Cerpen
Lorong Jontor
LORONG Jontor adalah tempat yang paling indah untuk menikmati hidup tanpa hukum dan campur tangan Tuhan
Cerpen | Nanda Winar Sagita
LORONG Jontor adalah tempat yang paling indah untuk menikmati hidup tanpa hukum dan campur tangan Tuhan. Layaknya mengucapkan kata-kata kotor yang tidak pantas untuk ditulis di kamus, siapa saja yang ingin menyebut lokasi tabu itu setidaknya harus berbisik.
Semua karena pengaruh yang ditebarkan oleh Syekh Abu, seorang tengku kharismatik yang sudah tujuh kali naik haji. Beliau memiliki segala hal yang disebut dengan tipe manusia bijaksana. Mulai dari jenggotnya yang mirip Socrates hingga gaya bicaranya yang tenang seperti Gandhi, membuat para fanatikus menyamakan kedudukannya dengan karakter suci dalam hikayat lama. Semua orang akan menundukkan kepala tatkala beliau lewat.
Jauh di tepi kampung Lamento, sebuah dayah asuhannya berdiri megah dengan jumlah santri yang mengagumkan. Orang yang masih percaya pada surga, berbondong-bondong untuk belajar ke sana seolah-olah itu adalah cara paling ampuh untuk menjadi orang baik.
Lorong Jontor adalah pusat dari segala bentuk kejahanaman. Syekh Abu amat murka pada setiap orang yang pernah singgah di sana. Bahkan beliau telah merajam anak kandungnya sendiri hingga tewas, karena tertangkap basah sedang bercumbu di wilayah terlarang itu dengan seorang perempuan yang masih punya suami. Banyak yang berkeyakinan bahwa tindakan yang tegas itu adalah titisan murni dari marwah Sultan Iskandar Muda yang hidup berabad-abad lalu.
Karena sikap radikalnya yang tidak kenal kompromi, Syekh Abu harus menerima nasib yang memilukan dengan mendekam di penjara dalam waktu yang sangat lama. Beliau memang belum pernah datang ke lorong Jontor, bahkan untuk mendekati pun tidak. Alasannya tentu saja sangat masuk akal dan berdalil.
“Nabi Muhammad saja menutup mata ketika melintasi lembah Hijr. Jadi, kenapa kita harus mendatangi tempat yang jauh lebih terkutuk seperti lorong Jontor,” katanya.
***
Hari menjelang siang. Upacara perajaman dilaksanakan di halaman depan masjid. Semua orang berdesak-desakan ingin menyaksikan. Bukan hanya dari kampung Lamento, warga dari kampung lain juga turut hadir. Namun semua anggota keluarganya memilih untuk diam di rumah. Sebagai acara pembuka, Syekh Abu memberikan semacam wejangan pada warga. Dengan mengutip beberapa ayat agung dari kitab suci, beliau meyakinkan semua orang bahwa peristiwa yang sedang mereka saksikan adalah upaya murni untuk menegakkan kebenaran. Beberapa santri sudah dipilih menjadi algojo yang siap untuk mengeksekusi. Lantas yang terjadi selanjutnya terlalu sadis untuk dibayangkan karena setelah anaknya mati, tragedi yang sebenarnya baru saja dimulai.
Meskipun kampung Lamento tersingkir dari pergaulan dunia, gosip sangat berjasa dalam menyebarkan berita sehingga hampir semua orang tahu bahwa di salah satu titik negeri ini pelanggaran HAM baru saja terjadi. Puluhan polisi langsung diterjunkan ke tempat terpencil itu untuk menangkap Syekh Abu. Tidak sulit mencari beliau, sebab para penduduk dengan suka rela memberitahu jalan menuju dayah tempat tinggalnya. Salah seorang polisi menginterogasinya dengan sikap santun yang dibuat-buat.
“Kami datang untuk menjemput Anda, Pak,” kata polisi itu.
“Apakah kalian yakin telah melakukan tindakan yang benar?” tanya Syekh Abu.
“Kami bekerja sesuai dengan undang-undang, Pak,” jawab polisi itu.
“Saya tidak percaya pada konstitusi buatan manusia,” tukas Syekh Abu.
Karena sikap keras kepalanya yang sulit untuk ditaklukkan, akhirnya beliau diseret dengan paksa. Para santri telah siaga dengan potongan kayu dan bongkahan batu untuk menyerang para polisi yang memakai senjata api. Seperti kedatangan ilham, sekonyong-konyong Syekh Abu menyerahkan diri untuk meredam kericuhan yang akan terjadi dengan satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah.