Pilkada di Mata Seleb
Selama ini kita lihat kaum perempuan nyaris tidak pernah muncul pada ajang pesta politik lima tahunan
PENGANTAR - Meski pesta politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh masih dua tahun lagi, tetapi gaungnya mulai terasa. Hentakan awal itu, paling tidak sudah dimulai dengan munculnya sejumlah nama tokoh eks GAM yang disebut-sebut siap bertarung untuk menuju kursi Aceh 1. Beragam tanggapan pun bermunculan, seperti ‘kendaraan’ politik yang akan digunakan. Dan, di tengah gegap gempitanya spekulasi menuju 2017, sejumlah perempuan Aceh dari berbagai latar belakang juga ikut bicara soal peluang dan kesempatan kaumnya untuk bersaing. Suara para ‘Cut Kak’ yang diwawancarai terpisah oleh wartawan Serambi, Masyitah Rivani, Masrizal, Nani HS, dan Jafaruddin dirangkum oleh Nasir Nurdin sebagai laporan khusus edisi ini.
“Selama ini kita lihat kaum perempuan nyaris tidak pernah muncul pada ajang pesta politik lima tahunan. Padahal di dalam pilkada, sudah diberikan ruang kepada perempuan untuk bisa bersaing dengan kandidat lainnya yang didominasi laki-laki.”
Pernyataan yang kental aroma politik itu disuarakan Nabella Volary, yang namanya sempat terangkat setelah menjadi pemeran film komedi Aceh Leumak Mabok dan Jeu’e. Nabella Volary yang akrab dengan sapaan Bella ditemui Serambi, Sabtu (25/7) di kediamannya kawasan Lampriek, Banda Aceh. Ibu satu anak ini dimintai pandangannya soal politik, khususnya Pilkada Aceh.
Dia mengatakan, selama pilkada di Aceh, nyaris tidak pernah ada dari kaum perempuan yang mencalonkan diri. Meskipun nekat mencalonkan diri sebagai calon legislatif maupun eksekutif namun dukungan yang diperoleh sangat sedikit.
Bella yang melakoni seni peran sejak 2009 menambahkan, aum perempuan sendiri belum maksimal memanfaatkan peran politiknya, padahal kaum perempuan sebenarnya bisa bersuara layaknya laki-laki.
“Di Aceh masih identik yang menjadi pemimpin itu adalah sosok laki-laki. Maka dari itu, banyak perempuan bahkan sudah menjadi tokoh belum berani muncul. Adalagi alasan lainnya tak ingin tampil karena masih minim dukungan bahkan dari kaumnya sendiri,” ujar Bella yang mengaku sudah vakum syuting karena sedang fokus merawat buah hati pertamanya.
Bella menegaskan, siapa pun yang terpilih nantinya, boleh itu pendatang baru ataupun dari tokoh lama, yang terpenting bisa membawa Aceh ke arah yang lebih baik, memperhatikan kembali hak-hak perempuan dan meningkatkan sosialisasi terhadap peran perempuan dan pemberdayaan perempuan menjadi lebih baik.
Rindu pemimpin perempuan
Tanggapan dan peluang perempuan Aceh masuk panggung politik juga disuarakan dua seleb Aceh lainnya, yaitu Liza Aulia dan Nurrasyidah yang dikenal dengan nama peran Yusniar.
Liza Aulia yang namanya melejit lewat album Kuthiding merasa kecil hati karena belum ada nama-nama perempuan yang muncul meski secara kemampuan perempuan Aceh banyak yang pintar-pintar dan sudah pantas maju sebagai cagub, cawagub, calon wali kota/wakil wali kota maupun calon bupati/wakil bupati.
“Sepertinya zaman sudah berubah, di mana perempuan-perempuan Aceh dulu itu, ya berani-berani. Sekarang kok ya susah mencari perempuan yang berani tampil sebagai pemimpin? Seperti ada semacam rasa rendah diri mungkin ya. Tidak tahu juga saya, apa karena kurangnya dukungan keluarga dan lingkungan?,” kata Liza Aulia.
Sekarang, ironisnya lagi, kata Liza, banyak perempuan yang lebih nafsi-nafsi dengan urusannya sendiri. Lebih sibuk dengan gudgetnya, gemar shopping, konsumtif, dan tidak kreatif. Padahal mereka orang yang potensial. Nah, dampaknya, urusan sosial mereka makin tipis, apatislah memikirkan lingkungan. Begitupun hampir tak ada minat untuk membangun lingkungan, apalagi menjadi orang nomor satu, misalnya.
Padahal, sekarang saatnya ada peluang besar bagi perempuan untuk maju. Sekarang kan demokrasinya sudah membaik ya. Pintu sudah terbuka. Banyak sekali yang harus dilakukan oleh perempuan sekarang terhadap pembangunan, kan? Saya tidak tahu persis apa masalahnya? Mengapa perempuan kita kurang minat menjadi cagub atau cawagub? Barangkali kurang dukungan dari keluarga ya? Padahal dari segi pengetahuan, perempuan Aceh tidak kalah dengan kaum laki-lakinya. Tapi ya kesannya itu, ya kalah pede dengan kaum laki-laki. Minder begitu. Apalagi masih ada kalangan keluarga atau lingkungan yang menganggap perempuan sebaiknya ngurus rumah tangga sajalah. Lengkaplah, minder tambah tak ada dukungan.
Menurut saya, dengan kemajuan sekarang, perempuan Aceh perlu dorongan, dukungan, dan persiapan diri. Ini penting untuk ke depan. Kita sudah memerlukan pemimpim perempuanlah ya. Sudah saatnya ada yang muncul, lebih dari sekadar seorang wali kota perempuan. Kalau saya boleh berharap, seharusnya perempuan Aceh harus dimotivasi lebih kuat lagi, oleh perempuan yang sudah berkecimpung dalam pemerintahan. Sebut saja sebagai pemimpin, Bu walikota Banda Aceh itu, sudah harus memotivasi yang lain lebih tinggi lagi, agar kreativitas dan pikiran bisa berkembang. Jadi tidak hanya dengan pola pikir, bahwa perempuan mengurus anak, dapur, dan rumah tangga saja. “Nah walaupun lamban dan tidak sekarang realisasinya, tapi saya optimis, suatu hari nanti, akan lahir pemimpin Aceh dari kalangan perempuan,” kata Liza.
Pemeran film komedi Aceh Eumpang Breuh, Nurrasyidah atau yang lebih dikenal dengan nama peran Yusniar menyebutkan, keterwakilan perempuan selama ini masih minim baik di legislatif maupun eksekutif. Padahal dulu Aceh juga pernah dipimpin seorang Sulthanah, yaitu Sri Ratu Safiatuddin. Bahkan Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia memimpin pertempuran ketika masa penjajahan Belanda.
Yusniar berharap ke depan perempuan-perempuan di Aceh harus berani tampil, harus berani maju dalam Pilkada 2017, mulai dari tingkat kabupaten/kota bahkan juga ke provinsi. Sebab Aceh memiliki latar belakang kepemimpinan perempuan. Jadi, perempuan di Aceh juga bisa berkarier dalam bidang politik.