Cerpen

Sekuwat

RINTIK HUJAN sore dan mendung hitam tak menghalangi Sekuwat menyabit rumput di tepi Sungai Peusangan

Editor: bakri

Karya Iswandi Usman

RINTIK HUJAN sore dan mendung hitam tak menghalangi Sekuwat menyabit rumput di tepi Sungai Peusangan. Setiap hari Sekuwat mengumpulkan rumput, memberi makan dua ekor lembu jantan miliknya yang sudah ia rawat sejak enam bulan yang lalu. Bila lembu-lembu yang ia kambam di kandang itu sudah besar dan gemuk, dia berencana menjualnya dan akan membeli emas buat mahar melamar Tipah.

Sekuwat dengan cekatan memasukkan gasai-gasai rumput ke dalam keranjang dan memanggulnya ke palung; membersihkan kandang dari sisa-sisa rumput yang berserakan; menyiram lantai kandang yang kotor oleh tahi dan kencing dua ekor lembunya; membuat perapian, kemudian dia bergegas menuju kebun labu tanah. “Sekuwat, apa sudah ada rumput?” Tanya Cutdan yang baru saja turun dari Gle Paya Daruet sambil memanggul goni rumput.

“Sudah Cutdan. Sudah dalam palung!” Jawab Sekuwat sambil menyodorkan buah labu muda pada Cutdan.”Buat gulai,” perintah Sekuwat seiring dengan pandangannya yang lepas ke angkasa buta.

“Tampaknya hujan besar akan segera turun!”

“Mendung di langit sebelah selatan begitu hitam. Tadi di atas puncak Gle Paya tak tampak apapun. Gelapseperti malam bulan gelap!”

Sekuwat merogoh saku bajunya. Sebatang sigaret yang terbalut plastik ia keluarkan. Sigaret itu ia jepit di sela kedua bibirnya. “Mintak koreknya!”

Cutdan menyalakan koreknya di ujung rokok Sekuwat, setelah terlebih dahulu menyalakannya di ujung sigaretnya. Dua kepulan asap mulai berhamburan di udara. Aroma wangi meriyuana lembab diantara titik-titik gerimis, satu demi satu jatuh menimpa pucuk-pucuk rerumputan dan terdengar menetes di atas dedaunan labu.

“Tak banyak persediaan lagi. Hanya tersisa beberapa batang lagi yang tumbuh di antara labu-labu itu. Mungkin sekedar cukup buat hisap beberapa minggu lagi. Tapi bibit baru sudah mulai aku semai dalam polibet. Itupun jika tak terserang hama!”

“Kira-kira bisa kita balut pada Hari Raya depan?”

“Mungkin. Itupun kalau kau mau mengisap daun muda. Tak harus tunggu hingga daunnya keras dan garing saat dijemur. Rasanyapun, mungkin, takkan sesedap ini!”

“Ah. Daripada tak ada rokok, daun mudapun kita jemur. Iya kan?”

“Haa…haaa…!”

Cutdan menuangkan air aren manis ke dalam botol air mineral yang terpotong seperti gelas. Air aren yang Cutdan turunkan kali ini jauh lebih sengam dibandingkan air aren kemarin. Jernih dan kental manisnya.

“Apa Cutdan ada buat tuak?”

“Sedikit. Itupun diam-diam. Kalau istriku tahu, akan marah besar dia, bisa rontok rambutku dibuatnya. Batang enaupun bisa-bisa ia kampak sampai putus!”

Cutdan menarik geuleupak dan mendudukinya. Badannya ia sandarkan pada pagar bambuyang melindungi kebun Sekuwat. Sesekali Cutdan melongok ke dalam kebun, sinar matanya tampaknya menyimpan keresahan.

“Sudah hampir tiga hari lembuku kehilangan selera makan, padahal rumput-rumput yang kubawa pulang segar-segar semua. Kupilih-pilih saat kusabit. Tapi dia tak mau melahapnya dengan gairah. Apa kau pernah mengalaminya?”

“Mungkin lembumu itu diserang penyakit panas dalam. Kejadian seperti itu juga pernah terjadi pada lembu merahku. Lembu itu cuma mencium-cium rumput dalam palung. Bahkan menanduk-nanduk palung hingga rumput berhamburan ke lantai kandang. Tapi sekarang tidak lagi, setelah kupaksakan menuangkan air remasan pucuk labu tanah ke dalam mulutnya. Setelah sehari, lembu merahkupun sembuh. Dia malah makan lebih banyak ketimbang lembu hitam. Petik saja pucuk-pucuk labu itu, siapa tahu bisa jadi obat.”

“Berapa pucuk cukup?”

“Aku meremas tujuh pucuk dalam satu gayung. Kutuang ke dalam botol air mineral. Malamnya kuberikan sampai habis sebotol!”

“Akan kucoba.”

“Ya, masuklah kekebun dan petik saja sendiri, mumpung hujan belum turun.”

Setelah Cutdan memetik beberapa pucuk labu, ia kembali memanggul rumputnya dan melangkah pulang. Beberapa saat kemudian Sekuwat menyusul sambil memanggul karung buah labu.

“Bang Sekuwat!” seorang perempuan muda memanggil. Di simpang jalanperempuan itu tampaknya sengaja menunggu Sekuwat pulang dari kebun. Sekuwat menghentikan langkahnya dan menurunkan panggulannya ke tanah.

“Tipah. Ada apa?”

“Aku menunggumu untuk mengatakan sesuatu tentang hubungan yang kita jalani selama ini!”

“Dalam hal apa?”

“Putus!”

“Putus kenapa?”

“Entahlah. Pokoknya kita putus. Hubungan kita berakhir sampai di sini!”

Sekuwat tercengang menatap kepergian Tipah yang meninggalkannya sambil berlari menembus simpang jalan. Berakhirlah kisah bahagia Sekuwat, seiring Tipah menerobos rintik hujan. Kisah itu terasa bagaikan air sungai yang mengalir bagi Sekuwat. Pelan, tapi cukup menghanyutkan. Tanpa terasa air mata Sekuwat berderai bagaikan hujan.

“Kamu tega Tipah. Padahal baru pertama aku bermain cinta. Kau adalah perempuan pertama satu-satunya yang pernah aku cinta. Dan aku ingin berumah tangga denganmu. Tapi, kau telah membuat diriku patah hati!”

Sekuwat kembali menyundut rokoknya. Mungkin itu pula alasan satu-satunya bagi Sekuwat, kenapa ia harus menggunakan ganja.”Aku kecewa kau tinggal pergi,” gumam Sekuwat sambil memandang hampa pada cincin yang barusan diberikan Tipah. “Kau tega melepaskan cincin bermata batu cempaka merah dariku.

Bagaikan layang yang putus dari benangnya;bagaikan langit yang tertutup awan; Sekuwat melangkah pulang. Bertahun-tahun setelah kejadian di simpang itu, kini usia Sekuwat telah beranjak senja dan dia masih saja hidup melajang, Sedangkan Tipah telah berbadan enamdengan cucu sepuluh dan hidup berbahagia dengan seorang lelaki kaya, toke lembu di kampung sebelah. Kenangan bersama Tipah tak mau menyingkir dari benaknya. Dia hanya mampu memandang potret Tipa berbaju merah, yang selalu ia simpan. Bagi Sekuwat Tipah adalah cinta mati. Bila bukan Tipah, sudah jelas, tak ada perempuan lain yang mampu menambat hatinya.

Selama bertahun-tahun setelah kisah cintanya kandas, Sekuwat tetap memelihara lembu-lembu jantan dan menanam mariyuana. Dua pekerjaan itu seolah-olah menjadi pelarian bagi lelaki jangkung itu.

Dan pada suatu hari, Sekuwatdibekuk polisi dan dipenjara. Polisi menggerebek dan menemukan pohon ganja yang tumbuh danhijau di kebunnya. Swat digiring ke dalam kerangkeng. Dulu Sekuwat mengurung lembu-lembu jantan peliaraannya di kandang, kini giliran dirinya dikambam abdi negara.

Sebelum kisah ini kuakhiri, aku harus menyebut Dan Meong. Dia telah menginformasikan kepada polisi tentang ladang mariyuan Sekuwat. Dan Meong merasa dirinya tangguh serta menganggap dirinya pahlawan. Dan Meong pada saat kisah ini kutulis, sedang berusaha melewati sakratul maut di rumah sakit. Motor yang dikendarai Dan Meong, dalam sebuah laga kambing, menabrak motor yang dikendarai Tipah. Tipah tewas ditempat sore itu juga. Senja hampir usai dan cinta Sekuwat berakhir pilu.

Blang Mee, 8 Mei 2015

* Iswandi Usman, kelahiran Matang Panyang- Seuneudon, 5 Februari 1981. Bekerja sebagai guru di SD Negeri 8 Muara Batu, Aceh Utara

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved