Cerpen
Kunang-Kunang yang Menari pada Sepotong Senja
TAK ada kunang-kunang senja ini, Ree. Tak seperti biasanya, rinai hujan turun membasahi padang, tempat binatang
Karya Hendra Kasmi
TAK ada kunang-kunang senja ini, Ree. Tak seperti biasanya, rinai hujan turun membasahi padang, tempat binatang bercahaya itu berpesta dikala senja. Dangau di tengah sawah ini, tempat kita menanti mentari tenggelam dalam gegaris jingga juga kian sunyi sejak kau pergi. Bahkan sudah sangat reot untuk ditempati. Dindingnya lapuk. Hampir semua bagian di dalamnya kuyup karena tempias. Atap yang terbuat dari daun rumbia bocor. Air merembes melalui dinding, membasahi lantai papan. Tak ada apa-apa di sini. Hanya kertas lembab yang kutemukan di tanah. Sebuah kertas bergambar penuh bercak merah, bercak darah yang sudah mengering.
***
“Kapan kau menikah lagi?” gelagar suara ibu membuyarkan lamunanku pada malam gerimis ini. Mulutnya penuh sirih. Aku menghela nafas. Kuseruput sisa kopi tubruk. Ibu kembali menghujam cela, “Apalagi yang kau tunggu. Hanya karena anak itu kau tak ingin lagi berumah tangga.”
“Kan sudah kukatakan Bu. Hanya menunggu waktu!”
“Menunggu waktu, waktu kapan! Apakah kau harus menunggu aku masuk liang kubur menyusul ayahmu. Supaya aku tak bisa lagi melihat kehadiran seorang cucu?”
Cucu? Jadi Ree selama ini beliau anggap apa. Hanya sebagai bahan cacian beliau sepanjang hari. Ah, ibu memang selalu begitu. Seolah Ree adalah seonggok aib di rumah ini. Ibu sudah menunjukkan nada kebenciannya pada Reesejak ia seumur jagung. Saat ia sudah berumur 10 tahun, kebencian ibu bertambah tatkala kerjaan Ree hanya membuat seluruh bagian rumah ini bak kapal pecah. Bintik-bintik warna bertabur hampir di setiap bagian dinding. Kertas gambar berserakan. Kertas-kertas penuh coretan tak karuan. Sudah berulang kali ibu membuang alat-alat itu. Hari berikutnya sudah ada lagi. Aku sengaja membelinya diam-diam. Ya, bagiku itu alat bagi Ree, alat untuk mengungkapkan perasaannya yang terpendam. Melalui coretan-coretan tak karuan itu aku bisa mengetahui keluhannya tentang hidup, tentang dirinya, tentang aku, tentang ibu, juga Nisa, mendiang istriku.
“Bukannya ibu tak suka pada Ree. Tapi jangan sampai gara-gara ia, kau tak mau menikah lagi. Ibu juga ingin menimang cucu yang lain. Selain kamu, siapa lagi yang bisadiharapkan. Kau kan anak ibu satu-satunya.” Kulihat mata ibu berkaca-kaca. Aku segera berpaling. Kuyakin hatinya masih sekeras baja untuk mengakui Ree sebagai seorang cucu. Tak akan pernah. Seumur hidup entah tiga atau empat kali seingatku beliau mau menggendong anak itu. Bahkan pernah suatu ketika beliau mengatakan pada seorang tetangga bahwa Ree bukanlah cucunya. Siapa yang tak perih batinnya saat orang tua tak pernah mengakui anak kita sebagai cucu.
***
Senja hampir saja turun. Kudapati Ree di pintu dangau. Matanya menerawang jauh ke padang rerimbunan. Sesungging senyum menghiasi bibirnya saat menatap kemilau yang bertebaran di kaki bukit. Ya, ia bahagia sekali saat menatap kunang-kunang. Kian gelap kawasan rerimbun meranti di kaki bukit kian benderang cahaya yang muncul dari tubuh serangga mungil itu.Ree tak melewatkan momen berharga ini, ia membuka lembaran kertas gambar lalu mulai menorehkan bintik-bintik pada selembar kertas. Ia menggambar kunang-kunang.
Pesta kunang-kunang akan berakhir tatkala malam telah sempurna turun. Aku mendekati Ree lalu memeluk tubuh mungil itu. “Sebentar lagi kau akan punya ibu baru. Kuharap kau bisa mendapatkan kasih sayang seorang ibu lagi. “Dia lalu mengangkat wajahnya. “Kau pasti akan sangat bahagia Ree. Apalagi akan mendapatkan adik. Bukankah kau merindukan kawan bermain. “Kali ini ia memandangku. Tatapan matanya kosong. Aku membalasnya dengan sesungging senyum. Kulihat wajahnya terlalu polos untuk memahami arti sebuah senyuman.
“Ree, kupikir kau tak perlu lagi melepas kerinduan pada sepotong senja. Ibu sekarang bukan lagi kunang-kunang Ree. Ibumu telah menjelma menjadi kembali menjadi sosok yang utuh.” Aku menatap wajah anak itu. Walau diterpa cahaya rembulan, bisa kulihat air muka Ree, mendung bulan Desember. Tak lama kemudian, embun di matanya pecah, menodai pipi. Lalu dengan sigap ia menyeka air mata itu. Ia menunduk. Wajahnya bertumpu di atas lutut. Tubuhnya bergetar diikuti derai tangis. Aku memeluknya lagi semakin erat.
“Kenapa kau menangis Ree. Apakah kau tak senang memiliki ibu baru.” Ree tak menyahut. Ia larut dalam isak tangisnya. “Tak usah bersedih Ree. Ibu baru sangat baik. Semoga ia bisa membujuk nenek agar menerima kau kembali sebagai seorang cucu.”Tak terasa kedua pipiku menjadi hangat. Perlahan-lahan embun di mata tak sanggup kubendung hingga kubiarkan saja tumpah membasahi rambutnya. Aku betul-betul larut dalam keharuan ini.
***
Akhirnya aku menyunting Fadila, anak Haji Samir, seorang juragan karet. Sudah dua tahun ia menjanda. Suaminya mati karena kolera. Atas perantara Bang Man, comblang tersohor di kampung ini, akhirnya janda itu menerima pinanganku. Tibalah saatnya perayaan pesta pernikahan, meriah sekali. Rembulan bersinar cerah. Terlihat orang-orang mengerumuni panggung hiburan. Di beranda, terlihat ibu asyik menyalami tamu undangan yang terus berdatangan bagai air bah. Tak lama mereka membentuk deretan panjang, mengantri seperti itik untuk bersalaman dengan kami.
Dalam keadaan seperti ini aku jadi teringat pada Ree. Tak kudapati sosok itu sejak sore tadi. Aku memang agak sibuk sehingga tak ada waktu untuk menjaganya. Seorang pemuda mengatakan bahwa dia melihat seorang anak berlari ke arah lorong kecil belakang rumah. Ah, ia pasti ia berada di tempat itu lagi.Aku berjalan ke arah lorong kecil, menerobos lautan ilalang sepanjang jalan menuju ke persawahan. Di kejauhan terlihat atap dangau bermandikan cahaya keperakan. Sesampai di gubuk keadaan sangat senyap. Hanya suara jengkrik terdengar sayup-sayup. Napasku terengah-engah. Jantungku berdetak kencang. Bulu-bulu kulit meregang. Peluh melumuri sekujur tubuh.
“Ree, Ree dimana kamu! Ini Ayah Nak,” aku mendobrak pintu. Tak terdengar orang di dalam. Hanya warna pekat yang tampak menghiasi dangau.”Ree jangan membuat Ayah panik. Cepat keluar!” suaraku serak. Kuraba semua bagian papan sampaike sudut dinding. Siapa tahu anak itu tergelatak di sana. Tapi tak kutemui sehelai benang pun. Kuturuni tangga dengan langkah gontai. Cieet! Tanpa sengaja aku menginjak sebuah benda karet saat berada di bawah tangga. Ini pasti sandal jepit milik Ree.Kuraba permukaan tanah hingga menyentuh paha mungil. Ya, aku menemukan sesosok manusia yang terbujur kaku dalam pekat. Sekujur tubuh yang dingin. Ree, semoga kau masih hidup.
***
Ree tergelatak di ranjang rumah sakit. Jarum infus masih menancap di pergelangan tangannya. Dokter juga baru saja mengganti perban di kepalanya. Kepala Ree mengalami pendarahan serius karena terbentur dengan batu semalam. Aku membelai rambut Ree lalu mencium keningnya. Matanya masih terpejam. Wajah itu kian mirip dengan mendiang Nisa. Bedanya wajah Nisa berbentuk oval, sedangkan wajah Ree bulat bulan purnama.
Oya, semalam aku bermimpi tentang Nisa. Dalam mimpi itu, aku, Nisa, dan Ree pergi bertamasya ke pantai. Kami bercanda riang dengan ombak setelah bosan membangun rumah-rumah pasir. Seketika datanglah ombak besar, tubuh Nisa hilang dalam ombak tersebut. Beberapa detik kemudian ombak susulan yang lebih besar dari ombak pertama kembali menerjang.Menggulung tubuh mungil Ree.”Ree, tidaaak!” Aku memekik histeris.Pintu kamar dibuka. Ibu dan Fadila masuk. Sang istri memegang kedua pipiku. “Ada apa?”
“Tidak apa-apa. Hanya teringat mimpi buruk semalam”
“Ooo, apa kata dokter tadi tentang Ree?”
“Ree mengalami pendarahan hebatdi kepala usai terjatuh dari dangau. Butuh proses yang lama untuk membuat ia pulih”Fadila menatapku dengan lesu.Sementara Ibu mendekati ranjang.
“Cepat sembuh ya Ree!” ibu mengucapkan kata itu dengan suara parau. Tak seperti biasa, ia selembut ini pada Ree.Aku tak tahu apakah beliau tulus mengucapkan atau hanya pura-pura. Dokter kemudian masuk diiringi oleh dua perawat.
Aku hampir saja tertidur saat sepotong suara itu terdengar. Seorang perawat mengabarkan bahwa kondisi Re sedang kritis. Aku segera berlari ke kamar tempat ia dirawat.”Bagaimana Dok kondisinya?” Mulutku bergetar.Dokter menggelengkan kepalanya. “Kami sudah berusaha dengan sebaik mungkin, tapi...” Dokter menepuk pundakku. “Allah berkehendak lain. Kuharap Bapak tabah menerima kenyataan ini!”
“Ree!” Aku bergumam. Seolah masih tak percaya jika ia pergi secepat ini. Beberapa petugas terlihat mendorong ranjang roda yang berisi jasadnya. Aku hanya terpana menatap sekujur jasad kaku yang tertutup kain itu. Tak terasa embun dimataku tumpah. Untuk kesekian kalinya aku menangis untuk Ree.
***
Dengan dada sesak kubuka lembaran kertas lembab penuh bercak merah. Sebuah kertas berisi gambar dua orang perempuan berkacak pinggang sedang menunjuk ke arah seorang anak kecil. Ah, Ree, kutahu perih batinmu walau tak pernah kau ungkapkan dengan lisan. Kau ceritakan gelisah hatimu tentang pestaku, kau tumpahkan keluh itu melalui coretan gambar saat kunang-kunang menari pada sepotong senja. Ree, kutahu kau sama sekali tak berbahagia dengan pernikahanku.
Maafkan aku Ree, ternyata aku keliru. Kukira Fadila bisa mengobati kerinduanmu akan kasih sayang seorang ibu, tapi malah membuatmu semakin resah.Ah Ree, andai kutahu isi hatimu, andai kutahu kau lebih memilih menyusul Nisa,tentu aku tidak akan menikah. Aku lebih berbahagia bersama kalian. Kau dan Nisa adalah permata yang tak pernah tergantikan sepanjang masa.Aku akan terus merindui kalian di sini, di tempat ini. Senja hampir berakhir dan hujan juga sudah reda. Terlihat dua bintik cahaya menari di padang rerimbunan. Sinarnya benderang sekali. Ree, itu pasti kau bersama ibumu.
* Hendra Kasmi, mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia PPs Unsyiah. Pengajar di STKIP Bina Bangsa Getsempena