Breaking News

Cerpen

Peracik Kopi dari Tepi Bukit

BERJUMPA dengan orang ini, tidak terperkirakan sama sekali. Ketika ingin melihat gotong royong massal

Editor: bakri

Karya Sulaiman Tripa

BERJUMPA dengan orang ini, tidak terperkirakan sama sekali. Ketika ingin melihat gotong royong massal. Penggagasnya ingin dicatat gotong royong massal itu dalam kategori peserta terbanyak. Dan itu tercatat dalam Musim Rekor. Pasalnya, sekarang lagi musim rekor. Apa saja dijadikan rekor. Makanya tak salah bila disebut Musim Rekor. Ketika saya ke sana, berita sedang berkibar tentang tukang sayur yang masuk Musim Rekor. Mereka memperagakan cara memotong sayur terbanyak. Dua hari sebelumnya, ada tukang sapu terbanyak. Dua hari sebelum itu, tukang cari batu kerikil terbanyak. Pokoknya serba terbanyak. Hal apa saja tidak masalah.

Mungkin karena itu, penggagas gotong royong massal juga tergoda ingin mendapatkan sertifikat Musim Rekor. Tak tanggung-tanggung, mereka mengundang banyak orang. Deretan kursi berjumbai dipersiapkan khusus. Dengan kursi warna-warni, yang sudah diberi nomor. Di tengah berwarna merah, dengan satu kursi tahta bergambar kuda, persis di depan meja panjang. Sisi kiri ada kursi warna biru tua dan biru muda. Sebelah kanan, ada kursi berwarna hijau dan putih dengan garis merah.

“Min, itu penggagasnya,” Blau menunjuk ke arah orang berkulit hitam, berhidung mancung, memakai topi bergambar moncong kuda. “Namanya Kari,” sambungnya, sebelum saya berkomentar apa-apa.

Blau ini teman saya waktu sekolah dulu. Ia tetap memanggil saya dengan Kari saja, walau di depan orang lain. Orang-orang pada menoleh. Ah. Biarlah, pikir saya, mungkin suatu saat berubah. Saat ngopi di Simpang Enam, tak sengaja ia melihat saya sedang duduk dengan Kepala Pejabat. Langsung saja ia mendekat dan duduk sambil memesan kopi. Waktu itu, Kepala Pejabat melihat saya, lama. Saya terdiam. Tetapi syukur, ia rupanya tidak lama. Begitu pelayan membawa kopi, dipegangnya gelas, lalu dituang ke dalam piring, ditiup-tiup sebentar, lalu diseruputnya begitu saja. Sisa kopi di mulutnya, disapu dengan perut tangannya.

“Min, besok ada gotong royong massal, kau datang ya!” Blau langsung pergi, tanpa meminta kopinya dibayarkan. Dasar. “Bapak Baramin...” Kepala Pejabat, mungkin sedang berupaya mencari kata yang pas. “Blau itu teman saya waktu sekolah dulu Pak,” jawab, saya, menebak-nebak apa yang ingin ditanyakan Kepala Pejabat.

“Bukan itu,” sela Kepala Pejabat. “Dia bukan preman Pak,” sanggah saya lagi, masih menebak-nebak. “Bukan itu,” sela Kepala Pejabat lagi, ia memang kepalanya. Ia diam, rasanya tidak ingin menyambung kata-katanya. Saya tidak bisa meraba seperti apa ia ingin menakar perasaan lawan bicaranya. Beberapa saat, saya pun diam. Sebelum akhirnya, kami berbicara perihal urusan sekolah yang terpotong.

“Coba Bapak Baramin pikirkan, bagaimana pun caranya,” kata Kepala Pejabat. Setelah itu, kami berpisah. Blau seperti jadi penunjuk arah yang datang di saat posisi saya genting. Tidak membuang waktu, saya mempersiapkan diri datang ke Kampung Tujuh. Di sana, saya ingin mencatat secara tepat bagaimana mereka mempersiapkan diri untuk masuk Musim Rekor. Malam itu, saya tidur cepat. Dua telepon genggam saya pakai alarm tingkat satu. Tak cukup dengan itu, saya pesan pula pada istri untuk membangunkan lebih cepat, seandainya alarm tidak jitu.

Dengan nada tingkat satu itu, membuat saya cepat terkejut. Bangun dan terus mempersiapkan diri. Sebelum pukul tujuh, mengambil motor melaju ke Kampung Tujuh.

Ketika sampai di sana, baru ada empat pekerja yang sedang memasang tenda dan menyusun kursi. Blau membawa kepada saya satu gelas air mineral yang diambil dari tumpuk kardus. Orang melihatnya dan baru memalingkan wajah ketika air mineral itu dikasih ke saya. “Kita duduk saja di sini,” Blau menunjuk barisan kursi paling kiri. Namun secepatnya, seorang petugas melarang. “Kursi ini untuk orang Partai Moncong,” katanya. “Ada undangan?” tanya pekerja.

Saya menarik tangan Blau. “Di belakang saja,” kata saya. Kami pun duduk di belakang deretan kursi. Saya mengambil satu kardus bekas air mineral, dan menaruh di tanah, kemudian kami duduk di atasnya. Saya memandang semak yang bertumpuk di depan tenda yang di bawahnya berjejer kursi warna-warni. Di sampingnya juga ada sebaran sampah plastik. Di sebelahnya, ada saluran air.

Setelah hampir satu jam menunggu, tamu mulai berdatangan. Mereka duduk di kursi bernomor yang sesuai dengan nomor pada undangan yang terlihat mencolok. Sesekali ada suara mikrofon yang mempersilakan orang yang tidak memiliki undangan untuk tidak mendekati tenda.

“Mari kita sukseskan Musim Rekor untuk gotong royong ini,” kata pemegang mikrofon. Tidak lama setelah itu, saat kursi hampir semua terisi, dua orang terlihat datang dengan diapit oleh delapan pendamping yang berkepala botak. Tamu di kursi terlihat bangun dan bertepuk tangan. Dua tangan dua orang yang datang melambai-lambai ke arah tamu. Lalu mereka dipersilakan duduk tepat di tengah.

Pemegang mikrofon lalu memanggil orang-orang yang memakai kaus bertuliskan gotong royong menuju Musim Rekor. Mereka masuk dari sisi kiri dan kanan, masing-masing memakai sarung tangan, berkaca mata hitam, dan langsung mengangkat semak di depan tenda. Di sisi kanan belakang ada truk mini. Semak dimasukkan ke sana.

“Mari kita bertepuk tangan, semak sudah berhasil diangkat, dan kita berharap, tidak lain dan tidak bukan, agar gotong royong ini tercatat dalam Musim Rekor,” tamu bertepuk tangan. Suasana riuh.

Seseorang berjalan ke arah tenda. “Min, itu orangnya!” Blau, menunjuk ke arah Kari.

Sebelum datang, saya tanya ke Blau ide Musim Rekor. Blau menceritakan dengan semangat. Menurutnya, ia tidak mau apa-apa, yang penting Kampung Enam terkenal. Ia juga mengeluarkan modal untuk mendatangkan Pencatat Musim Rekor dari Kota Tiga. Sekalian menyediakan penginapan kelas dua. Tidak ada penginapan kelas satu di dekat kampung ini.

“Sebenarnya ia peracik kopi,” kata Blau.

“Peracik kopi?” tanya saya.

“Ya, si Kari itu ada kedai tempat racik kopi,” jawab Blau. “Tadi sebelum belok ke simpang, kan ada bukit kecil, di dekat pohon asam itu kan ada bangunan berbentuk panggung!” saya mengangguk, “nah itu kedai si Kari.”

“Tapi tak ada asap?”

“Bukan kedai kopi, tapi kedai racik kopi,” Blau memastikan, agak bersuara keras, sampai-sampai beberapa tamu di bawah tenda melihat kami yang duduk di belakang.

“Mana ada asap kedai racik kopi. Yang ada asap kalau kedai kopi,” katanya.

Saya mengangguk. Saya meninggalkan begitu saja Blau dan melangkah ke depan tenda. Tetapi pengapit mencegah saya berjalan lebih dekat.

“Apa boleh saya berjumpa dengan Pak Kari?” tanya saya pada pengapit.

“Tidak bisa,” mata pengapit melotot saya, tajam. “Minggir!” perintah mereka.

Saya menunggu lama untuk berjumpa dengan peracik kopi. Di tengah kesibukan itu, saya pegang tangan peracik kopi ketika ia mau buang air kecil.

“Saya sangat takjub dengan racik kopi Bang Kari,” ia memandang saya segera, “saya ingin bantuan Bang Kari,” sambung saya lagi. Ia dekatkan mulutnya ke kuping saya, “jangan ribut-ribut,” bisiknya. Dikasihnya selembar. Saya berbalik badan ketika Pencatat Musim Rekor waktu itu maju ke depan. Saya menuju motor, dan tak terasa Blau ikut dari belakang. “Kari itu pandai meracik kopi. Kita tinggal minta. Tinggal kasih resep. Kita bilang saja mau seperti apa,” kata Blau. Ia tidak melihat selembar yang saya masukkan ke ujung dompet.

Saya hidupkan motor. Saya tidak menoleh lagi ke Blau. Saya mempercepat laju agar bisa segera sampai ke rumah Kepala Pejabat. “Meracik kopi,” pikir saya, sepanjang perjalanan. Di depan rumah, Kepala Pejabat sedang menyeruput kopi racikan Kampung Enam. Begitu saya sampai, diminta istrinya menaruh kopi satu gelas lagi. “Kita bisa Pak,” kata saya, mengawali pembicaraan. Kepala Pejabat menyeruput lagi kopinya. “Kita bisa mencatat Musim Rekor,” kata saya lagi. Kepala Pejabat memanggil lagi istrinya, dan meminta ditambah kopi. “Pak, tadi saya pikir-pikir, rasanya semua kegiatan sudah dicatat di Musim Rekor pak.”

Kepala Pejabat tampak sedikit menatap saya. “Bagaimana bisa?” tanyanya.”Tadi saya sempat melihat daftar Musim Rekor, pak. Tiap hari mereka kasih Musim Rekor.”

“Lalu kita bagaimana? Apa masih bisa dapat Musim Rekor?”

“Bisa pak,” jawab saya, mantap. “Rekor apa?” tanya Kepala Pejabat. “Rekor rapat wali murid pak. Selasa depan kita undang wali murid, kita buat rapat setiap jamnya pak. Kita undang Pencatat Musim Rekor.”

“Setiap jam?”

“Ya pak. Setiap jam Bapak buka rapat. Bapak tinggal ucap salam, lalu bapak ajak wali murid, mari kita sambut Musim Rekor.” Kepala Pejabat manggut-manggut. Dia menyeruput kopi lagi. Gelas kopi ditindih di atas muka surat kabar dengan tulisan warna merah setengah halaman: Sedang Gila Musim Rekor.

* Sulaiman Tripa, lahir di Panteraja, 2 April. Aktif menulis di surat kabar, jurnal, dan web. Sesekali menulis cerita dan syair.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved