KUPI BEUNGOH
Andakah Lelaki Menyebalkan Itu?
Tapi bagaimana mungkin saya bisa berdialog lagi dengan pelayan toko untuk bertransaksi, padahal saya di bawah "rong-rongan" kepulan asap rokok.
KEMARIN saya datang ke sebuah toko emas, di suatu lokasi, di Banda Aceh. Saat saya memasuki toko itu, ada lima perempuan yang sedang mengamat-amati berbagai perhiasan wanita.
Orang yang berdiri paling ujung adalah seorang lelaki dengan estetika raga atletis dan berkumis tebal pula. Entahlah, apa dia orang kaya atau bukan, apa dia orang berpendidikan atau bukan.
Yang jelas, dengan nikmatnya laki-laki itu menyedot rokoknya plus kepulan asap layaknya orang merokok. Terbawa pergerakan udara, asap dengan bebasnya pula memapar wajah-wajah pembeli lain.
Terus terang, begitu masuk toko saya sudah terganggu dengan asap rokok lelaki itu. Saya sempat memberi isyarat dengan menepis-nepis asapnya dengan tangan saya, dan kebetulan pelayan toko melihat gelagat saya. Dia hanya tersenyum tipis (mungkin tidak berani melarang perokok tadi).
Saya sempat berdamai dengan diri sendiri, toh rokoknya sudah pendek, dua tiga kali isap lagi pasti "malapetaka" asap sudah selesai. Ya apa salahnya saya bersabar sedikitlah? Eh benar, sang lelaki yang berbicara dengan suara besar itu, sedang menjentikkan puntung rokoknya ke pintu toko. Alhamdulillah (dalam hati saya).
Di antara ketidaknikmatan saya mengamat-ngamati cincin yang harus dipilih, saya kok masih terganggu dengan asap rokok? Ketika saya menoleh lagi ke lelaki tadi, astargfirullah!, ternyata dia tengah menyulut rokok baru.
"Lha kok sambung menyambung?" sergah saya dalam suara hampir tak terdengar dan muka merengut. Tapi entah apa lelaki itu mendengar atau tidak, yang jelas kami bertemu pandang. Saya langsung memberi isyarat, tentang asapnya yang mengganggu saya.
Tahukah Anda? Pak kumis itu bergeming saja. Malah dia menyedot lagi rokoknya. Tanpa ba bi bu, saya langsung meninggalkan toko emas itu, padahal sebenarnya sudah ketemu cincin bermata yang saya cari.
Tapi bagaimana mungkin saya bisa berdialog lagi dengan pelayan toko untuk bertransaksi, padahal saya di bawah "rong-rongan" kepulan asap rokok.
Kesokan harinya, saya datang ke sebuah restoran cepat saji. Waktu memarkir sepeda motor, saya disambut ramah oleh petugas parkir, yang pakaiannya basah oleh peluhnya.
Maklum cuaca di parkiran tanpa atap itu teriknya sampai mengerjitkan mata dan memedihkan kulit, yang wajar kalau oleh pasal kecil saja kita bisa spaning bukan main.
Lagi-lagi tahukah Anda? Ada satu keharuan yang turun ke batin saya ketika kembali ke parkiran waktu pulang.
"Mari buk kuncinya. Ke arah mana ibuk pulang? Aduh maaf saya merokok ini," kata juru parkir dengan sopan, ada senyum, dan tidak bersuara keras.
Waduh, kali ini saya langsung terbayang lagi wajah lelaki yang mengesalkan saya di toko emas, kemarin. Kalau lelaki itu kebetulan orang kaya, saya berkesimpulan dia memang kaya tapi tak berpendidikan, hingga tak tahu sopan santun merokok dan bayaha asap rokoknya bagi orang lain.
Kalau dia hanya lelaki yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, berarti dia kurang pergaulan.
Masak sih sampai tak tahu bahwa asap rokoh itu mengganggu orang lain? Atau setidak-tidaknya tak etis dong merokok di tempat seperti di toko emas, yang pelanggannya dominan kaum wanita. Cape dech.
(nani hs)