Breaking News

Cerpen

Apamuh, Si Peniup Tukut

CUACA cukup bersahabat. Angin bergeming. Bintang-gemintang bertaburan di langit Payani

Editor: bakri

Karya Iswandi Usman

CUACA cukup bersahabat. Angin bergeming. Bintang-gemintang bertaburan di langit Payani. Kilat menyembunyikan kelebat cahayanya dibalik mega-mega yang tipis terjela. Ini pertanda: burung-burung payau banyak yang berkeliaran, beterbangan di udara, kemudian terjerat malam bulan tiga puluh. Gelap malam seakan membakar gairah para peniup tukut menyihir burung-burung payau yang terbang di kelam malam.

Apamuh beserta tiga orang temannya segera mempersiapkan jaring di atas tanggul rel kereta api yang baru saja siap dibangun di tengah persawahan Payani. Tukut meunom, beruak dan sanie siap untuk ditiup. Mereka memainkan peranan masing-masing. Apamuh sebagai pawang, meniupkan tukut meunom. Yuh meniupkan tukut beruak. Mat Amin meniupkan tukut sanie. Sedangkan Ceklah ditugaskan sebagai penjaga jaring. Mereka berempat duduk bersila menghadap ke jaring perangkap.

“Piep. Piep. Piep. Piepep…,” suara tukut yang ditiup oleh Mat Amin menyerupai suara burung sanie, burung kecil berwarna kecokelatan. Piep, seekor sanie mulai menyahutinya di angkasa. Mat Amin mempercepat tiupannya. Dengan irama yang menyerupai tautan burung yang sedang terbang. Merasa ditantang dengan suara tukut yang sedang dimainkan Mat Amin, burung sanie menyangka suara tukut itu adalah suara saingannya yang menantang untuk berkelahi demi mempertahan wilayah kekuasaan atau memperlihatkan kejantanan pada setiap betina.Demikian juga halnya dengan sanie betina, merasa ditantang oleh betina lain dalam memikat pejantan. Merekapun berkorban, mengorbankan apa saja yang mereka punyai demi memenuhi tantangan dari penantang. Burung-burung malang itupun tak menyadari bahwa suara yang sedang memanggil mereka hanyalah suara buatan, yang dibuat sebagai pemancing undangan supaya terjerat jaring perangkap sang pawang.

Piep. Piep. Piep. Piep. Piepep. Suara tukut semakin berirama. Piep, seekor sanie terbang mendekati suara tukut dan mendarat diantara kerikil-kerikil yang bertaburan. Apamuh menyalakan senter. Seekor burung sanie terlihat berjalan menuju terang.

Phup! Apamuh menangkap sanie malang itu dengan cara melengkungkan talapak tangannya menepuk tubuh sanie di tanah. Burung itu kini telah meringkuk dalam genggaman Apamuh yang segera memasukkannya ke dalam kerangkeng benang rajut, yang telah mereka persiapkan sebagai tempat burung tangkapan.

Apamuh kemudian memainkan tukutnya. Suara burung ayam-ayaman terdengar ramai di angkasa. Burung-burung itu saling bertautan, berpadu dengan suara tukut yang merduyang diserupakan. Burung ayam-ayaman terbang berputar-putar di atas ubun-ubun pawang. Lalu menubruk jaring.

“Kenak, cepat ambil!” Ceklah yang siaga langsung bergerak cepat dan memungut burung malang yang terbalut pada jaring.

“Ayam-ayaman jantan, gemuk sekali. bagian atas paruhnya juga merah menyala. Dagingnya pasti renyah!” Ujar Ceklah sembari membawa burung payau itu ke sangkar.

“Inipun tak kalah gemuknya,daging di dadanya penuh!” Yuh memasukkan burung ayam-ayaman yang baru saja ia pungut dari jaring ke dalam sangkar, lalu duduk kembali di atas kardus yang mereka gelar di atas bebatuan kunyahan mesin proyek.

“Thet thet thet….thet thet thet…Trueb.Trueb trueb,” suara tukut Apamuh terdengar persis suara burung ayam-ayaman asli. Ya, persis seperti suara burung payau yang sedang memancing lawannya ketika ingin bersabung entah demi apa saja. “Itu sudah jatuh…mereka tersangkut pada jaring. cepat ambil. cepat!”

“Lihat tiang jaringnya bergoyang kuat, pasti burung-burung itu banyak yang tersangkut pada jaring kita. cepat lari ke ujung jaring sana!”

