bak penampungan air berukuran besar berdiri di tengah pekarangan PDAM Kota Banda Aceh Cabang II Taman Sari. Menanti tangan-tangan kokoh milik para pedagang air bersih memindahkannya isinya ke jeriken atau fiber. Bergiliran mereka menggunakan seutas selang mengisi penampung miliknya sebelum akhirnya diantar ke alamat konsumen. Selama air di bak penampungan itu bergemericik, selama itulah bisnis jasa air bersih keliling berputar.

Kebutuhan akan air bersih merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar. Konon lagi bagi warga yang berdiam di Banda Aceh yang kerab dilanda krisis air. Untuk mendapatkan satu jeriken air bermuatan 20 liter, pembeli harus merogoh kocek Rp 3.000. Air siap pakai ini bersumber dari Krueng Aceh, Lambaro. Sebelum sampai ke tangan konsumen, sumber air baku itu sudah melalui serangkaian proses untuk memastikan kualitasnya sehingga layak pakai. Meskipun usaha ini sudah menunjukkan geliatnya sejak usai tsunami satu dasawarsa silam, namun bisnis ini masih berdenyut hingga kini. Musim kemarau dan kemacetan suplai air dari PDAM menjadi dalang dari krisis air sekaligus menjadi berkah tersendiri bagi pelaku usaha ini.

“Saya memulai usaha ini sejak tahun 2005. Waktu itu saya masih pakai becak motor dengan enam jeriken, namun sekarang sudah bisa pakai mobil pick up dengan muatan 50 jeriken. Cuma ya itu tadi, kadang untuk biaya ganti ban saja harus mikir ambil darimana uangnya,” tutur Mawardi (33) salah seorang penjual air bersih keliling.

Laki-laki asal Aceh Jaya yang kini bermukim di Gampong Jawa Banda Aceh ini mengaku dirinya tak punya keahlian khusus. Sebelum menjadi penjual air keliling, ia juga bekerja serabutan. Pekerjaan yang digelutinya sekarang hanya memakan waktu 2-3 jam untuk distribusi dan sekitar 30 menit untuk mengalirkan air dari bak penampungan ke jeriken miliknya. Ulee Lheu dan Simpang Surabaya menjadi dua kawasan yang dilaluinya saban hari. Sebuah pekerjaan sederhana namun tak sesederhana kelihatannya. Energi yang dihabiskan setiap harinya untuk memindahkan jeriken-jeriken berisi 20 liter air itu membuat laki-laki yang terbilang masih muda ini didera sakit pinggang.

Menurut hitung-hitungan Mawardi, dalam sehari biasanya 50 jeriken miliknya terisi semua alias terjual habis. Pembelinya adalah para pemilik warung kopi atau warung makan yang dikemudian hari menjadi pelanggan tetapnya. Selain itu ia juga melayani mereka yang membeli untuk kebutuhan rumah tangga. Berkisar antara 3-10 jeriken per orang dengan sistem pembayaran langsung, ia menggunakan pendapatannya itu untuk biaya operasional berupa uang yang wajib disetor kepada PDAM sejumlah Rp 150 per jeriken, bensin, dan perawatan mobil bak terbuka miliknya. Sisanya menjadi laba bersih yang dikantongi Mawardi.

“Dulu waktu tsunami kami mencapai 70 orang, sekarang hanya delapan orang saja yang tersisa. Saya belum terpikir beralih ke pekerjaan lain,” ujar bapak satu anak ini dengan pandangan menerawang.

Naik-turunnya harga BBM mempengaruhi harga jual air bersih keliling. Mulanya ia dan rekan-rekanya memasang harga Rp 2.000 per jeriken, kemudian berangsur-angsur naik ke angka Rp 3.000. Konsekeuensi logis yang membuatnya tetap bertahan. Tiga becak motor bermuatan belasan jeriken, lima pick up berkapasitas 50-an jeriken, ditambah pick up yang menggunakan fiber berkapasitas 2.000 liter air masih setia wara wiri memenuhi kebutuhan air bersih warga kota itu.

Pagi merangkak siang, tatkala Serambi Selasa (21/4) berbincang-bincang dengan Mawardi dan para pedagang air keliling lainnya. Adakalanya satu dua para pelaku usaha itu absen karena satu dan lain hal. Sementara di sebuah sudut di pekarangan perusahaan air daerah itu, Muchsin (50) petugas PDAM yang ditunjuk dengan tekun mencatat jumlah jeriken yang sudah terisi. Ia lantas menerima uang sesuai dengan jumlah jeriken. Jeriken-jeriken yang sudah terisi air itu lantas menggelinding ke tempat tujuan untuk kemudian berpindah tangan. Sejumlah uang dalam nilai yang lebih besar menjadi harga bagi jerih para pelaku usaha sektor jasa itu.

Hidup memang tak mudah, namun mengeluh hanya akan membuat segala sesuatunya terasa lebih berat. Selama air masih menjadi sumber kehidupan, selama itulah pintu rezeki bagi Mawardi dan sesama pedagang air keliling terbuka. Meskipun kehadirannya tak seperti air bah, namun kran uang pada sektor jasa itu masih berputar. (nurul hayati)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved