Cerpen
Mahar Abu Rumpun Bambu
LENGKING suara himbee sahut menyahut. Bergelantung, melompat, bergelayut pada dahan-dahan di kerimbunan
Karya Nazar Djeumpa
LENGKING suara himbee sahut menyahut. Bergelantung, melompat, bergelayut pada dahan-dahan di kerimbunan pepohonan besar itu, mengejar sang betina. Sementara yang lain riuh menyoraki dari balik dedaunan. Ah, sedang kasmaran kiranya sepasang itu. Ataupun mungkin pasangan yang telah berkeluarga, sekarang mereka berlomba pulang, menjumpai sang anak yang bersembunyi pada bengkokan dahan pohon besar berlobang pinggiran alur sungai, di bawah sana.
Ini kali kedua Manyak menyertai Kaoy berladang di belantara. Kali pertama hanya memanen sia-sia, cuma tersisa sejengkal. Puluhan pemanggul bedil mengobrak-abrik ladang mereka. Dan, pada kali itu pula Kaoy begitu pilu. Tidak sepadan dengan ketegaran dia; sangat jauh dari dari penampilan sangarnya. Seorang pria yang mampu merumahkan dua orang istri sekaligus ternyata dapat berurai airmata jua. Wajar saja Kaoy menangis.
Tangis Kaoy bukan sebab hama yang meluluhlantakkan ladangnya. Namun harimau yang berumah di kerimbunan belukar pinggiran alur ikut menjadi mangsa.
Dua ekor harimau ditembaki dan kulitnya dirampas. Peristiwa yang itu telah mengeluarkan airmatanya. Betapa tidak, harimau-harimau baginya sudah seperti sahabat. Sudah berbilang tahun Kaoy menyertakan garam ke rimba. Saban petang mengisi garam dalam mangkuk tanah liat dan meletakkan di pinggir alur sungai. Kala malam tiba, sesekali di bawah pondok, dari atas pondok mereka menyaksikan harimau-harimau itu datang menjilati garam sampai habis, menyisakan mangkuk kosong. Sesekali pula Kaoy menjulurkan tangan dari bilah-bilah lantai bambu yang terkuak, membelai punggung harimau-harimau itu.
Dari kolong pondok Manyak memperhatikan hamparan yang landai mengikut punggung bukit. Hembus angin rimba petang membelai lembut pucuk-pucuk. Liukannya laksana tarian para gadis. Tebaran wangi bunga hutan menghadirkan kebahagiaan. Terlupakan sudah lelah empat bulan lalu kala dia berpeluh menghujam pacul. Kaoy berjalan di sela-sela tanaman yang telah setinggi dia. Cekatan menggunting pucuk-pucuk pepohonan itu, kiri dan kanan, hingga ke pangkal. Setelah mengering mereka akan memungut dan menggonikannya.
Matahari tiada pun tampak lagi. Telah rebah ke balik bukit cadas di belakang pondok beratap rerumputan teranyam. Kala tirai kabut turun, dengan mata terpicing Manyak seksama memperhatikan apa yang diperbuat Kaoy. Perlahan dengan hati-hati Kaoy menyematkan umpung miriek yang sedari tadi dijinjingnya pada setiap pacakan pancang pada empat arah mata angin. Ladang itu tidak berpagar. Namun pada setiap sudut tiang tonggak terpacak, pembatas antara belukar dan pohon-pohon besar. Sementara umpung miriek betina yang berpintu seperti belalai gajah disangkutkan pada tonggak setinggi jangkauan tepat di tengah ladang. Pada kelima landasan, kira-kira selebar bulatan belanga kari kambing di kampung, batu akik sejempol kaki bermotif suleman kurong yang dipungut kemarin petang dari alur bawah sana, diatur rapi mengapit tonggak yang tertanam.
“Ritual apalagi itu.” Manyak bergumam sembari memeriksa perapian tanakan nasi di hadapannya. Kaoy datang. Menyerahkan sejumput dari genggamannya. “Ini Iku tupee dari batang ulee kawan,” ujar Kaoy.
Manyak meraih. Merajang. Lantas memasukkan ke dalam periuk tanah liat berisi gulai mendidih. Kepulan asap dari kadra asin menyebar seiring desisan pada penggorengan. Kaoy menambah lagi beberapa ranting, memperbesar nyala api. Aroma menawan itu telah mengguncang-guncang perut mereka hingga lapar.
“Pada tiang pancang tengah itu tempat semanyam Manyang Mirah. Sementara keempat sudut yang lain ditempati para pengawalnya,” ujar Kaoy sambil makan.
“Siapa mereka?” selidik Manyak.
“Mereka makhluk peliharaanku,” sahut Kaoy.
“Untuk apa memelihara mereka?” Tanya Manyak yang nyaris tersedak.
“Sedari zaman dahulu orang-orang kita memelihara mereka. Mereka bisa diandalkan menjadi penjaga. Pembisik tatkala kawanan hama bajing coklat hendak menyerang. Merebut panen kita,” Kaoy menjelaskan.
“Selalu saja pula bajing-bajing itu menyerbu ladang kala musim panen tiba,” sahut Manyak mengutuki sejarah serbuan para hama.
Aneh memang Kaoy, dia perimba sejati namun tidak percaya jampi penjinak harimau. Juga mengabaikan mantra perabun gajah. Pun demikian, perkara pagar mistik kini begitu diyakini. Sampai-sampai lima umpung miriek ikut diboyong dari kampung menempuh enam jam jalan kaki hingga sampai ke ladang di jantung Sumatera ini. Acuh tak acuh Manyak menyimak setiap kata-kata Kaoy perihal makhluk pujaannya itu. Manyak diam saja kala Kaoy mengasapinya dengan kemenyan. Mendekatkan mangkuk panas pada kedua telinga Manyak. Juga meletakkan sesaat dalam pangkuannya.
“Ini agar mereka menerima kamu juga sebagai tuannya,” Ujar Kaoy mencoba menghapus keraguan yang terlihat di wajah Manyak.
***
Sekawanan cempala riuh bersenda. Memperebutkan cacing-cacing kecil di antara sela pangkal-pangkal batang kayu. Sementara yang lain bercericit riuh pada dedahanan, bernyanyi riang menyambut pagi. Sama seperti kebahagiaan Kaoy yang bukan kepalang, sembari menggunting pucuk-pucuk bersiul-siul saja mengikuti naik turun irama nyanyian burung-burung itu.
Selama di sini, dengan bertemankan secawan kopi, saban pagi sebelum matahari meninggi Manyak meluangkan masa untuk duduk bersandarkan batu cadas pada puncak bukit, bagian teratas ladang mereka. Menikmati indahnya pemandangan. Juga demi meliarkan rindu pada Yani. Kiranya jua, menanti semilir angin yang mengangkut titipan pesan dari sang kekasih. Menyapu pandangan menuruni lembah-lembah. Memandang perkampungan yang tertutup pepohonan nun pada ujung pandangnya, samar di kejauhan sebelah utara.
“Ah, Yani, dirimu di sana, ingatkah dikau akan daku di belantara ini sedang berjuang memungut jumput-jumput mahar?” gumam Manyak. Tampak samar bentang persawahan di antara payung awan. Panen telah usai. Mereka telah tuntas menuai. Gulungan-gulungan asap mengudara dari tumpukan jerami yang sengaja dibakar. Mereka mempersiapkan sawah untuk turun tanam kembali, bersegera sebelum bulan puasa ini.
Pada tengah-tengah kerimbunan perkampungan terlihat kepulan asap tebal menggulung. Ah, itu rasanya bukanlah jerami terlumat. Kepul semakin menebal, berlidah api juga. Itu di pemukiman! bukan di bentangan sawah. Manyak begitu tersentak. Berdiri terpaku. Mendelikkan mata seksama memperhatikan kepulan asap yang menggulung.
“Yani!” Manyak berseru panik. Segera ia berlari turun menyusur batang-batang yang berjajar rapi. Lalu sekerasnya meneriaki, “Lekaslah, kita harus turun tengah hari ini juga!”
“Kamu jangan mengigau,” Kaoy menyahut sembari berkacak pinggang.
“Tidak ada waktu menjelaskan. Percaya saja pada kata-kataku.”
“Kamu jangan mengacau,” suara Kaoy meninggi.
“Manyang Mirah telah membisikiku. Bukan hanya membisiki. Malah paridon berulang kali meneriaki,” sahut Manyak di antara lenguhan.
“Hah?” Kaoy tersentak kala Manyak menyebut Manyang Mirah mengirim pesan untuk segera lari.
“Kita hanya memiliki waktu tiga jam memungut panenan, tiga jam lagi untuk kabur,” ujar Manyak bergegas mengarungkan potongan-potongan pucuk setengah hasta sebelum mengering yang terserak di setiap pangkal batang.
Sumpah serapah berhamburan dari mulut Kaoy. Mengutuk penuh amarah sembari menggelindingkan karung-karung hingga membentur batu-batu pinggiran sungai. Manyak menyusunnya ke atas bilah bambu terangkai sebagai rakit. Sungai itu bersimpang dua. Jalur kiri tembus membelah kampung mereka. Jalanan setapaknya kerap digunakan para pencari damar, rotan dan pemburu rusa. Jalur satunya lagi diapit tebing-tebing terjal. Mereka berhaluan ke kanan.
Kaoy berdiri di depan, dengan tonggak panjang perlahan meliuk-liukkan rakit agar tidak membentur batu-batu besar sepanjang alur sungai. Dengan tongkat panjang pula Manyak menyeimbangkan liukan dari belakang.
***
“Terima kasih Yani, kamu telah membantuku mengumpulkan mahar,” ujar Manyak.
“Itu karena aku tidak mau Abang ditangkap. Seperti janjiku, jika melihat kobaran api, bermakna pertanda bahaya. Kubakar saja beurandang si Seuhak Burong pada rumpun bambu besar itu,” ujar Yani datar tanpa beban. Sesaat Manyak mengulum senyum. Lalu Yani kembali berkata, “Aku sudah tunaikan janjiku. Sekarang giliran Abang. Kapan? Kapan?”
“Ini mahar dapat terbeli disebabkan dirimu, Manyang Mirahku,” ujar Manyak nakal. Lantas memperlihatkan keratan kalung, anting dan gelang emas. Wajah Yani memerah, tersipu malu. Manyak meringis. Karena sebuah cubitan baru saja mendarat di pinggangnya.
“Ooo, jadi kamu rupanya yang membakar rumpun bambu tatkala mobil-mobil mereka memasuki perkampungan!” Manyak dan Yani terkejut dengan mulut menganga. Mereka berpaling melongok ke belakang. Kak Sodah yang berujar. Kaoy tersenyum-senyum. Berdiri saja menyilangkan kedua lengan di dada, sementara istri mudanya itu yang bergelayut manja.
* Bireuen, Mei 2015.