Ceklah, Mat Amin serta Yuh bergegas menuju ujung jaring. Mereka berlari dengan penuh semangat, karena mereka berpikir bahwa, semakin banyak burung yang mereka dapatkan malam itu, semakin banyak pula uang yang akan mereka keruk esok harinya. Mereka menjual burung-burung tangkapan mereka kepada orang-orang kampung pecinta daging burung payau yang konon bagus bagi kesehatan jantung. Juga baik sekali bagi pertahanan kejantanan pria. Oleh karena itu pulalah, Apamuh banyak mendapatkan pesanan.Terutama dari mereka yang tak harmonis dalam urusan ranjang.

“Krep…krep krup…taps,” tiba-tiba, tiang penyangga jaring berpatahan dan roboh ke tanah. Jaring terhenyak-henyak kuat.

“Yuh. Jaring jangan kau tarik kencang begitu. Ini tiang jaring pada patah!” Ujar Ceklah sedikit membentak. “Kau itu yang asal-asalan, main nyerempet jaring saja. Jaring jadi pada koyak!” Yuh, menyangkal dengan balik meyalahkan. Jaring itu semakin lama semakin kencang terhentak-hentak.

“Thip.” Apamuh menyenter ke rentangan jaring. Betapa mereka semua terkejut ketika menyaksikan sebuah pemandangan yang teramat sangat menyeramkan. Yang terbalut jaring itu ternyata bukan burung-burung yang mereka tipu dengan suara tiupan tukut. Seekor kelelawar raksasa yang sedang ditunggangi sebuah bayangan terjerembab dalam balutan benang hitam. Punggung kelelawar raksasa itu terlihat bagai berpelana. Bayangan yang mengendarainya bagaikan Ksatria Iblis yang sedang memegang tali kekangketika sedang berpacu dalam kancah perang amuk kemurkaan.

“Hai manusia-manusia bersuara palsu. Penipu. Kalian telah menyulap beribu-ribu hewan kami. Kalian telah menundukkan mereka dengan tipu muslihat suara buluh perindu. Kalian telah memalsukan suara hewan-hewan kami. Kalian semua harus bertanggung jawab. Kalian semua akan kuterbangkan dengan cengkraman cakar sayap kelelawarku. Kalian akan kujerumuskan ke dalam kerangkeng TaleukHitam di kerajaan Payani. Tubuh kalian bisa dimangsa buaya!”

Ceklah, Mat Amin dan Yuh segera mengambil langkah seribu. Mereka berlompatan ke sawah, tanpa harus memperdulikan pematangan sawah yang tersepak.

Apamuh juga tak mau menunggu. Segera saja Apamuh mengambil sandal, tanpa menghiraukan jaring yang koyak, burung-burung yang sudah berhasil terkumpul dalam sangkar. Ia biarkan saja segalanya tergeletak di tengah rel kereta api. Apamuh berlari mengikuti jalan rel.

Dengan nafas yang terengah-engah dalam pelarian, tanpa sengaja kaki Apamuh tersandung bongkahan tanah gunduk bangunan gorong-gorong saluran pembuangan air sawah ke sungai Peusangan. Apamuh tersungkur tepat di kaki sesosok bayangan berhijab dengan gaun panjang menutupi tubuhnya sampai menyentuh tanah.

Aroma wangi bebunga, harum minyak kasturi, tercium menembus sampai ke paru-paru Apamuh. Tapi bau siapa? Apamuh tak menyangka, bahwa ujung jemari kaki yang hampir saja ia tubruk itu sebenarnya adalah sosok dari jelmaan Nekni, ratu penguasa istana Payani yang anggun jelita. Ratu yang berhati mulia yang kini telah raib dalam legenda Payani.

Apamuh menyambangi malam. Dalam gelap Apamuh memuja terang. Dengan terang Apamuh juga dapat menyaksikan kelelawar raksasa dan ksatria penunggangnya berdiri di belakang sosok perempuan berhijab, layaknya pengawal abdi setia yang sedang mendampingi ratunya pada tiap-tiap darmabakti. Kemudian sosok perempuan bangsawan itu menyunggingkan senyuman, lalu terbang dibawa sang kelelawar. Sosok-sosok bayangan itupun perlahan lenyap ditelan malam kelam gulita, karena mendung mulai menebal menutupi langit. Hujan pun mengguyur bumi.

Dengan langkah-langkah yang bagaikan jatuh. Apamuh bangkit dan melangkah pulang, menerobos hujan, mengarungi persawahan yang dilanda banjir. Banjir yang menenggelamkan perasaan Apamuh pada bayang-bayang hitamnya kala meniup tukut di Payani. Ketakutan yang teramat mendera sukma Apamuh, sekaligus takjub dan bersyukur karena suara tukutnya telah mempertemukannya dengan peri yang melegenda di kawasan Aceh Jeumpa.

Blang Me, 4 Desember 2014

* Iswandi Usman, lahir di Matang Panyang, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, 5 Februari 1981. Bekerja sebagai pengajar pada SD Negeri 8 Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved