Breaking News

Cerpen

Pos Tentara

Pada dinding tembok bekas pos tentara yang ada di desa saya, kini telah menjadi tempat curahan tulisan

Editor: bakri

Karya Farizal Sikumbang

Pada dinding tembok bekas pos tentara yang ada di desa saya, kini telah menjadi tempat curahan tulisan orang-orang yang usil.Tetapi yang menulis saya pastikan adalah para remaja dan para muda-mudi yang lagi di mabuk asmara, karena ragam tulisannya seperti ini: Kelompok cowok setia, aini I love, anak lembah seulawah, angkatan 2000, gantungkan cita-citamu setinggi langit, selamat lulus UN semua. Demi janda aku rela mati. Dan tidak lupa juga sketsa perempuan serampangan terpampang di sana.

Sesekali saya pulang ke desa itu, maklum setelah kuliah saya lebih banyak menghabiskan hari-hari di kota, pulang biasanya jika keuangan sudah menipis. Jika saya pulang, maksud saya bila akan menuju ke arah rumah, pastilah saya akan melewati bekas pos tentara itu. Tak ada yang menarik bagi saya setelah pos itu dibiarkan kosong dan telantar sejak lima tahun lalu. Setiap melewatinya mata saya sering tidak memperhatikannya. Apalah artinya sebentuk bangunan kubus yang dindingnya kusam dan dipenuhi beraneka macam tulisan. Dan tulisan-tulisan itu, sebagian sudah saya tahu maksudnya karena dulu sempat membacanya. Jadi, untuk apa saya mempedulikannya?

Sebenarnya bukan tidak hanya menarik bangunan bekas pos tentara itu, tetapi memang sengaja Abi menganjurkan saya untuk tidak mempedulikannya sama sekali. Karena begitulah cara menurut Abi untuk melupakan kenangan. Kenangan? Ya, kenangan yang muram dan menyedihkan. Dan tentang kenangan ini, nanti Anda akan mengetahuinya sendiri. Untuk melupakan kenangan itu, maka abi melarang saya jika bermain di bekas pos tentara itu. Tetapi anak-anak sering kali bermain di sana, karena di dalamnya sengaja terdapat gundukan tanah, sering kali pula anak-anak menaikinya dan menjulurkan kepala mereka di balik tembok pos bekas tentara itu, seperti tikus-tikus sawah yang pemalu. Dan jika ketahuan Abi, anak-anak itu akan disuruhnya pulang.

Abi memang sangat tidak suka pada bekas pos tentara itu, jika bangunan itu berada di tanahnya pastilah akan dibongkarnya. Kebencian Abi pada bangunan itu begitu nyata, di saat saya berjalan bersama Abi misalnya, bila saya berpaling ke arah bekas pos tentara itu, tangan Abi akan menarik kepala saya dengan tergesa. Perlakuan Abi pada saya itulah yang membuat saya setiap lewat di depannya selalu mengacuhkannya.

Tapi apa Anda tahu sekarang? Bahwa bekas pos tentara itu telah menarik perhatian saya kembali. Bukan hanya perhatian saya saja, tetapi juga perhatian Abi dan orang sekampung. Begitu, begitu pentingnyakah bekas bangunan pos tentara itu sekarang?

* * *
Hari itu saya pulang ke desa mengendarai honda mio hitam. Saat melintas di depan bekas pos tentara itulah mendadak saya menghentikan laju kendaraan. Sebelumnya saya tidak pernah berhenti persis di depan bekas pos tentara itu. Saya melihat Teungku Mudin berdiri di bekas pos tentara itu dengan wajah murung dan dengan air mata berlinang. Belum pernah saya melihat Teungku Mudin serupa itu. Kejadian aneh itu benar-benar mengusik hati sehingga saya menghentikan laju kendaraan. Saya ingin tahu apa yang terjadi pada Teungku Mudin, tapi saat itu saya berpikir pastilah ada saudara atau entah siapanya Teungku yang meninggal?

Dengan langkah serba salah saya mendekati Teungku pemilik dayah di kampung saya itu.

“Assalamualaikum, Teungku,” sapa saya penuh hormat.

Saya lihat Teungku seperti terkejut melihat kemunculan saya. Kemudian dengan pelan beliau menjawab salam saya. Diusapnya dua matanya, dihapusnya pula air mata yang mengalir di pipinya. Tujuh tahun saya pernah berlatih mengaji dan tinggal di dayah milik beliau baru kali ini saya melihat Teungku Mudin menangis.

“Ada apa Teungku?” sapa saya lagi.

“Tidak apa-apa,” jawab Teungku pelan dan mulutnya seperti tertahan.

“Tapi saya lihat Teungku menangis. Ada apa Tengku.”

Kali ini Teungku tidak langsung menjawab tanya saya. Beliau malah mendudukkan tubuhnya di balai bekas pos tentara yang terbuat dari anyaman bambu itu.

“Kamu tidak akan mengerti apa yang saya rasakan. Pergilah, saya ingin tidur di sini, saya ingin sendiri.”

“Tapi Teungku, untuk apa Teungku tidur di sini. Di sini banyak nyamuk dan pacat yang bisa menggigit Teungku.”

“Pergilah Gam, kau masih muda, kau tak akan mengerti apa yang aku rasakan,” katanya lagi. Perkataan Teungku membuat saya terdiam. Ya, saya memang masih muda. Tak pantas menanyai segala urusan orang tua. Saya memang salah. Saya merasa lancang bertanya pada Teungku Mudin yang tak lain adalah bekas guru mengaji saya.

Saya lihat kemudian Teungku Mudin membaringkan tubuhnya di atas balai bekas pos tentara itu. Beliau masih terlihat sedih. Perasaan iba semakin berputar-putar di hati saya. Tapi saya harus segera meninggalkan beliau seperti pintanya. Saya pun memalingkan tubuh meninggalkannya.

***

Di rumah, Abi menyambut kepulangan saya dengan wajah tidak seperti biasanya. Abi biasanya langsung tersenyum begitu melihat saya muncul di hadapannya. Tapi kali ini tidak. Abi terlihat kesal, atau habis marah pada seseorang. Apa yang membuat Abi bersikap demikian. Apakah Abi marah? Pertanyaan itu beberapa saat terpendam di hati saya.

“Saya perhatikan abi seperti tidak senang melihat saya pulang. Ada apa Abi?” Tanya saya saat Abi memotong-motong daging rusa hingga membentuk sebesar ibu jari.

“Apa aku tak kesal Mae, itu apa kau tidak melihat si Mudin kini sudah gila. Kerjanya kini tiduran di bekas pos tentara itu. Sudah beberapa kali kusuruh dia pulang, tapi dia tak mau hiraukan aku. Kau tahu, aku tak suka ada orang di pos itu.”

“Memangnya kenapa Teungku Mudin tidur di pos itu Abi,” kuharap pertanyaanku itu bisa menjawab kenapa Teungku Mudin tadi kulihat sangat bersedih.

“Dia tertusuk dengan anak panahnya sendiri.”

“Maksud Abi,” tanyaku penuh heran.

“Dia dipermalukan oleh anak murid-muridnya sendiri. Salah Mudin juga, meremehkan orang dan menganggap diri lebih hebat.”

“Tadi aku juga melihat Teungku Mudin di pos itu Abi, wajahnya sedih sekali. Teungku Mudin tadi juga kulihat habis menangis. Kenapa Teungku Mudin sampai seperti ituAbi.”

“Ha ha ha ha, aku takut Mudin benar-benar menjadi gila. Kalau sampai demikian bagaimana nasib dayahnya itu.”

“Sebenarnya apa yang membuat Teungku Mudin begitu bersedih?”

“Ulah si guru Bahar. Dia benar-benar menumpahkan sakit hatinya pada si Mudin.”

“Pak guru Bahar yang mengajar di es-em-pe?”

“Ya. Sebenarnya mereka sudah lama bersitegang. Dari dulu Mudin menganggap bahwa sekolah pemerintah itu tak ada gunanya. Guru-guru tak bermutu yang tidak membawa kebaikan pada anak-anak. Untuk apa sekolah kalau jadi pengangguran, lebih baik di dayah saja, menuntut ilmu agama. Pendapatnya itu selalu diungkapkannya pada orang sekampung. Malah dalam sebuah rapat kampung, Mudin pernah mengungkapkan hal itu, padahal saat itu ada guru sekolah. Tidak jarang dia mengolok-olok para guru, terlebih si Bahar. Si Bahar yang merupakan kepala sekolah sering dituduhnya sebagai kepala sekolah tak becus, karena tiap tahun banyak anak-anak kampung yang tak lulus ujian nasional. Juga banyak anak-anak yang tak naik kelas. Kenakalan menjadi-jadi. Untung ada dayah tempat dia memberikan nilai-nilai agama pada anak-anak kampung. Dalam ceramah-ceramahnya di meunasah pun terkadang Mudin mengungkapkan betapa tak bermanfaatnya pendidikan pemerintah itu.”

“Lalu?”

“Itulah, si Bahar satu minggu yang lalu menyeret lima siswanya ke dayah si Mudin. Ke lima anak-anak itu adalah murid si Mudin juga yang tinggal di dayah itu.”

“Kenapa mereka Abi?”

“Katanya, para guru merazia siswa yang memakai handphone di sekolah. Kelima siswa itu, di dalam handphone mereka, memiliki gambar dan video porno. Si Bahar memaki-maki si Mudin. Orang sekampung keluar rumah. Menyaksikan dan mendengar sumpah serapah si Bahar. Abi juga ada di sana waktu itu.”

“Kata si Bahar, apa itu dayah, katanya tempat menuntut ilmu agama. Tempat menanamkan nilai kebaikan. Mengaji siang malam. Menghapal ayat-ayat Al Quran, tapi murid-muridnya tidak bermoral juga. Apa itu si Teungku Mudin. Apa kerjanya di dayah itu. Mengapa murid-muridnya sampai bisa menyimpan gambar dan video porno di handphone-nya, padahal mereka tinggal di dayah. Si Bahar hari itu benar-benar mempermalukan si Mudin. HP milik anak-anak itu diperlihatkannya kepada orang kampung. Orang kampung sangat terkejut dan tidak pernah menyangka jika anak-anak yang tinggal di dayah bisa berprilaku seperti itu.”

“Bagaimana tanggapan Tengku Mudin waktu itu?”

“Belum pernah aku lihat Mudin takut seperti itu, tiba-tiba wajahnya memucat. Badannya gemetar. Dia tidak bisa bicara kecuali dengan ketakutan menyelimutinya.”

“Kenapa dia bisa seperti itu?”

“Entahlah. Sekarang orang sulit mengajaknya bicara, termasuk keluarganya sendiri. Dia pun sudah tidak mau tinggal di dayah miliknya. Dia mungkin benar-benar sudah gila, tempat bekas markas tentara itu dijadikan tempat tidurnya. Sudah berulang kali aku usir dia, tapi dia tidak mau pindah juga. Benar-benar gila.”

“Kasihan Teungku Mudin.”

“Makanya kalau jadi orang jangan begitu.”

Aku duduk terdiam, memikirkan Teungku Mudin.

***

Benar seperti yang dikatakan Abi, Teungku Mudin esok harinya kutemukan lagi berada di bekas pos tentara itu. Seperti kemarin, wajahnya masih nampak bersedih. Wajahnya semakin kusut-masai. Ia duduk di balai bekas pos tentara itu.

Saya coba mendekati beliau dengan langkah sangat hati-hati sekali. Ada perasaan sedikit takut, atau entah apa namanya yang membuat langkah kaki saya seperti tertahan-tahan.

“Assalamualaikum, Teungku,” kata saya.

“Waalaikum salam,” jawabnya pelan. Lalu ia sorot tubuh saya dengan dua matanya yang lemah. Saya semakin kasihan pada Teungku.

“Oh kamu lagi”

“Ya Teungku.”

“Duduklah.”

Saya pun duduk di samping beliau. Hari ini nampaknya Teungku Mudin lebih berlunak hati. Bisa menerima saya dengan senang hati.

“Aku benar-benar malu, kau tahu itu?” Katanya dengan perasaan seperti tertekan batin. Dan seolah merasa bersalah karena mengusir saya kemarin.

“Abi sudah cerita semuanya pada saya Teungku.”

“Jadi menurutmu aku harus bagaimana. Aku telah dipermalukan oleh si Bahar.”

“Kembalilah Teungku pulang ke dayah,” kata saya.

“Aku belum bisa ke sana. Aku malu. Biar aku di sini saja.”

“Menurut saya Teungku pulang saja ke dayah dan kembali mengajar anak-anak.”

“Aku belum bisa Gam, aku belum bisa kembali ke dayah. Biarlah aku di sini. Aku tahu abimu tak suka jika aku tinggal di sini. Itu bukan salah aku-kan? Salah abimu sendiri tidak bisa melupakan dendam. Tidak ikhlas.”

Saya terdiam. Ada perasaan marah pada Teungku. Beliau tidak mengerti perasaan Abi. Beliau juga tidak mengerti bagaimana saya terluka pada apa yang diucapkannya itu. saya benar-benar tidak suka jika Teungku berbicara seperti itu.

“Aku tahu, si Puteh, mati ditembak tentara di sini karena dituduh GAM. Iyakan? Bilang sama abimu, lupakanlah masa lalu itu,” katanya dengan nada datar. Saya kembali hanya terdiam. Tidak menyahut kata beliau. Saya sungguh ingin segera meninggalkan Teungku dari bekas pos tentara itu. Saya benci dia. Sungguh, saya ingin dia gila. Seperti kata Abi.

* Farizal Sikumbang, tinggal di Aceh Besar. Penikmat sastra.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved